KBRT - Warung sederhana di pinggir Sungai Bagong, Jalan Imam Bonjol RT 02/RW 04, Kelurahan Surodakan, Trenggalek, kerap menjadi pusat perhatian pengendara. Warung itu hanya menjual satu menu: sego bantingan, nasi bungkus khas rumahan dengan harga terjangkau Rp5.000 per bungkus.
Menu sederhana nan mengenyangkan ini dikelola oleh Endang Supadmiati (65), warga Kelurahan Ngantru, yang mulai berjualan sejak tahun 2010. Warung yang kini dikenal dengan nama Sego Bantingan Bu Bambang ini ramai pembeli karena rasa masakan yang nikmat, porsi yang cukup, dan harga yang ramah di kantong.
“Awalnya banyak sekali yang saya jual, mulai dari soto, ayam goreng, lele, ikan laut ada di warung saya. Tapi, setelah saya terkena serangan jantung saya akhirnya memilih berjualan sego bantingan saja,” ujar Endang.
Endang menceritakan bahwa dulu ia membutuhkan banner sepanjang enam meter untuk memajang daftar menu. Namun, setelah terkena serangan jantung sekitar enam tahun lalu, ia memutuskan menyederhanakan menu dan hanya menjual sego bantingan.
“Waktu itu sekitar jam 7 malam saya sedang menunggu pelanggan. Tiba-tiba ada orang main petasan dekat warung, saya kaget dan langsung jatuh lemas. Setelah itu saya dirawat di ICU selama 10 hari dan didiagnosis serangan jantung,” kenangnya.
Setelah peristiwa itu, warung yang dulu dikenal dengan nama “Warung Jreng” mengalami penurunan jumlah pelanggan. Meski demikian, semangat Endang tidak surut. Ia kembali membangun usahanya perlahan melalui menu tunggal sego bantingan.

Dalam sego bantingan, Endang menyajikan lauk yang berganti-ganti setiap hari. Mulai dari osengan jeroan, mie goreng, perkedel, hingga oseng kacang panjang dan kecipir, disediakan secara bergantian agar pelanggan tidak bosan. Bungkus daun pisang yang digunakan juga memudahkan pelanggan untuk membuangnya ke sungai, sesuai asal mula sebutan “bantingan”.
Dulunya, omzet warung Endang bisa mencapai Rp1,5 juta per hari dengan tiga kali memasak nasi menggunakan dandang 5 kilogram berbahan bakar kayu. Namun kini, omzet hariannya berkisar Rp200.000 hingga Rp250.000, terutama saat tidak ada pesanan khusus seperti Jumat Berkah.
“Sekarang dalam sehari penghasilan saya sudah tidak banyak. Kalau lebih itu biasanya pas ada pesanan,” ucapnya.
Warung buka mulai pagi hingga pukul 13.00 WIB. Endang mengaku, dengan kondisi kesehatan yang tidak seprima dulu, ia membatasi jam operasional dan jumlah nasi yang dimasak. Dalam sehari, ia biasanya menjual minimal 20 bungkus sego bantingan yang baru dibungkus saat dipesan, menggunakan beras pulen pilihan.
Suaminya, Bambang Suparlan (68), asal Tangerang Selatan, kini selalu menemani Endang berjualan. Meski tidak ikut memasak, Bambang membantu operasional warung dan menjadi sosok penting di balik nama warung “Bu Bambang”.
“Walaupun untungnya tidak banyak, saya tetap berjualan untuk menghibur diri, ya agar tidak bergantung dengan anak saja. Kalau begini kan bisa ngumpulkan uang sedikit-sedikit setiap hari buat kebutuhan mendadak,” ujar Bambang.
Nama “Bu Bambang” digunakan Endang agar suaminya yang berasal dari luar daerah juga dikenal oleh masyarakat Trenggalek.
“Kalau saya kan sudah banyak yang kenal, lalu suami saya yang asalnya dari Jakarta saya jadikan nama supaya ikut dikenal di Trenggalek,” tutupnya.
Kabar Trenggalek - Sosial
Editor:Zamz