Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

My Account

Visi Besar Program Net Zero Carbon: Dibangun di Atas Banjir, Tanah Longsor, dan Kekeringan

Kabupaten Trenggalek menjadi salah satu kabupaten yang mendapatkan penghargaan Program Kampung Iklim (ProKlim) terbaik di Provinsi Jawa Timur. Bupati Trenggalek, Mochamad Nur Arifin, telah berulang kali mendapatkan penghargaan di bidang lingkungan hidup. Pada puncak peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang digelar di Malang (4/9/23), Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa, menobatkan Bupati Trenggalek, Mochamad Nur Arifin, yang saat ini merupakan calon tunggal Bupati petahana, sebagai Pembina ProKlim terbaik Jawa Timur.

Pada beberapa kesempatan, dalam kapasitasnya sebagai calon Bupati Trenggalek pada Pilkada 2024, Mochamad Nur Arifin mengungkapkan bahwa dalam visi-misinya terdapat sejumlah program unggulan, yang paling menonjol adalah program Net Zero Carbon, sesuai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2025-2045 dan sejalan dengan target nasional mencapai net zero emission pada 2060.

Program Net Zero Carbon adalah konsep untuk mencapai keseimbangan antara jumlah emisi karbon yang dihasilkan dan jumlah emisi yang diserap kembali ke lingkungan. Dalam konteks ini, karbon yang dilepaskan ke atmosfer (dari aktivitas manusia seperti transportasi, industri, dan pembangkit listrik) diimbangi dengan pengurangan atau penyerapan karbon melalui berbagai cara.

Langkah ini sekilas tampak inovatif, progresif, dan inspiratif. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, hal tersebut menyisakan sederet pertanyaan besar. Pertanyaan yang paling mendasar adalah: Apakah visi besar itu realistis, sementara masalah lingkungan dasar di Trenggalek masih belum terselesaikan?

Masalah Lingkungan yang Belum Teratasi

Trenggalek adalah daerah yang rentan terhadap bencana alam, mulai dari banjir hingga tanah longsor. Setiap musim hujan, banyak wilayah di kabupaten ini dilanda banjir akibat sistem drainase yang buruk dan penurunan kualitas lingkungan. Di kawasan perbukitan, longsor menjadi ancaman serius akibat kurangnya reboisasi dan alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Sementara itu, kekeringan masih menjadi persoalan ketika musim kemarau tiba, memperlihatkan pengelolaan sumber daya air yang tidak optimal.

Ketika kondisi seperti ini masih menjadi pemandangan umum, munculnya program ambisius seperti Net Zero Carbon menimbulkan tanda tanya besar. Apakah pemerintah daerah telah memastikan fondasi yang kokoh sebelum melangkah ke tahap yang lebih tinggi?

Populisme Hijau atau Solusi Nyata?

Program Net Zero Carbon sering kali terdengar sebagai strategi yang lebih mengedepankan citra dibandingkan hasil nyata. Fokus pada pengurangan emisi karbon memang penting, tetapi jika tidak disertai langkah nyata untuk menyelesaikan masalah lingkungan lokal, program ini hanya akan menjadi slogan kosong. Penghargaan ProKlim, meski membanggakan, juga tidak boleh membuat pemerintah daerah terjebak dalam euforia keberhasilan administratif semata, sementara masyarakat masih menghadapi bencana rutin setiap tahun.

Tangani Masalah Dasar Terlebih Dahulu

Sebelum berupaya untuk mewujudkan visi Net Zero Carbon yang berkelanjutan, Trenggalek harus memulai dari hal-hal mendasar:

  • Perbaikan Infrastruktur Lingkungan: Memperbaiki sistem drainase di kawasan rawan banjir dan membangun embung untuk mengatasi kekeringan.
  • Penghijauan Lahan Kritis: Melakukan reboisasi di daerah perbukitan untuk mencegah longsor dan meningkatkan kapasitas serapan karbon alami.
  • Pengelolaan Tata Ruang yang Ketat: Menghentikan alih fungsi lahan yang tidak terkendali dan menerapkan kebijakan pembangunan berbasis ekologi.
  • Edukasi dan Partisipasi Masyarakat: Mengajak masyarakat secara aktif berpartisipasi dalam menjaga lingkungan, tidak hanya di kawasan ProKlim tetapi di seluruh wilayah Trenggalek.

Jika pemerintah Trenggalek mengklaim telah melaksanakan semua tahapan mitigasi sebagaimana terinci di atas, tetapi bencana tetap terjadi, maka yang harus diuji bukan hanya keberadaan programnya, tetapi juga dari sisi efektivitas, implementasi, dan konsistensinya.

Evaluasi Efektivitas Program

1. Keluaran (Output)

Peran pemerintah adalah mengurangi risiko, bukan menyerah pada keadaan. Bencana alam memang tidak sepenuhnya dapat dicegah, tetapi dampaknya dapat diminimalkan dengan kebijakan dan tindakan yang tepat. Jika banjir, longsor, atau kekeringan tetap terjadi dengan skala yang signifikan, maka pertanyaan yang muncul adalah:

  • Apakah mitigasi bencana sudah benar-benar optimal?
  • Apakah sistem drainase sudah diperbaiki? Apakah kawasan rawan longsor sudah direboisasi? Apakah distribusi air bersih sudah memadai?
  • Apakah pemerintah melakukan penegakan hukum terhadap aktivitas yang memperburuk risiko bencana, seperti pembukaan lahan ilegal, penambangan di kawasan rawan, atau pembangunan di jalur hijau?
  • Apa yang sebenarnya telah dihasilkan oleh program? Misalnya, jika pemerintah mengklaim telah melakukan reboisasi, berapa hektar yang benar-benar telah ditanami? Apakah tanaman yang ditanam memiliki daya tahan tinggi atau malah gagal tumbuh?

2. Hasil (Outcome)

Apakah ada penurunan signifikan pada frekuensi atau dampak bencana? Misalnya, apakah kawasan yang rawan banjir kini tidak lagi terendam? Jika banjir masih terjadi, sejauh mana intensitasnya berkurang?

3. Dampak (Impact)

Apakah masyarakat merasakan perbaikan? Apakah ada pengurangan kerugian materi dan korban jiwa akibat bencana?

Mengapa diuji?  Program bisa ada di atas kertas, tetapi jika tidak efektif atau salah sasaran, dampaknya tidak akan terasa.

Konsistensi Pelaksanaan di Lapangan

  • Apakah program dijalankan dengan konsisten? Banyak program sering kali gencar di awal, tetapi berhenti di tengah jalan karena kurangnya anggaran, perhatian, atau prioritas.
  • Apakah program dilakukan secara menyeluruh? Misalnya, perbaikan drainase dilakukan di sebagian wilayah tetapi tidak menyentuh titik-titik kritis lainnya.

Mengapa diuji? Kadang pemerintah memang sudah memulai, tetapi pelaksanaan yang setengah hati menyebabkan hasilnya tidak optimal.

Pengawasan dan Penegakan Hukum

  • Apakah kebijakan mitigasi didukung pengawasan yang ketat? Misalnya, apakah aktivitas penambangan, penebangan, dan pembukaan lahan liar benar-benar sudah dihentikan atau masih berlangsung di bawah radar?
  • Apakah ada penegakan hukum terhadap pelanggaran tata ruang? Kawasan rawan longsor sering kali menjadi lokasi pembangunan ilegal atau penambangan liar yang memperparah risiko bencana.

Mengapa diuji? Tanpa pengawasan yang kuat, bahkan program yang baik pun akan kehilangan dampaknya.

Kesesuaian Program dengan Kebutuhan Lokal

Apakah program yang dijalankan sesuai dengan kondisi lokal? Misalnya, apakah jenis tanaman dalam program reboisasi sesuai dengan karakteristik tanah dan iklim di Trenggalek? Apakah drainase yang dibangun memiliki kapasitas untuk menangani curah hujan ekstrem? Apakah masyarakat dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan?

Mengapa diuji? Program yang tidak melibatkan masyarakat lokal sering kali gagal karena tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.

Ketahanan Infrastruktur dan Sistem

Apakah infrastruktur yang dibangun tahan terhadap bencana? Misalnya, apakah drainase dan tanggul yang dibangun memiliki standar kualitas yang memadai? Apakah ada sistem peringatan dini yang efektif? Sistem ini bisa membantu mengurangi korban jiwa meski bencana tetap terjadi.

Mengapa diuji? Infrastruktur yang lemah atau tidak memadai akan gagal menjalankan fungsi mitigasi meskipun sudah dibangun.

Kapasitas Respon dan Pemulihan

  • Apakah ada langkah cepat untuk menangani bencana? Selain mitigasi, pemerintah juga perlu memiliki sistem respon cepat untuk meminimalkan kerugian.
  • Apakah ada rencana pemulihan jangka panjang? Setelah bencana, apakah pemerintah memiliki strategi untuk memulihkan kondisi masyarakat dan lingkungan?

Mengapa diuji? Respon yang lambat atau tidak terencana akan memperparah dampak bencana.

Transparansi dan Akuntabilitas

  • Apakah laporan program dan hasilnya tersedia untuk umum? Transparansi sangat penting untuk memastikan bahwa klaim pemerintah dapat diverifikasi.
  • Apakah pemerintah melibatkan pihak independen dalam mengawasi dan mengevaluasi program? Misalnya, apakah ada peran akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), atau komunitas lokal dalam memantau pelaksanaan program mitigasi?

Mengapa diuji? Transparansi memastikan klaim pemerintah bukan sekadar narasi administratif. Akuntabilitas juga membantu mengidentifikasi kelemahan dan memperbaikinya.

Penyesuaian Strategi dengan Perubahan Iklim

Apakah pemerintah menyesuaikan strategi mitigasi dengan pola cuaca yang berubah akibat perubahan iklim? Misalnya, intensitas hujan yang lebih tinggi atau musim kemarau yang lebih panjang memerlukan pendekatan berbeda dibanding masa lalu. Apakah ada data terbaru yang digunakan untuk perencanaan? Banyak kebijakan gagal karena menggunakan data lama atau tidak relevan dengan situasi terkini.

Mengapa diuji? Strategi yang tidak adaptif akan gagal menghadapi tantangan baru yang muncul akibat perubahan iklim.

Keterbukaan untuk Kritik dan Masukan

  • Apakah pemerintah membuka ruang dialog dengan masyarakat dan pihak terkait? Jika masyarakat masih merasakan dampak bencana, pemerintah perlu mendengarkan dan memahami apa yang belum bekerja dengan baik.
  • Apakah ada evaluasi rutin terhadap program yang dijalankan? Evaluasi ini tidak hanya mencakup laporan pemerintah, tetapi juga melibatkan umpan balik dari pihak luar.

Mengapa diuji? Keterbukaan menunjukkan bahwa pemerintah tidak defensif dan benar-benar berkomitmen untuk memperbaiki situasi.

Dampak Sosial dan Ekonomi dari Program

  • Apakah program mitigasi telah meningkatkan kualitas hidup masyarakat? Misalnya, apakah masyarakat lebih aman dari bencana, atau justru ada dampak negatif seperti penggusuran atau hilangnya akses lahan?
  • Apakah program mendukung keberlanjutan ekonomi masyarakat? Misalnya, apakah reboisasi atau pengelolaan air membantu pertanian lokal?

Mengapa diuji? Program mitigasi tidak hanya tentang mengurangi risiko bencana, tetapi juga menciptakan manfaat nyata bagi masyarakat.

Jika masalah-masalah mendasar belum terselesaikan, Program Net Zero Carbon Kabupaten Trenggalek dapat dinilai sebagai langkah yang ambisius. Sebuah program besar seperti Net Zero Carbon hanya akan bermakna jika berpijak pada realitas lokal, bukan sekadar ambisi populis yang mengabaikan kebutuhan mendesak masyarakat.

Sebelum berbicara soal Net Zero Carbon, pastikan dulu bahwa banjir tidak lagi merendam rumah warga, tanah longsor tidak memakan korban, dan kekeringan tidak membuat sumur-sumur mengering. Dengan menyelesaikan tantangan ini, Trenggalek bisa menjadi teladan bagaimana membangun masa depan hijau yang berakar pada kebutuhan nyata warganya.