KBRT - Uap hangat perlahan mengepul dari semangkuk wedang angsle yang tersaji sederhana di pinggir Pasar Sore Trenggalek, hanya sekitar 50 meter dari alun-alun kota.
Minuman tradisional khas Jawa Timur ini menjadi teman setia warga yang mencari kehangatan, terlebih saat cuaca dingin atau hujan.
Di balik gerobak kecilnya, Mariana (45), pedagang wedang angsle asal Desa Surondakan, setia meracik minuman ini sejak 2004.
Isian angsle buatannya terdiri dari roti tawar, beras ketan, pacar cina, hingga kacang goreng, yang disiram kuah santan manis dan gurih.
“Saya pernah dengar cerita dari keponakan, kalau wedang angsle di Malang itu malah pakai bawang goreng,” tutur Mariana sembari tersenyum.
Mariana melanjutkan usaha suaminya, yang lebih dulu berjualan angsle belasan tahun sebelum ia mengambil alih. Meski bertahan puluhan tahun, ia mengakui penjualan angsle kini tak seramai dulu.
Dulu, satu kuali besar kuah angsle bisa habis dalam semalam. Kini, setengah kuali yang setara dengan 50 porsi pun tak selalu ludes.
“Kata suami saya, kalau dagang bawa setengah kuali saja, nanti kalau bawa satu kuali penuh tidak pulang-pulang,” ujarnya.
Harga seporsi wedang angsle buatannya Rp6.000—jauh lebih murah dibandingkan kota-kota besar seperti Banyuwangi atau Surabaya, yang bisa mencapai Rp10.000. Ia berjualan mulai pukul 09.00 dan biasanya pulang paling malam pukul 21.00 WIB.
“Sekarang itu sering pulang malam karena susah habis, saya tetap rela berjualan karena masih punya tanggungan anak yang baru masuk SMP,” pungkas Mariana.
Kabar Trenggalek - Sosial
Editor:Lek Zuhri