Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Nasib Seorang Petani di Kota Alen-Alen

Kubah Migunani

Opini oleh: Mochamad Sodiq Fauzi*

Hari ini tepat pada tanggal 24 September 2023 dirayakan sebagai Hari Tani Nasional. Menurut saya, bertepatan dengan masa menjelang Pemilu 2024, ini adalah momen strategis bagi kaum tani untuk menatap masa depan.

Pikiran saya tertuju pada seorang petani tetangga yang saya temui di kampung halaman beberapa hari lalu. Sebut saja Pak Marhaen, karena imajinasi saya terhadap petani bernama Pak Marhaen yang pernah ditemukan Bung Karno pada zaman kolonial sekitar tahun 1927.

Petani itu tetap miskin, padahal ia menggarap tanahnya sendiri. Pak Marhaen juga memiliki cangkul dan juga alat produksinya sendiri. Tapi, tetap saja miskin dan hidup sengsara.

Menurut Bung Karno, kemiskinan Pak Marhaen berbeda dengan kaum buruh temuan Marx. Buruh temuan Marx juga miskin. Tapi, menurut Marx, karena buruh tak menguasai alat-alat produksi. Buruh juga tak menikmati nilai lebih dari hasil kerjanya.

Pak Marhaen temuan Bung Karno mewakili sosok rakyat Indonesia pada umumnya. Miskin dan sengsara. Dimiskinkan dan disengsarakan oleh sistem kolonialisme/imperialisme.

Kata Bung Karno, akibat kemiskinan dan kesengsaraan yang tak tertahankan, banyak di antara kaum Marhaen minta dibui saja. Di bui masih bisa makan dengan kenyang, sedangkan di luar belum tentu sekali sehari bisa makan.

Seorang petani tetangga saya yang saya sebut juga Pak Marhaen, juga petani yang punya lahan. Tapi, tak sampai 0,5 hektare. Juga punya cangkul, beliau bercocok tanam bahan pangan. Hasilnya, kata Pak Marhaen, tak pernah cukup untuk mengangkat nasibnya, dan tak jarang Pak Marhaen juga mengeluh karena ongkos produksinya juga makin mahal.

Maka, kata Pak Marhaen, “Wong tani tambah mlarat, uripe soro” (kaum tani tambah miskin, hidupnya sengsara). Kalimat petani tetangga saya tersebut membekas sekali pada pikiran saya. Semua manusia butuh makan, jumlahnya pun juga makin banyak. Maka, kebutuhan makan manusia juga makin banyak. Belum lagi hewan peliharaan manusia juga butuh makan dan jumlahnya makin banyak.

Bukankah bahan makanan manusia dan hewan peliharaan sebagian besar dihasilkan dari kerja petani? Apabila kerja petani senantiasa dibutuhkan, baik untuk manusia maupun hewan peliharaan manusia, dengan jumlah yang makin banyak, mestinya petani tidak miskin dan mestinya juga petani hidup layak dan sejahtera.

Namun, nyatanya sebagian besar petani masih miskin dan sengsara. Apakah hasil kerjanya tak pantas dihargai tinggi? Karena mereka bukan produk pendidikan tinggi? Karena kita tak mau harga bahan pangan mahal?

Apakah memang harus ada korban sosial agar harga pangan tetap murah? Korban itu bernama Pak Marhaen dan kaumnya. Saya sangat khawatir kalimat petani yang saya sebut Pak Marhaen tadi menjadi tesis abadi, tak runtuh-runtuh.

Kita semua pasti tau bahwa Bung Karno dan kawan-kawan berjuang meruntuhkan dengan Marhaenisme. Meruntuhkan dengan memerdekakan rakyat jajahan, dengan membentuk negara merdeka, membentuk sistem pemerintahan yang berdasarkan Pancasila.

Bung Karjo dan kawan-kawan juga meruntuhkan dengan membangun sistem hukum nasional yang berkeadilan sosial. Lalu, dibuatlah peraturan dasar di bidang Agraria yaitu (Undang-Undang No 5 Tahun 1960), yang menggantikan peraturan agraria buatan pemerintah kolonial. Pengesahannya pun sampai saat ini diperingati sebagai Hari Tani Nasional, 24 September.

Setelah itu juga dibentuk pula kementerian yang khusus mengurus pertanian juga dan didirikan pendidikan tinggi untuk mengembangkan pertanian. Namun, pada prakteknya sampai saat ini masih saja muncul sosok Pak Marhaen tetangga saya di kampung halaman saya.

Kondisinya tak banyak berubah dari Pak Marhaen yang dijumpai Bung Karno pada awal abad ke-20. Ia miskin dan sengsara. Kemiskinan dan kesenggaraan Petani tetangga saya menegaskan satu hal: betapa petani hingga hari ini masih terasing dari kerjanya. Terasing dari tanahnya. dari cangkul dan bajaknya.

Beliau bertani dengan alat-alat produksinya sendiri, tapi tak tahu hakikat yang dihasilkan, dan kemana tanamannya, berapa nilainya, sesungguhnya tak tahu. Beliau terasing dari keringatnya.

Dan kita semua tahu bahwasannya Pemilu semakin dekat. Pak Marhaen tak pernah menjadi golongan putih (golput) selama pemilu masa Orde Baru maupun reformasi. Tapi, ia tak pernah mengerti apa makna pemilu yang selalu diikutinya bagi kaumnya.

Bila kerja petani adalah pangkal dari kecukupan pangan, sebagaimana yang dikatakan Bung Karno bahwa petani itu adalah Penyangga Tatanan Negara Indonesia, mestinya apa yang Bung Karno katakan bahwasannya petani itu penyangga tatanan negara, harusnya mereka terhindar dari kemiskinan yang membuatnya hidup sengsara.

Pak Marhaen tak pernah muluk-muluk. Ia hanya butuh kepastian tak akan rugi setiap mulai menanam tanaman pangan di lahannya.

*Mochamad Sodiq Fauzi adalah Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Trenggalek.

Catatan Redaksi:

Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi kabartrenggalek.com.

Kopi Jimat

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *

This site is protected by Honeypot.