Ide Awal Jualan dari Sang Suami
[caption id="attachment_65785" align=aligncenter width=1280] Arsip foto Mbah Lamirah bersama suaminya terpampang di dinding Warung Lodho Suwir Mbah Lam/Foto: Alvina NA (Kabar Trenggalek)[/caption]Warung Lodho Suwir Mbah Lam buka mulai pukul 6 sore hingga 4 pagi. Setiap hari Senin, warung ini libur.Usai mengambil beberapa gambar, aku bergegas menuju teras dan berbincang dengan Mbah lam. Perempuan yang memiliki nama terang Lamirah ini sudah berjualan nasi lodho semenjak tahun1970-an. Ide berjualan lodho ini berawal dari celetukan sang suami.Kala itu suaminya adalah sekretaris kecamatan Karangan. Lamirah bingung karena ayam peliharaannya berkembangbiak dengan cepat hingga membeludak, namun saat itu tak laku jika dijual hidup-hidup.“Lha pie? opo dibeleh gek digawe lodho, gek dol ning pasar utawa ning sekolahan. Didol mateng, [lha bagaimana? apa disembelih lalu dibuat lodho, lalu dijual di pasar atau di sekolah. Dijual matang,]” tutur Lamirah menirukan mendiang suaminya.Sembari terus berjualan jajanan di sekolah dasar (SD) dekat rumah, ia memutuskan berjualan di Pasar Karangan tiap hari pasaran Wage dan Pahing. Tak hanya itu, Lamirah sempat menjadi langganan guru-guru SD di sekitar rumahnya.“Ya, dulu sempat membuatkan pesanan nasi lodho untuk beberapa [acara] sekolah,” tuturnya dalam bahasa Jawa. Ingatan Lamirah masih tajam meskipun sudah berusia senja.Lamirah berhenti berjualan semenjak anak-anaknya beranjak dewasa dan sudah memiliki pekerjaan masing-masing.Melanjutkan Resep Lodho Nenek
[caption id="attachment_65786" align=aligncenter width=1280] Mbah Lam bersama Tri Wahyuni, anaknya, sedang duduk santai di teras Warung Lodho Suwir Mbah Lam/Foto: Alvina NA (Kabar Trenggalek)[/caption]Ide melanjutkan jualan lodho tak muncul begitu saja. Akbar dan Widi, sepupunya, mulanya hendak berjualan teh kampul asal Solo. Sambil mencari racikan teh yang pas, ia teringat bahwa neneknya pernah berjualan nasi lodho.“Saya pamit nenek, intinya saya mau buka warung nasi lodho. Cuma dibikin agak beda, jadi lodhonya disuwir,” tutur Akbar.Meski sempat pesimis karena latar belakang keluarganya tak ada yang berjualan selain sang nenek. Ia dan Widi nekat buka berbekal resep lodho dari nenek dan dukungan dari orang tuanya.“Yang jadi ikon lagi kan tempenya, pakai tepung gaplek, memasukkan ciri khas Trenggalek di situ,” terang Akbar.Akbar menjelaskan, menu andalan warung ini adalah lodho suwir, teh kampul, dan tempe goreng yang dibaluri tepung gaplek. Tepung gaplek sendiri merupakan produk turunan dari singkong singkong kering yang biasa dikenal dengan gaplek.“Ada juga sego jangan [sayur], tiap hari ganti. Kadang tahu tempe, kadang terong, pokoknya lodeh. Terus ini mencoba pecel pakai lodho suwir,” imbuhnya.Menu yang disajikan warung lodho suwir mbah lam ini memiliki harga terjangkau dan menyajikan porsi yang pas untuk makan malam.Bayangkan saja, seporsi nasi dengan lodho suwir dan kondimen lengkap dibanderol dengan harga 8000 rupiah. Sego jangan seharga 7000 rupiah dan pecel lodho suwir seharga 10.000 rupiah.Nah, perlu menyediakan tambahan kocek 4000 rupiah, sehingga bisa menikmati racikan sedap kombinasi tujuh jenis teh dan irisan jeruk manis sebagai penutup makan malam.“Memang ini [menu] menyasar semua kalangan,” tukas Akbar saat disingung terkait harga yang ramah di kantong.Kabar Trenggalek - Feature