Jika Jawa adalah kunci untuk memenangkan kancah perpolitikan nasional, Tukang Kajat atau Dongke adalah kunci dari kemenangan perut dalam Tradisi Kenduri. Perannya dalam kenduri sangat vital, sebab ketik Dongke belum datang, acara kenduri belum bisa dimulai dan makanan tersaji belum bisa dimakan.
Sebagai masyarakat Jawa, kenduri sudah jadi tradisi yang tidak bisa dipisahkan begitu saja. Kenduri hadir di berbagai macam seremonial perayaan, salah satunya di dalam rangkaian Tradisi Ngitung Batih di Kecamatan Dongko Kabupaten Trenggalek, yang berlangsung pada Rabu, (19/07/2023).
Dalam kegiatan tersebut, ambeng atau sesaji, yakni sebuah makanan dengan simbol-simbol khusus, diarak mengitari sebagian kecil Desa Dongko. Kemudian dikumpulkan di atas panggung dan semua orang duduk mengitarinya.
Lalu, nampak Genit Santoso (Ki Genit) merapalkan nama-nama ambeng, sembari menjelaskan makna dan tujuannya menggunakan bahasa Jawa. Sebagai penutup, kenduri tersebut kemudian dibacakan doa-doa sesuai ajaran Islam dan identik dengan Bahasa Arab. Baru kemudian setelah kenduri ditutup, sajian makanan dibawa keluar panggung untuk diberikan kepada warga.
Bisa dikatakan Ki Genit adalah Dongke legendaris dalam Tradisi Ngitung Batih. Karena, saat ditemui Kabar Trenggalek, Ki Genit mengungkapkan dirinya sudah menjadi Dongke sejak 2011. Untuk pertama kalinya, tradisi Ngitung Batih dipusatkan di Kecamatan Dongko hingga saat ini.
Tak hanya untuk Kenduri di kegiatan Ngitung Batih, di setiap kali ada kenduri di lingkungan rumahnya, Ki Genit juga terpilih menjadi Dongke. Kurang lebih sejak usianya menginjak 52 tahun dirinya jadi orang yang memiliki peran sentral dalam Kenduri.
"Sebenarnya banyak dongke-dongke juga, cuma yang dikehendaki oleh para warga itu hajatannya atau mengartikan itu harus ada pemersatu dari Al-Qur'an juga dari adat atau kejawen," ujar Ki Genit.
Sebelum menjadi Dongke, Ki Genit tak hanya belajar menghafalkan nama-nama ambeng dan makna simboliknya. Dirinya juga menjalani ritual kerohanian, seperti berpuasa di hari kelahiran dan puasa senin kamis.
Bukan tanpa hambatan, selama proses belajar Ki Genit ini ada berbagai cobaan yang dihadapi. Kebanyakan cobaan tersebut datang dari hal bersifat metafisik atau supranatural.
"Kendalanya cobaan, kadang saya itu sepertinya merasa hal-hal yang tidak masuk akal. Dalam arti tadinya ndak ada gejala apa-apa, tahu-tahu sakit," ungkap Ki Genit.
Kendati, dalam cobaan tersebut Ki Genit mendapatkan berbagai macam pelajaran. Berdasarkan pengakuannya, saat sakit dirinya pernah mendapatkan pesan dari mimpi bahwa dirinya kurang laku atau pengamalan.
"Jadi mungkin saya diperingatkan kalau ingin menjadi Dongke harus ada laku-laku yang pokok harus dijalani," ungkap pria paruh baya tersebut.
Jadi seorang Dongke dilakukan Ki Genit di tengah kesibukannya berjualan sepatu dan sandal di Pasar Dongko. Ia mengamini menjadi Dongke merupakan kerja-kerja sosial, alias tidak ada gaji.
"Karena saya punya keyakinan bahwa ilmu itu tidak dibarengi dengan laku, dengan syarat prihatin. Kalau di jawa itu ilmu lelakone kanti laku [ilmu harus dibarengi pengamalan], punya keyakinan itu harus melakukan itu," ungkap Ki Genit sembari tersenyum.
Dirinya tak pernah mengharapkan imbalan apapun dari pengabdian sebagai Dongke. Kendati, ada beberapa orang yang memaksa datang ke rumahnya sambil membawakan barang. Dirinya tak bisa menolak karena khawatir menyinggung perasaan orang tersebut.
"Saya punya pedoman, bisa seperti itu [menjadi Dongke] harus saya amalkan. Jadi saya tidak pernah mengharapkan sesuatu," ujar Ki Genit.
Di tengah kehidupan masyarakat yang anak mudanya hidup dengan teknologi modern, Ki Genit tetap optimis pekerjaan seperti Dongke ini bisa terus lestari.
Hal itu ia ungkapkan setelah mendapatkan pengalaman didatangi anak muda untuk belajar tentang tradisi dan budaya Jawa. Selain berjualan di pasar, Ki Genit juga berprofesi sebagai dalang. Sehingga menarik minat dari anak TK hingga remaja SMP untuk belajar padanya.
"Harapan saya semoga anak-anak muda itu nanti mau melestarikan budaya adat seperti ini dan akhirnya di antara adat dan keagamaan itu tetap bisa menyatu," tandas Ki Genit.