KBRT - Pengadaan mobil siaga Desa Sukowetan yang mengandalkan iuran dari warga setempat mendapat sorotan dari Ibnu Maulana Zahida, pakar hukum Trenggalek. Ia menilai kasus ini berpotensi menjadi ajang pungutan liar.
Ibnu menyoroti ketidakjelasan panitia pengadaan mobil siaga desa yang bertanggung jawab atas beredarnya surat permintaan partisipasi masyarakat Desa Sukowetan untuk pengadaan mobil tersebut.
“Surat yang meminta warga membayar iuran sebesar Rp50.000 untuk pengadaan mobil siaga bisa menjadi pungutan liar jika mengatasnamakan pemerintah desa,” tegasnya.
Ibnu menjelaskan bahwa pengadaan mobil siaga desa seharusnya berasal dari Dana Desa (DD) atau Alokasi Dana Desa (ADD). Pemerintah desa, menurutnya, sepatutnya mengakomodasi pengadaan mobil siaga dari sumber tersebut, bukan meminta iuran dari masyarakat.
“Dalam pandangan hukum, iuran ini bisa menjadi pungli karena panitia pengadaan mobil bersifat tidak jelas. Konsekuensi bagi warga yang tidak membayar iuran tidak diketahui, begitu pula dengan siapa yang bertanggung jawab dan mengawasi pengadaan tersebut,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa dalam pengadaan mobil siaga desa, perlu ada kejelasan mengenai pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan serta perawatan mobil di masa mendatang.
“Kalau pengadaan bersumber dari Dana Desa, maka sudah jelas yang bertanggung jawab sepenuhnya adalah pemerintah desa,” tandasnya.
Menurut Ibnu, pengadaan mobil siaga bisa melibatkan sumbangan masyarakat, tetapi harus bersifat sukarela, bukan melalui iuran yang diinstruksikan melalui surat resmi.
“Jika pemerintah desa ingin mengumpulkan dana dari sumbangan masyarakat, seharusnya ada komunikasi dengan Bupati atau Wali Kota setempat, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Desa Pasal 69 Ayat 4,” ujarnya.
Ibnu menjelaskan bahwa undang-undang tersebut mengatur tentang rancangan peraturan desa terkait anggaran pendapatan dan belanja, pungutan, tata ruang, serta organisasi pemerintahan desa.
“Sebelum pemerintah desa dapat menerima sumbangan dari masyarakat, terlebih dahulu harus berkomunikasi dengan Bupati. Setelah peraturan desa terbentuk dan dievaluasi oleh Bupati, barulah pemerintah desa diperbolehkan melaksanakannya,” pungkasnya.
Kabar Trenggalek - Mata Rakyat
Editor:Zuhri