Opini oleh: Bagus Aji Kuncoro, S.IP*
Pesta demokrasi 2024 di Indonesia untuk pemilihan presiden dan wakil presiden serta legislatif mulai dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota akan segera dilaksanakan. Tepatnya pada Rabu 14 Februari 2024 mendatang.
Pemilu serentak ini akan menjadi ujian yang sesungguhnya bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan demokrasi. Seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya, tentu banyak hambatan, ancaman, dan tantangan yang akan dihadapi. Tidak hanya oleh pemerintah, penyelenggara, tapi juga rakyat Indonesia secara luas.
Keikutsertaan warga negara dalam memilih dan dipilih merupakan hak yang harus dilindungi, dipenuhi, dan diakui keberadaannya dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Serta, sebagai pelaksanaan ratifikasi dari Kovenan Hak Sipil dan Politik Internasional.
Ketentuan-ketentuan tersebut menjadi dasar bagi setiap warga negara Indonesia untuk memiliki kebebasan untuk ikut serta menentukan wakil-wakil mereka dalam pemerintahan, tidak terkecuali penyandang disabilitas.
Peran pemerintah dalam hak politik secara umum bersifat pasif, namun untuk pemenuhan hak politik bagi kelompok disabilitas adalah perihal yang khusus.
Untuk itu, dalam Undang-undang no 08 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas dalam bagian kesembilan pasal 13, diterangkan bahwa hak politik disabilitas meliputi (1). memilih dan dipilih dalam jabatan publik; (2). menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan; (3) memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum.
Kemudian, (4). membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus organisasi masyarakat dan/atau partai politik; (5). membentuk dan bergabung dalam organisasi Penyandang Disabilitas dan untuk mewakili Penyandang Disabilitas pada tingkat lokal, nasional, dan internasional; (6) berperan serta secara aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya.
Berikutnya, (7) memperoleh Aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; dan (8). memperoleh pendidikan politik. Namun demikian, adanya regulasi-regulasi tersebut belum cukup menjamin hak penyandang disabilitas dapat berpartisipasi maksimal pada pada prosesi pemilihan.
Meskipun realitanya hak berpolitik mereka masih banyak yang belum terpenuhi, tapi setiap tahunnya selalu ada pembaharuan untuk mewujudkan pesta demokrasi yang inklusif dan aksesibel. Perlu komitmen yang kuat dari semua pihak, agar pemerintah konsisten untuk memenuhi hak-hak politik disabilitas walaupun ditengah semua keterbatasan.
Mengingat, perlindungan terhadap penyandang disabilitas juga dapat diartikan sebagai upaya menciptakan lingkungan dan fasilitas umum. Seperti aksesibilitas demi kesamaan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk hidup mandiri dan bermasyarakat.
Ada beberapa permasalahan dalam aksesibilitas pemilu antara lain sarana prasarana TPS/lingkungan TPS yang tidak aksesibel, penyampaian informasi yang tidak didukung dengan bahasa isyarat, dll. Masalah tersebut terletak dari undang-undang, peraturan teknis, hingga operasional di lapangan.
Belum lagi, penyandang disabilitas fisik (tidak memiliki tangan/ kaki bahkan keduanya sekaligus) atau yang menggunakan kursi roda, tentu kondisi TPS yang selama ini kita lihat tidaklah akses, begitu juga dengan jarak antar bilik yang berdekatan serta tinggi meja yang normal (tidak lebih pendek/ khusus) akan menyulitkan mereka untuk mengaksesnya.
Begitupun penyandang disabilitas Tunarungu bagaimana PPS memanggil atau memberi tahu kepada mereka sedangkan PPS tidak punya kompetensi untuk memberi tahu dengan menggunakan bahasa isyarat. Bukan hanya itu saja, saat kampanye oleh paslon mereka juga kesulitan untuk mengetahui apa visi dan misi dari paslon yang mencalonkan diri, sehingga mereka tidak punya pertimbangan yang logis untuk menentukan pilihan.
Lain halnya dengan tunanetra. Dalam pelaksanaannya, KPU memberikan pendampingan yang dilakukan oleh PPS. Hal itu mereduksi prinsip kerahasiaan dalam pemilu, padahal permasalahan paling krusial yang dihadapi oleh penyandang disabilitas adalah ketika berada pada tahapan pemungutan suara
Pemilu yang aksesibel bukanlah sebatas adanya tamplate Braile, halusnya jalan, TPS bebas got, atau posisi kotak suara yang bisa dijangkau pengguna kursi roda. Beberapa hal ini hanya bagian kecil dari makna difabel.
Difabel merupakan salah satu beragam identitas yang diberi akses dalam pemilu yang inklusif. Sehingga, inklusif di sini bukan berarti ketersediaan fasilitas, program, atau pengupayaan akses. Lebih dari itu, inklusif di sini berarti perspektif keterbukaan yang empatik terhadap semua ragam identitas, tanpa kecuali.
Satu langkah maju dalam pemilu 2019 adalah telah tersedia alat bantu bagi difabel netra yaitu template braille yang sangat berguna bagi kaum difabel netra dalam menggunakan hak pilihnya. Tidak hanya itu dengan dibentuknya relawan demokrasi segmen disabilitas, penyampaian informasi tentang pesta demokrasi ini bisa dipahami disabilitas.
Salah satu bukti nyata, yaitu video informasi yang dibuat Taryaningsih, Relawan Demokrasi asal Trenggalek, yang membuat video perkenalan macam-macam surat suara, dilengkapi dengan isyarat, gambar serta tulisan. Sehingga menjadi media informasi yang inklusif yang bisa dipahami semua orang tanpa terkecuali termasuk disabilitas.
Dalam rangka mewujudkan Pilkada yang inklusif pada tahun 2024 ini, ada beberapa strategi yang didapat dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Pertama, melakukan sosialisasi secara terus menerus bagi kelompok penyandang disabilitas pada setiap tahapan proses pilkada berjalan dan menciptakan akses informasi yang ramah bagi penyandang disabilitas, sehingga membangkitkan rasa optimisme kelompok disabilitas terhadap pelaksanaan pilkada dan tidak merasa ditinggalkan dalam proses demokrasi ini.
Kedua, memastikan bahwa semua kelompok penyandang disabilitas terdaftar sebagai pemilih secara baik dan benar, sehingga tidak menimbulkan kesulitan yang baru bagi mereka disaat hari pemungutan suara berlangsung.
Ketiga; aksesibilitas terhadap bilik suara. Kemungkinan terjadinya hambatan bagi kelompok penyandang disabilitas di hari pemungutan suara harus mampu antisipasi oleh penyelenggara pemilu. Misalnya dengan penyediaan TPS yang aksesibel dan ramah bagi kelompok disabilitas.
Di samping itu, penyelengara wajib menyediakan surat suara yang sesuai dengan kebutuhan kelompok tersebut salah satunya seperti surat suara bagi pemilih kaum difabel netra yaitu template braille. Sehingga bisa terwujud pilkada yang inklusif dan aksesibel tentulah bukan pekerjaan yang mudah.
Dengan komitmen dan kesungguhan semua pihak, baik penyelenggara pemilu, pemerintah, dan stakeholder terkait lainnya, harapannya mampu memberikan dorongan positif. Khususnya dorongan dalam pencapaian pilkada yang berkualitas dan berintegritas serta mewujudkan pesta demokrasi 2024 yang inklusif dan aksesibel.
*Bagus Aji Kuncoro, S.IP adalah Mahasiswa Magister Tata Kelola Pemilu, Universitas Diponegoro, Semarang.