KBRT - Pada malam 17 Ramadhan merupakan awal diturunkannya Al-Qur'an dan setiap malam 17 Ramadhan umat Islam di Indonesia berbondong-bondong memperingati Nuzul Al-Qur’an itu. Satu aksioma yang tak terbantahkan, tidak ada satu kitab di dunia ini yang paling banyak dibaca dan dihafal manusia, kecuali Al-Qur'an.
Hanya saja, tidak satupun yang berani memastikan, seluruh umat Islam yang membaca dan menghafal Al-Qur'an sekaligus memahami artinya. Problematika mendasar tidak adanya sinkronisasi antara kemampuan umat Islam membaca Al-Qur'an dengan pemahaman dan pengamalannya, bisa jadi karena mereka masih skeptis terhadap otentisitas Al-Qur'an.
Dilansir dari buku Mengetuk Pintu Langit di Bulan Ramadan karya Dr. KH. Fuad Thohari, MA, semenjak 14 abad lalu, Allah menantang siapa saja yang merasa skeptis terhadap otentisitas Al-Qur'an, atau menganggapnya bukan wahyu, tetapi buatan Nabi Muhammad SAW yang ummi. Tantangan itu diajukan tiga kali selama periode Makah; mulai tantangan membuat semisal Al-Qur'an (Q.S. At-Thur, 52:33-34), 10 surat (Hud, 11:13), dan terakhir hanya satu (1) surat terpendek (Yunus, 10:38).
Setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, tantangan itu diajukan kembali (Al-Baqarah, 2:23). Ternyata tidak satupun yang sanggup memenuhi tantangan, padahal saat itu banyak sastrawan handal. Memang, keseluruhan Al-Qur'an merupakan mukjizat Allah. Tidak satupun informasi, statemen, dan komentarnya yang menyimpang dari fakta sosiologis-historis, medis, maupun saintifik.
Belum lagi keindahan dan keseimbangan redaksinya yang begitu mengagumkan. Dari segi sosiologis-historis, otentisitas informasi Al-Qur'an pernah diuji dengan memberikan informasi mendahului zamannya.
Yakni ketika terjadi perang dua negara adikuasa pada tahun 614 M, antara Persia, penyembah api, versus Romawi yang beragama Nasrani, dan berakhir tragis dengan kemenangan Persia. Ketika itu kaum musyrik Mekah mengejek umat Islam yang cenderung mengharapkan kemenangan Romawi karena sama-sama beragama samawi.
Kekecewaan umat Islam bertambah dengan ejekan itu. Tidak lama kemudian turunlah surat Ar-Rum, 30:1-5 menghibur umat Islam dengan menginformasikan dua hal. Pertama, dalam jeda 3-9 tahun kemudian–diredaksikan Al-Qur'an; bid'i sinin—perang akan terulang dan dimenangkan Romawi; kedua, saat kemengan itu umat Islam akan bergembira —bukan saja karena kemenangan Romawi—tetapi kemenangan yang dianugerahkan Allah kepada mereka.
Di sinilah otentisitas informasi AlQur'an diuji dan terbukti akurat dengan menetapkan angka pasti kemenangan Romawi di saat kekalahannya, 8 tahun berikutnya tepatnya 622 M. Suatu hal yang absurd dan tidak mungkin diinformasikan kecuali atas kuasa Allah yang maha mengetahui.
Apa yang terjadi jika dalam jeda 39 tahun tidak ada peperangan, atau terjadi perang dan Romawi kalah lagi. Pasti sejak hari itu Al-Qur'an dicampakkan, karena validitas informasinya dianggap tidak akurat.
Prof. E. Keith Moore, ilmuan terkemuka di bidang anatomi dan embriologi, penerima Grant Award (JCB) tahun 1984 di bidang anatomi, dan Dekan luar biasa di Universitas Toronto Kanada heran dan kagum luar biasa, bagaimana Nabi Muhammad SAW 14 abad lalu dapat menerangkan embrio dan fase perkembangannya begitu detail dan akurat, padahal ilmuan baru mengetahuinya 30 tahun lalu.
Informasi ini pasti sampai kepada Nabi Muhammad SAW dari Allah, karena hampir semua pengetahuan tersebut belum diketahui sampai berabad-abad sesudahnya. Pendapat senada dikemukakan Dr.G.C. Goeringer, profesor embriologi medis universitas Georgetown, Washington D.C dan masih banyak lagi temuan ilmiah kontemporer yang terbukti tidak berseberangan dengan Al-Qur'an.
Tidak kalah menariknya, keserasian dan keindahan redaksi Al-Qur'an bisa dilacak secara sistematis dengan perangkat komputer. Rasyad Khalifah, Ph.D. (alm.) imam masjid Tucson Amerika dan pakar Biokimia dari Arizona, adalah penemu rahasia keteraturan bilangan dalam Al-Qur'an ketika akan menerjemahkannya dalam bahasa Inggris tahun 1968.
Berawal dari rasa penasaran untuk menemukan makna konkret setiap penggalan inisial (ahruf al muqaththa'ah) di awal 29 surat Al-Qur'an. Pelacakan dimulai dari huruf Qaf, Shad, dan Nun sampai akhirnya penelitian itu bermuara pada angka 19 sebagai common denominatort.
Ilustrasinya, Basmalah terdiri 19 huruf, dan setiap penggalan katanya merupakan perkalian 19. Kata ism terulang 19 (19x1), Allah disebut 2698 (19x142), rahman terulang 57 (19x3), rahim disebut 114 (19x6), dan masih ratusan fakta keajaiban lain.
Mengapa angka 19 yang menjadi kunci, tidak lain, tema sentral Al-Qur'an adalah keesaan Allah, wahid. Kalau rahasia angka 19 ini dikembalikan kepada huruf arab yang dipakai untuk menunjukkan bilangan (sebelum mereka memakai angka arab yang dikenal dalam ilmu hitung sekarang dengan rumus huruf alif = angka 1, ba’ = 2, jim = 3, dal = 4, ha’ = 5, wau = 6, zai = 7, ha’ = 8, tha = 9, ya’ = 10, kaf = 11, dst.), ternyata angka 19 ditulis dengan rangkain akronim wahid (harf wau = angka 6, alif= 1, ha’= 8. dan dal= 4).
Dengan demikian, misteri angka 19 dalam Al-Qur'an yang baru ditemukan dengan komputer itu berarti wahid, keesaan Allah swt. Temuan rahasia angka 19 dalam Al-Qur'an ini telah dipublikasikan dalam majalah Scientific American bulan September 1980 dan dalam bukunya, The Computer Speaks: God’s Message to the World (1981) dan Qur’an: Visual Presentation of the Miracle (1982).
Selain itu, Abd. al-Razaq Naufal mendapatkan temuan lain kaitannya dengan keseimbangan redaksi Al-Qur'an, antara lain keseimbangan kuantitas kata dengan antonimnya, keseimbangan kuantitas kata dengan sinonim atau makna yang dikandungnya, dan keseimbangan kuantitas kata dengan kata yang menunjuk akibatnya.
Segi bilangan dalam Al-Qur'an) terdiri 3 jilid. Dalam realitasnya, banyak metode mengkaji Al-Qur'an yang ditawarkan, mulai metode Iqra’, Al-Barqi, Buraq, Qiraati, dan masih banyak lagi. Bagi pemula, metode di atas cukup mudah dan teruji efektifitasnya terutama untuk target lancar membaca Al-Qur'an.
Kabar Trenggalek - Edukasi
Editor:Zamz