- Mengembalikan posisi Dekan FK Unair seperti sedia kala. Rektor harus bisa menjaga otonomi perguruan tinggi jangan sampai disalahgunakan untuk melayani kepentingan proyek kekuasaan, dan justru bertentangan dengan spirit pencerdasan publik warga bangsa dan daya saing yang kuat bagi dokter Indonesia.
- Membatalkan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang salah arah dan melemahkan sistem kesehatan nasional yang berdampak kepada warga negara. Kasus Prof. Budi Santoso merupakan awal dari banyaknya masalah yang akan terjadi di berbagai Fakultas Kedokteran, insan tenaga kesehatan, atau ilmuwan yang sudah sepatutnya kewajiban moral menjaga nalar kritisnya. Pemberangusan pandangan akademik terhadap kebijakan negara, justru semakin menegaskan posisi kampus yang sekadar melumasi negara dengan karakter otoriter.
- Mendesakkan Rektor Unair untuk membatalkan SK Pemecatan sebagai Dekan FK Unair yang berpotensi melanggar secara hukum administrasi dan prinsip fundamental terhadap kebebasan akademik.
- Tindakan Rektor Unairsebagai bagian dari otoritas kampus membatasi kebebasan akademik adalah pelanggaran konstitusi, hukum dan HAM yang melekat pada Prof. Budi Santoso sebagai ilmuwan dan warga negara yang dijamin dalam perundang-undangan
- Mendesak Kemendikbudristek, Ombudsman RI, dan Komnas HAM untuk turut aktif menginvestigasi dan memberikan jalan terbaik bagi upaya progresif menggunakan wewenangnya dalam perlindungan kebebasan akademik dan hak asasi manusia.
- Menguatkan solidaritas antar-kolegium maupun masyarakat luas untuk mengawal kasus Prof. Budi Santoso agar tak menjadi preseden buruk di masa mendatang.
Rektor Unair Pecat Dekan Fakultas Kedokteran, KIKA dan SPK: Pembatasan Kebebasan Akademik
Rektor Universitas Airlangga (Unair), Prof. Dr. Mohammad Nasih, memecat Dekan Fakultas Kedokteran, Prof. Budi Santoso. Prof. Budi Santoso dipecat karena mengkritik Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan (Omnibus Law bidang kesehatan).Pemecatan Prof. Budi Santoso mendapat pernyataan sikap dari berbagai akademisi yang tergabung dalam Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Serikat Pekerja Kampus (SPK). Koordinator KIKA, Satria Unggul Wicaksana Prakasa, mengatakan tindakan Rektor Unair itu sebagai pembatasan kebebasan akademik."Tindakan Rektor Unair sebagai bagian dari otoritas kampus membatasi kebebasan akademik adalah pelanggaran konstitusi, hukum dan HAM yang melekat pada Prof. Budi Santoso sebagai ilmuwan dan warga negara yang dijamin dalam perundang-undangan," ujar Satria melalui rilis pernyataan sikap KIKA dan SPK.Perlu diketahui, Omnibus Law bidang Kesehatan dikritik karena Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memberi sinyal akan mendatangkan dokter asing ke tanah air. Hal ini dinilai menjadi penegas liberalisasi sektor kesehatan. Prof. Budi Santoso menyatakan bahwa 92 Fakultas Kedokteran di Indonesia mampu meluluskan dokter-dokter yang berkualitas. Bahkan kualitasnya ia yakini tidak kalah dengan dokter-dokter asing.Satria menyampaikan, banyak Rumah Sakit Vertikal di kota-kota besar di Indonesia dengan dokter spesialis yang berkompeten serta tidak kalah baik dari luar negeri. Prof. Budi Santoso yang lantang menolak rencana pemerintah mendatangkan dokter asing, malah dipecat dari jabatannya."Pemecatan dari jabatan struktural tersebut diduga kuat terkait kritiknya terhadap dokter asing yang hendak ekspansif dan dibuka kran liberalisasinya oleh Menkes Budi Gunawan Sadikin. Bahkan ia gunakan analogi naturalisasi pemain bola dengan dokter asing, sungguh analogi yang amat jauh secara apple to apple," terang akademisi Universitas Muhammadiyah Surabaya itu.Menurut Satria, upaya pemberhentian ini adalah bukti nyata tentang otonomi kampus PTNBH, yang menggunakan like and dislike untuk melakukan pemberhentian sepihak pimpinan universitas. PermenPAN RB Nomor 1 Tahun 2023 telah membawa dampak yang buruk dalam penerapannya."Setidaknya, ada beberapa problem dasar dari pemecatan Prof. Budi Santoso sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Unair dan polemik dokter asing. Problem pertama, Omnibus Law Bidang Kesehatan memiliki problem sejak awal pembentukannya, mulai dari pembentukan regulasinya berpotensi melanggengkan praktik pembentukan perundang-undangan buruk yang tidak transparan dan partisipatif," jelas Satria.Kemudian minimnya partisipasi, di mana organisasi profesi inti, salah satunya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tak pernah dilibatkan, bahkan gelombang demonstrasi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Senayan tak pernah digubris, padahal partisipasi bermakna (meaningful participation) merupakan kata kunci agar regulasi tersebut baik."Ketiga, Omnibus Law bidang kesehatan telah menggeser peran dokter menjadi kerja-kerja birokratis dengan akuisisi pemerintah sehingga mengganggu proses penjenjangan dokter dan tenaga kesehatan," kata Satria.Keempat, Omnibus Law bidang kesehatan jauh dari marwah pasal 28H dan 34 UUDNRI 1945 yang berbasis pelayanan publik menjadi berbasis komersial dengan otorisasi kekuasaan. Hal ini memberikan kewenangan besar dan tidak terkontrol (super-body) pada pemerintah dalam mengatur profesi kesehatan.Kemudian Pasal 235 yang memberikan kewenangan Menkes dalam penyusunan standar pendidikan kesehatan, kewajiban Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) untuk bertanggung jawab kepada Menkes yang sebelumnya otonom. Kemudian, pengesahan Surat Tanda Registrasi (STR) hingga penentuan organisasi profesi tenaga kesehatan yang diakui bagi tiap tenaga kesehatan."Kelima, Omnibus law bidang kesehatan melanggengkan eksploitasi pekerja di bidang kesehatan dan merubah fondasi pendidikan kesehatan yang berdampak pada pekerja kampus di Indonesia," ujarnya.Problem selanjutnya adalah tindakan represi yang dilakukan oleh Rektor Unair dengan menghentikan Prof. Budi Santoso secara sepihak merupakan tindakan kesewenang-wenangan, maladministrasi, dan yang lebih mendasar, tidak berupaya menjaga kebebasan akademik serta kampus sebagai rumah ilmuwan."Tak terhindarkan kesan campur tangan politik kekuasaan, terutama Menkes, untuk mencopot siapapun yang kritis terhadap kebijakan Pemerintah adalah bagian dari pemberangusan kebebasan akademik dan jelas merupakan bagian dari pembungkaman," terang Satria.Sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 9 (1), dijelaskan Kebebasan akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan kebebasan Sivitas Akademika dalam Pendidikan Tinggi untuk mendalami dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma.Selain itu dalam mekanisme hukum dan HAM di Indonesia, kebebasan untuk berkumpul, berserikat, dan menyampaikan aspirasi dalam dunia pendidikan tinggi merupakan hak yang melekat pada seluruh sivitas, termasuk dalam Pasal 19 Kovenan SIPOL (ICCPR/ Indonesia ratifikasi dalam UU No.12 Tahun 2005) sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, dan Pasal 13 Kovenan EKOSOB (ICESCR/Indonesia ratifikasi dalam UU No.11 Tahun 2005) sebagai bagian dari hak atas pendidikan. Sehingga perenggutan, pendisiplinan, bahkan serangan terhadap kebebasan akademik kepada mahasiswa seperti yang terjadi di UNRI dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM!"Rektor Unair seharusnya juga perlu memahami prinsip-prinsip kebebasan akademik yang juga disebut sebagai Surabaya Principles on Academic Freedom 2017 (SPAF), dimana deklarasi ini justru dilahirkan kesepakatannya di Universitas Airlangga pada Desember 2017," tegas Satria.Prinsip tersebut telah diadopsi dalam Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Kebebasan Komnas HAM, No. 5 Tahun 2021. khususnya pada standar 4 dan 5, yaitu: (4). Insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam rangka mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab dan memiliki integritas keilmuan untuk kemanusiaan; (5). Otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik.Atas tindakan represif yang dialami Prof. Budi Santoso, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Serikat Pekerja Kampus (SPK) menyatakan sikap sebagai berikut:
Kabar Trenggalek Hadir di WhatsApp Channel Follow