Kabar Trenggalek - Jhe Mukti, nama aslinya Mukti Satiti, adalah salah satu aktivis tolak tambang emas di Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ia merupakan Koordinator Aliansi Rakyat Trenggalek (ART), sebuah koalisi masyarakat sipil Trenggalek yang aktif menolak ancaman perusakan lingkungan oleh pertambangan emas PT Sumber Mineral Nusantara (SMN).Jhe Mukti memiliki latar belakang akademisi sekaligus petani. Ia merupakan lulusan Teknik Elektronika, Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang tahun 2004. Gagasan utamanya adalah tentang konservasi ekosistem karst. Gagasan itu diselaraskan dengan pengembangan pola-pola pertanian berkelanjutan, sekaligus menjadi ekonomi tanding terhadap industri ekstraktif, seperti pertambangan emas.
Kehidupan yang Melalang Buana
Jhe Mukti lahir pada tanggal 20 Januari 1980 di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Ibunya berasal dari Kutai Kartanegara, sedangkan ayahnya berasal dari Dusun Weru, Desa Ngulungkulon, Kecamatan Munjungan, Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur.Saat Jhe Mukti masih sekolah di Taman Kanak-Kanak (TK) kedua orangnya berpisah. Perpisahan itu membuat Ayahnya membawa Jhe Mukti pulang ke Trenggalek. Jhe Mukti melanjutkan Sekolah Dasar (SD) di Trenggalek, dari kelas 1 sampai 5.Kemudian, Ayahnya menikah lagi, lalu Jhe Mukti dibawa ke Jakarta. Di sana, Jhe Mukti melanjutkan sekolah kelas 6 SD sampai kelas 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saat memasuki kelas 3 SMP, Ayah Jhe Mukti pindah kerja ke Batam, Provinsi Kepulauan Riau.Lalu, Jhe Mukti bersama keluarga dan adiknya kembali ke Trenggalek, tepatnya di Desa Wonocoyo, Kecamatan Panggul. Jhe Mukti melanjutkan pendidikannya di Sekolah Teknik Menengah (STM) Madiun, Jawa Timur. Setelah lulus STM, ia kuliah di Teknik Elektronika, ITN Malang, Jawa Timur, dan lulus pada tahun 2004.Kisah Jhe Mukti yang melalang buana terus berlanjut. Usai lulus dari ITN Malang, ia merantau ke Ternate, Provinsi Maluku Utara. Di Ternate, Jhe Mukti bergabung dengan teman-temannya di sebuah yayasan kebudayaan. Selama setahun di Ternate, kegiatannya lebih banyak di bidang teatrikal dan sastra.Pada tahun 2006, Jhe Mukti pindah ke Manado, Provinsi Sulawesi Utara. Selama di Manado, ia bekerja di sebuah distributor buku bacaan dan buku sekolah. Jhe Mukti menjalani pekerjaan di distributor buku selama dua tahun. Hingga pada tahun 2008, ia kembali ke Malang.[caption id="attachment_15104" align=aligncenter width=500]
Jhe Mukti membawa jagung hasil panen di Malang/Foto: Dokumen Jhe Mukti[/caption]
Memulai Pertanian
Ketika kembali ke Malang pada tahun 2008, Jhe Mukti memulai aktivitas pertanian. Awal mulanya, ia menggarap lahan jagung, tapi karena sewa lahan semakin mahal, ia mencari peluang kerja sama pertanian dengan perusahaan dari Jepang.Pada tahun 2011, Jhe Mukti mendapatkan kerja sama itu. Ia membudidayakan bibit ubi jalar dari Jepang. Nama ubinya yaitu Ubi Naruto (mirip serial anime Naruto yang sangat populer di Jepang). Ubi Naruto mempunyai tekstur dan rasa berkualitas tinggi. Ubi Naruto bisa digunakan sebagai bahan baku untuk membuat pasta.Usaha budidaya Ubi Naruto sukses besar. Jhe Mukti mampu panen 5 ton Ubi Naruto dari lahan 1000 m2. Hasil dari panen Ubi Naruto itu aka diekspor ke Jepang. Melalui budidaya Ubi Naruto, nama Jhe Mukti semakin terkenal.[caption id="attachment_15105" align=aligncenter width=960]
Kliping Jhe Mukti setelah sukses budidaya Ubi Naruto/Foto: Dokumen Jhe Mukti[/caption]Bahkan, ada peneliti senior Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi), Dr M Yusuf Yakup, yang mencari-cari Jhe Mukti untuk mempelajari proses pembudidayaan Ubi Naruto. Tak hanya itu, Jhe Mukti juga mendapatkan penawaran kerjasama untuk mengelola lahan dari perusahaan agro di Kalimantan. Tapi Jhe Mukti menolaknya.Pada tahun 2011, usaha budidaya Ubi Naruto harus terhenti. Kala itu, Jepang dilanda bencana tsunami besar. Peristiwa itu dikenal sebagai gempa bumi dan tsunami Tōhoku 2011. Pihak perusahaan yang memasok bibit Ubi Naruto kepada Jhe, ikut terdampak.Setelah usaha budidaya Ubi Naruto berhenti, Jhe Mukti pindah ke Bogor, Provinsi Jawa Barat, pada tahun 2012. Ia mengembangkan pertanian Singkong. Saat Jhe Mukti menjalankan pertanian Singkong di Bogor, lagi-lagi ia mendapatkan dua tawaran kerja sama, dan keduanya ditolak.[caption id="attachment_15106" align=aligncenter width=604]
Jhe Mukti (kiri) bersama Mr Lim Hong (tengah), Suplay Development Bogasari/Foto: Dokumen Jhe Mukti[/caption]Pertama, Jhe Mukti mendapatkan tawaran kerjasama dari Mr. Lim Hong, Suplay Development Bogasari. Berada di dalam divisi PT Indofood Sukses Makmur, Bogasari merupakan perusahaan penggilingan tepung terigu terintegrasi dan terbesar di Jakarta. Pola kerja sama yang ditawarkan Bogasari itu bagi Jhe Mukti tidak menarik, lalu ia menarik diri.Kedua, di tahun yang sama, ia ditawari kerja sama untuk mengelola lahan sekitar 300 hektare di Malaysia. Jhe Mukti mendapatkan tawaran itu karena pengembangan Singong di Bogor didanai oleh investor dari Malaysia. Jhe Mukti menolak tawaran itu, sebab ia merasa ilmu dan pengalamannya di bidang pertanian bisa dikembangkan di rumahnya, Trenggalek.“Wah ngapain ngurusin Malaysia? Mending ngurusin tempat saya sendiri aja deh. Saya lebih memilih untuk kembali ke Trenggalek. Memilih balik ke Panggul karena secara komoditi bisa dikembangkan di sini dan dikuatkan di sini,” ujar Jhe Mukti kepada Kabar Trenggalek.
Inspirasi Ekonomi Berkelanjutan
[caption id="attachment_15101" align=aligncenter width=633]
Jhe Mukti sedang membaca Kitab Tafsir Ibnu Katsir di Bulan Ramadhan 2014/Foto: Dokumen Jhe Mukti[/caption]Pengalaman dan kesuksesan Jhe Mukti mengembangkan berbagai komoditas pertanian tak terlepas dari inspirasi yang ia temukan dalam perjalanan hidupnya. Jhe Mukti mulai suka dunia pertanian saat ia masih di Manado pada tahun 2006-2007. Saat itu ia bekerja di distributor buku, dengan bidang khusus distribusi sirkulasi buku.Jhe Mukti berkesempatan bertemu dengan Fadel Muhammad Al-Haddar, Gubernur Provinsi Gorontalo periode 2001-2009. Fadel Muhammad Al-Haddar sekarang menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia periode 2019-2024. Pertemuan dengan Fadel Muhammad Al-Haddar, begitu berkesan bagi Jhe Mukti. Sebab, Jhe Mukti melihat bahwa Fadel Muhammad Al-Haddar memiliki kebijakan pertanian yang bagus untuk menyejahterakan petani di Gorontalo.“Saya lihat dia kebijakannya bagus. Karena dulu itu di Gorontalo, jagung petani hanya dihargai per kilogram gelondong itu 500 rupiah. Akhirnya pemerintahannya Fadel Muhammad itu bikin standar harga minimal itu 1000 rupiah. Entah gimana dia ngelolanya, entah dengan perusahaan atau BUMD-nya, atau perusahaan miliknya. Cuma petani jadi punya potakoan kalau harga 1000 per kilogram gelondong itu bagus banget buat petani. Karena mereka bisa ngitung produksinya per pohon berapa? itu bisa terhitung biayanya,” cerita Jhe Mukti.Dari kebijakan pertanian dari Fadel Muhammad Al-Haddar itulah, Jhe Mukti terinspirasi dan yakin bahwa komoditi pertanian kalau dikerjakan dengan serius, maka hasilnya bakal sangat bagus. Jhe Mukti masih ingat, kebijakan pertanian dari Fadel Muhammad Al-Haddar cukup menarik. Sebab, Pemerintah Provinsi Gorontalo mampu mengembangkan kerjasama dengan daerah-daerah lain untuk menyerap komoditi di Gorontalo.“Pemerintah daerah jadi marketingnya, yang ngelola bagaimana meningkatkan produksi petani biar petani terus mengerjakan komoditi, bagaimana supaya ekonomi petani meningkat dengan patokan harga 1000 per kilo. Kemudian pemerintah daerah mencarikan pasar untuk komoditas pertanian, untuk dijual masuk pasar,” terang Jhe Mukti.
Titik Temu Pertanian dan Karst
[caption id="attachment_14610" align=aligncenter width=750]
Jhe Mukti (kanan) saat melakukan penataan karst di goa bawah tanah/Foto: @simaswatantra (Instagram)[/caption]Setelah menjalani kehidupan yang melalang buana di bidang pertanian, Jhe Mukti kembali ke Trenggalek. Awalnya, Jhe Mukti mulai berkeliling di Trenggalek, lalu ia mendapati temuan bahwa Trenggalek memiliki kawasan ekosistem karst yang luas.Jhe Mukti mengetahui bahwa Trenggalek adalah kawasan ekosistem karst karena melihat banyaknya goa yang ia temui. Selain itu, Jhe Mukti juga mendapati bahwa topsoil (lapisan tanah paling atas mengandung unsur hara untuk pertumbuhan tanaman) di Trenggalek tipis. Topsoil yang tipis menyebabkan berkurangnya kemampuan menyerap dan menyimpan air pada tanah. Sehingga, pertanian di kawasan ekosistem karst membutuhkan perlakuan-perlakuan khusus.Lalu, Jhe Mukti mempelajari serta memperkirakan komoditas pertanian yang cocok untuk dikembangkan. Pada tahun 2015, Jhe Mukti dan teman-temannya membentuk organisasi yang fokus dalam penelitian kawasan karst dan goa untuk mengembangkan pertanian. Organisasi itu adalah Masyarakat Speleologi Indonesia (MSI). Jhe Mukti ditunjuk sebagai Ketua MSI Jawa Timur.Penelitian kawasan karst yang Jhe Mukti lakukan bersama teman-temannya di MSI Jawa Timur menjadi dasar untuk mengembangkan pertanian. Mereka juga aktif berbagi pengetahuan kepada masyarakat, khususnya petani, untuk mengolah dan mengembangkan pertanian, dengan menyesuaikan kawasan ekosistem karst. Selain itu, mereka juga membuka pasar untuk komoditas-komoditas yang digarap para petani, supaya kesejahteraan mereka bisa meningkat.Aktivitas pendampingan MSI Jawa Timur kepada petani, dilakukan di berbagai kota seperti Malang, Tuban, Pacitan, dengan fokus di Trenggalek. Mereka berbagi pengetahuan bahwa ada beberapa komoditas yang bisa dikembangkan di kawasan ekosistem karst dengan topsoil yang tipis, salah satunya adalah Pohon Sukun.[caption id="attachment_15102" align=aligncenter width=1080]
Jhe Mukti (kiri) bersama para petani jagung di Bogor/Foto: Dokumen Jhe Mukti[/caption]Pohon Sukun juga berfungsi sebagai penangkap air yang baik. Akar pohon sukun memiliki lebar belasan meter bahkan sampai 20 meter, dan bisa menyerap banyak air. Oleh karena itu Pohon Sukun memiliki kemampuan untuk mencegah tanah longsor dan banjir. Selain itu, ketika Pohon Sukun berusia 30-40 tahun, akan muncul banyak sumber air di sekeliling Pohon Sukun. Sehingga, pohon sukun juga bisa mencegah kekeringan.Sayangnya, waktu itu Jhe Mukti menemukan banyak masyarakat Trenggalek yang belum mengolah Pohon Sukun dengan baik. Padahal, Buah Sukun termasuk ke dalam jenis super food (makanan super) karena memiliki berbagai kandungan nutrisi yang bagus. Akan tetapi banyak masyarakat yang masih belum mengetahuinya. Sedangkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Trenggalek juga tidak fokus mengolah Buah Sukun.“Seperti Pohon Sukun, kalau di sini [Trenggalek] ya dibiarkan jatuh-jatuh sampai busuk. Atau ada yang dititipkan di toko, siapa yang mau beli. Itu paling ya dikukus dan digoreng saja. Ya kita tahu lah, Dinas Pertanian Trenggalek konsentrasinya cuma padi padi padi,” ucap Jhe Mukti.Jhe Mukti dan teman-temannya di MSI Jawa Timur percaya jika berbagai komoditas pertanian di Trenggalek bisa dikembangkan dengan menyesuaikan kawasan ekosistem karst. Jhe Mukti berharap, dengan pola pengembangan pertanian itu, masyarakat bisa meningkatkan kesejahteraannya, serta menjaga kawasan ekosistem karst di Trenggalek tetap lestari.Akan tetapi, harapan Jhe Mukti dan teman-temannya mendapatkan kendala besar. Yaitu adanya rencana pertambangan emas oleh PT SMN yang berpotensi merusak berbagai segi kehidupan, termasuk merusak kawasan ekosistem karst.
Ekonomi Berkelanjutan Vs Tambang Emas
Jhe Mukti menegaskan, ekosistem karst memiliki beragam fungsi penting bagi kehidupan manusia, salah satunya adalah perlindungan mata air. Jhe Mukti menjelaskan, karst termasuk salah satu sumber daya alam non-hayati yang tidak dapat diperbarui karena proses pelarutan serta pembentukannya membutuhkan waktu ribuan hingga jutaan tahun.Oleh karena itu, ketika kawasan karst dirusak oleh kegiatan industri ekstraktif seperti tambang emas, maka akan terjadi kekeringan di Trenggalek. Selain itu, kegiatan pemulihan kawasan karst menjadi lebih sulit dilakukan, meskipun dengan cara alami, penanaman atau penghijauan kembali.Gagasan Jhe Mukti tentang kawasan ekosistem karst dituangkan dalam karya ilmiah yang berjudul “Kolaborasi Penataan Ekosistem Karst dan Pengelolaan Sumberdaya Air untuk masyarakat di Kabupaten Trenggalek”. Karya ilmiah dari Jhe Mukti mendapatkan penghargaan sebagai best academic paper at Aceh Water Conference 2021.Kegiatan Aceh Water Conference itu diinisiasi oleh Lembaga Karst Aceh, Ikatan Alumni Jerman (IAJ) Aceh dan Bijeh. Kegiatan iti mendapatkan dukungan penuh dari perusahaan internasional milik pemerintah federal Jerman, Deutsche Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH.[caption id="attachment_2067" align=aligncenter width=768]
Alam Trenggalek yang asri/Foto: Mongabay[/caption]Karya ilmiah dari Jhe Mukti juga menjadi rekomendasi kebijakan strategis untuk pembangunan di bidang sanitasi dan air di Aceh. Sayangnya, prestasi karya ilmiah dari Jhe Mukti kurang mendapatkan perhatian dari Pemkab Trenggalek.“Apa yang sudah kita sampaikan terkait itu digunakan sebagai rekomendasi di Aceh, ya itu bagus. Tapi di Trenggalek sendiri belum jadi arus utama dalam kebijakan pembangunan pemerintah daerahnya. Sementara kita sudah tahu bahwa perlindungan karst menjadi bahasan utama ketika kita berbicara soal penolakan tambang emas,” ujar Jhe Mukti.Dalam karya ilmiahnya, Jhe Mukti juga menceritakan bahwa ia dan warga Kecamatan Panggul sudah mulai melakukan kegiatan perlindungan kawasan karst dengan mengadakan Festival Banyu Sekara.Menurut Jhe mukti, istilah Banyu Sekara menjadi salah satu bukti bahwa orang-orang dahulu lebih perhatian dengan kondisi lingkungannya. Banyu Sekara adalah istilah lokal yang digunakan oleh masyarakat untuk menyebutkan air yang keluar dari gua atau air yang mengandung kapur.Bersama teman-temannya di Sima Swatantra Indonesia, Jhe Mukti mendorong terbangunnya kolaborasi dengan semua pihak guna penataan ekosistem karst dan pengelolaan sumberdaya air untuk masyarakat di Kabupaten Trenggalek.[caption id="attachment_4412" align=aligncenter width=1280]
Banner Aliansi Rakyat Trenggalek Kami Tolak Tambang Emas Trenggalek/Foto: Dokumentasi Aliansi Rakyat Trenggalek[/caption]Akan tetapi, ketika sudah ada masyarakat yang bergerak untuk melindungi kawasan karst, Pemkab Trenggalek malah tidak memberi respons balik yang serius. Menurut Jhe Mukti, seharusnya Pemkab Trenggalek membentuk Peraturan Daerah Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Perda RPPLH) sebagai bentuk upaya melindungi kawasan karst. Tapi, Pemkab Trenggalek hingga hari ini belum memiliki Perda RPPLH.“Makanya perlu komitmen bersama untuk melindungi kawasan karst. Harusnya menjadi tugasnya Dinas Lingkungan Hidup untuk menyampaikan ruang hidup masyarakat Trenggalek itu seperti ini lho. Tapi sampai skerang Perda RPPLH nya gak ada. Ya mana komitmennya?” kritik Jhe Mukti.Menurut Jhe Mukti, dengan kondisi Pemkab Trenggalek yang masih kurang responsif terhadap ekonomi berkelanjutan maupun perlindungan kawasan karst, maka masyarakat Trenggalek harus bergerak bersama untuk menguatkan ekonomi berkelanjutan. Gerakan bersama itu penting supaya masyarakat bisa membuktikan bahwa pola ekonomi berkelanjutan jauh lebih baik daripada industri ekstraktif tambang emas yang merusak lingkungan.“Industri ekstraktif tidak memberi dampak perubahan ekonomi besar ke masyarakat yang mayoritas adalah pertanian. Karena, pertanian itu lebih berkelanjutan. Ya sampai tanah itu dirusak tambang emas, maka ekonomi masyarakatnya bakal habis. Mau ngapain lagi coba kalau tanahnya dirusak?” tandas Jhe Mukti.Baca Juga:
Jhe Mukti Aktivis dari Panggul, Gagasannya Diakui Internasional tapi Diabaikan Pemkab Trenggalek