KBRT - Kenaikan harga kedelai sebagai bahan baku utama tempe membuat pelaku usaha kecil di Trenggalek kesulitan. Para pedagang bingung karena tidak bisa menaikkan harga jual tempe, sementara biaya produksi terus membengkak.
Martini (63), produsen sekaligus pedagang tempe di Pasar Basah Trenggalek, menyampaikan bahwa kenaikan harga kedelai sudah berlangsung selama dua minggu terakhir.
Sebelumnya, ia mendapatkan kedelai seharga Rp8.500 per kilogram. Namun, setelah kenaikan, harga kedelai melonjak menjadi Rp10.500 per kilogram.
“Bagaimana lagi, Mas, kalau dinaikkan jadi tidak laku,” keluh Martini saat menjaga lapaknya di pinggiran pasar.
Untuk menyiasati kenaikan biaya, Martini mengurangi sedikit takaran dalam pembuatan tempenya agar tetap memperoleh keuntungan. Namun, ia memastikan takaran kedelai tetap cukup sehingga ukuran tempe tidak menyusut.
“Saya berjualan tempe itu dari tahun 1980. Setiap harinya saya menghabiskan 10 kilo kedelai untuk membuat dagangan,” jelasnya.
Martini menambahkan, dalam pengalamannya, kenaikan harga kedelai biasanya bertahan cukup lama sebelum kembali stabil.
Selain memproduksi tempe biasa, Martini juga menjual varian tempe yang mulai langka, yaitu tempe berbungkus debog (batang pisang), yang ia jual seharga Rp2.000 per bungkus.
“Di pasar basah, tinggal saya saja yang menjual tempe debog. Padahal tempe ini punya rasa yang lebih enak daripada yang lain,” tandasnya.
Ia menjelaskan bahwa tempe debog tidak akan berasa masam meski sudah terlalu matang, berbeda dengan tempe yang dibungkus plastik. Menurutnya, tidak ada perlakuan khusus dalam proses produksinya yang menyebabkan keunggulan rasa tersebut.
Wanita asal Dusun Kranding, Desa Tamanan ini, mewarisi usaha pembuatan tempe dari sang nenek. Sebelum melanjutkan usaha, ia telah memahami proses pembuatan tempe dari ibu dan neneknya.
“Selain yang dibungkus debog, saya juga biasa buat yang dibungkus daun jati maupun daun pisang. Kalau selain yang debog, harganya lebih murah,” terangnya.
Martini menjual varian tempe lainnya dengan harga Rp1.000 per bungkus karena ukurannya lebih kecil. Ia berjualan setiap hari di pasar dengan diantar suaminya menggunakan becak, dan dijemput kembali saat pulang.
Ia membeli kedelai dari salah satu toko sembako di Trenggalek. Dalam sekali pembelian, ia biasa membawa satu karung kedelai seberat 50 kilogram untuk kebutuhan produksi selama lima hari.
“Dalam sehari tempe 10 kilogram terkadang tidak habis. Ya alhamdulillah, baru-baru ini malah mendapat pelanggan baru dari penjual lalapan,” pungkasnya.
Kabar Trenggalek - Ekonomi
Editor:Zamz