Rasa lapar yang paripuna membuatku setuju dengan ajakan kawanku untuk berburu
kuliner Trenggalek. Beberapa rekan sepakat untuk titip membungkus. Kami menempuh perjalanan 15 menit dari wilayah Trenggalek kota menuju Desa Karangan, Kecamatan Karangan.Sebuah rumah tua dengan banner bertuliskan ‘Lodho Suwir Mbah Lam’ dan halaman luas menyambut kami. Warungnya sederhana, seperti layaknya rumah zaman dulu, terdiri dari anyaman bambu yang dijadikan tembok rumah.Jumat (12/01/2024), waktu menunjukkan pukul 11 malam. Beberapa orang terlihat duduk santai di depan warung Mbah Lam. Seorang laki-laki belia tanggap melayani pembeli. Ia adalah Akbar, cucu Mbah Lam. Akbar menjelaskan beberapa menu
kuliner yang tersedia.“Ini [warung] belum lama buka, dulu mbah yang jualan tapi di pasar. Sekarang beliau sudah sepuh, jadi saya dan sepupu izin melanjutkan jualan,” ungkap Akbar sembari membungkus lodho suwir pesanan kami.Akbar menuturkan, lodho suwir yang kini dijual adalah resep warisan dari neneknya. Kini ibu dan kakak ibunya yang memegang kendali dapur warung Mbah Lam. Karena penasaran kelanjutan cerita, aku memutuskan membuat janji temu dengan Mbah Lam.Sesampainya di rumah, rekan-rekanku sudah menunggu. Aku bergegas membuka bungkusan perhatianku tertuju pada suwiran ayam, mie, dan tempe goreng. Sedap kaldu bertemu rempah begitu terasa ringan dan menyegarkan.Daging lodho suwirnya empuk dan gurih. Tempe goreng menjadi pelengkap yang menyenangkan.Kawan-kawanku terlihat lahap dan cepat menyantap habis seporsi lodho suwir itu.Mereka hanya manggut-manggut sepakat bahwa rasanya sesuai dengan selera mereka. Aku makin dibuat penasaran bagaimana seporsi nasi lodho suwir ini dihidangkan dengan harga yang ramah di kantong.Sabtu sore (13/01/2023), aku kembali mendatangi
kuliner malam itu. Meskipun tidak berada di tepi jalan raya, warung lodho suwir ini mudah untuk ditemukan. Gang masuknya persis di seberang jalan yang lurus dengan tiang bendera lapangan Karangan.Kali ini, kedatanganku disambut langsung oleh Mbah Lam dan kedua anaknya. Perempuan berusia 85 tahun ini sumringah duduk di teras rumahnya.“Wah, mbak, ini baru selesai masaknya,” tutur Tri Wahyuni, salah satu anak Mbah Lam. Mereka menyilakanku masuk ke dapur dan melihat olahan lodho dan kondimen lain yang sudah siap disajikan.
Ide Awal Jualan dari Sang Suami
[caption id="attachment_65785" align=aligncenter width=1280]
Arsip foto Mbah Lamirah bersama suaminya terpampang di dinding Warung Lodho Suwir Mbah Lam/Foto: Alvina NA (Kabar Trenggalek)[/caption]Warung Lodho Suwir Mbah Lam buka mulai pukul 6 sore hingga 4 pagi. Setiap hari Senin, warung ini libur.Usai mengambil beberapa gambar, aku bergegas menuju teras dan berbincang dengan Mbah lam. Perempuan yang memiliki nama terang Lamirah ini sudah berjualan nasi lodho semenjak tahun1970-an. Ide berjualan lodho ini berawal dari celetukan sang suami.Kala itu suaminya adalah sekretaris kecamatan Karangan. Lamirah bingung karena ayam peliharaannya berkembangbiak dengan cepat hingga membeludak, namun saat itu tak laku jika dijual hidup-hidup.“Lha pie? opo dibeleh gek digawe lodho, gek dol ning pasar utawa ning sekolahan. Didol mateng, [lha bagaimana? apa disembelih lalu dibuat lodho, lalu dijual di pasar atau di sekolah. Dijual matang,]” tutur Lamirah menirukan mendiang suaminya.Sembari terus berjualan jajanan di sekolah dasar (SD) dekat rumah, ia memutuskan berjualan di Pasar Karangan tiap hari pasaran Wage dan Pahing. Tak hanya itu, Lamirah sempat menjadi langganan guru-guru SD di sekitar rumahnya.“Ya, dulu sempat membuatkan pesanan nasi lodho untuk beberapa [acara] sekolah,” tuturnya dalam bahasa Jawa. Ingatan Lamirah masih tajam meskipun sudah berusia senja.Lamirah berhenti berjualan semenjak anak-anaknya beranjak dewasa dan sudah memiliki pekerjaan masing-masing.
Melanjutkan Resep Lodho Nenek
[caption id="attachment_65786" align=aligncenter width=1280]
Mbah Lam bersama Tri Wahyuni, anaknya, sedang duduk santai di teras Warung Lodho Suwir Mbah Lam/Foto: Alvina NA (Kabar Trenggalek)[/caption]Ide melanjutkan jualan lodho tak muncul begitu saja. Akbar dan Widi, sepupunya, mulanya hendak berjualan teh kampul asal Solo. Sambil mencari racikan teh yang pas, ia teringat bahwa neneknya pernah berjualan nasi lodho.“Saya pamit nenek, intinya saya mau buka warung nasi lodho. Cuma dibikin agak beda, jadi lodhonya disuwir,” tutur Akbar.Meski sempat pesimis karena latar belakang keluarganya tak ada yang berjualan selain sang nenek. Ia dan Widi nekat buka berbekal resep lodho dari nenek dan dukungan dari orang tuanya.“Yang jadi ikon lagi kan tempenya, pakai tepung gaplek, memasukkan ciri khas Trenggalek di situ,” terang Akbar.Akbar menjelaskan, menu andalan warung ini adalah lodho suwir, teh kampul, dan tempe goreng yang dibaluri tepung gaplek. Tepung gaplek sendiri merupakan produk turunan dari singkong singkong kering yang biasa dikenal dengan gaplek.“Ada juga sego jangan [sayur], tiap hari ganti. Kadang tahu tempe, kadang terong, pokoknya lodeh. Terus ini mencoba pecel pakai lodho suwir,” imbuhnya.Menu yang disajikan warung lodho suwir mbah lam ini memiliki harga terjangkau dan menyajikan porsi yang pas untuk makan malam.Bayangkan saja, seporsi nasi dengan lodho suwir dan kondimen lengkap dibanderol dengan harga 8000 rupiah. Sego jangan seharga 7000 rupiah dan pecel lodho suwir seharga 10.000 rupiah.Nah, perlu menyediakan tambahan kocek 4000 rupiah, sehingga bisa menikmati racikan sedap kombinasi tujuh jenis teh dan irisan jeruk manis sebagai penutup makan malam.“Memang ini [menu] menyasar semua kalangan,” tukas Akbar saat disingung terkait harga yang ramah di kantong.