Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Tak Terawat, Benda Peninggalan Sejarah di Ponorogo Kini Jadi Trotoar Jalan

Sekilas tak ada yang aneh di trotoar Jalan Batoro Katong, Kelurahan Kertosari, Kecamatan Babadan, Kabupaten Ponorogo. Namun di salah satu trotoar, tepatnya di depan samping Gedung Joang 45 Ponorogo, terdapat sisa peninggalan sejarah di Ponorogo berupa jirat makam dari seorang Asisten Residen Belanda. Jirat makam tersebut terletak persis di depan pos ronda masyarakat setempat.Menurut penuturan lokal, area itu merupakan bekas pemakaman masyarakat Belanda yang disebut "Jaratan Londo" atau "Kerkhof". Kini, peninggalan yang tersisa hanyalah sebuah jirat makam yang bertuliskan R. W. H. Pitlo. Keseluruhan tulisan epitaf dari jirat makam tersebut terbaca samar-samar dikarenakan kondisinya yang telah aus.Hal ini menjadi perhatian para pegiat Jagongan Ponorogo, sebuah komunitas diskusi sejarah dan warisan budaya. Fuad Faizin, selaku admin Jagongan Ponorogo, menyampaikan bahwa pihaknya turut prihatin atas kondisi benda peninggalan jirat makam salah satu Asisten Residen Ponorogo tersebut."Kondisi jirat makam salah satu Asisten Residen Ponorogo yang menjadi trotoar jalan, sehingga terancam rusak dan menjadi hilang bukti sejarahnya," terang Fuad saat dikonfirmasi Kabar Trenggalek, Senin (06/11/2023).Fuad bersama komunitas Jagongan Ponorogo akhirnya melakukan mini riset dengan survei lapangan dan studi pustaka. Riset ini dilakukan selama satu bulan dan menghasilkan temuan berdasarkan pada arsip digitalisasi surat kabar masa Hindia Belanda dan beberapa literatur. Adapun literatur yang menjadi acuan riset yakni literatur tentang penduduk Eropa di sejumlah daerah.Melansir unggahan konten Instagram @jagonganponorogo, diketahui bahwa Rutger William Herman (R. W. H.) Pitlo merupakan Asisten Residen Ponorogo yang di angkat pada bulan April 1881. Dalam Arsip Pengangkatan Asisten Residen, tertulis dalam bahasa Belanda "tot ass.-resid. van Ponorogo, tevens vendu daar, R. W. H. Pitlo". Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, secara harfiah berarti "sebagai ass.-resid. di Ponorogo, juga sebagai penyelenggara lelang di sana, R. W. H. Pitlo".[caption id="attachment_47404" align=aligncenter width=1280] Epitaf jirat makam R. W. H. Pitlo/Foto: Ghani Yoseph (Kabar Trenggalek)[/caption]Diketahui, masa jabatan Pitlo sebagai Asisten Residen hanya selama lima bulan. Hal ini dikarenakan Ia wafat pada 12 Agustus 1881, di usia 34 tahun. Dalam Arsip Pemakaman, tertulis dalam bahasa Belanda "Uit Ponorogo, 13 Augustus. Gisteren mor-gen omstreeks half 10 uur overleed alhier de heer R. W. Pitlo, ass.-resident." Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, secara harfiah berarti "Dari Ponorogo, 13 Agustus. Kemarin pagi sekitar pukul setengah 10, Bapak R. W. Pitlo, ass.-residen, meninggal dunia di sini."Juga tertulis pada Arsip Pemakaman bahwa kereta jenazah Pitlo diikuti oleh banyak orang, termasuk residen Madiun, presiden pengadilan daerah, panitera, dan lain-lain. Ditemukan pula arsip lain yakni Arsip Duka Cita yang ditulis oleh Eugenia Henrietta Fransisca Feist (istri Pitlo) tentang pemberitahuan tunggal kematian Pitlo.Saat ini, kondisi peninggalan jirat makam Pitlo dinilai memprihatinkan. Fuad menerangkan bahwa kondisi jirat makam sebagai benda peninggalan sejarah terancam rusak. Hal ini dikarenakan kondisi jirat makam saat ini menyatu dengan trotoar jalan, tepat di depan pos ronda sehingga sering diinjak oleh warga. Pria lulusan Arkeologi, Universitas Gajah Mada tersebut juga menyampaikan, seharusnya benda peninggalan sejarah seperti ini bisa diperlakukan dengan tepat."Misalnya diselamatkan di Balai Penyelamatan Benda Cagar Budaya, karena mengingat jirat makam Pitlo tersebut merupakan hasil pindahan dan bukan lokasi semula. Di samping juga masyarakat menjadi tahu bahwa pernah ada Asisten Residen yang dikebumikan di Ponorogo sebagai bukti sejarah pada masa kolonial Hindia Belanda," ujar Fuad.Fuad berharap ke depannya agar instansi terkait dan pemimpin daerah dapat bersinergi dengan komunitas peduli sejarah dalam rangka lebih memperhatikan benda-benda peninggalan sejarah. Ia juga menyampaikan bahwa peran masyarakat setempat juga sangat dibutuhkan dalam membangun sinergisitas untuk peduli terhadap benda peninggalan sejarah."Karena berdasarkan UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pasal 59 ayat 1 mengamanatkan bahwa 'cagar budaya yang terancam rusak dapat aman'. Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan kerjasama antar instansi pemerintah dengan komunitas dan masyarakat, serta dilakukan dengan keputusan dan arahan dari instansi pemerintah terkait. Sehingga tentu membutuhkan kesadaran sinergi antar berbagai pihak yg terlibat di dalamnya," tandas Fuad.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *