Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Cerita Brenjonk Menggagas Pertanian Organik dan Wisata Edukasi di Lereng Gunung Penanggungan

Kubah Migunani

Jumat, 10 Maret 2023, pukul 14.08 WIB, di warung sawah Desa Penanggungan, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto. Area sawah itu dikelola oleh warga sebagai lahan pertanian organik dan wisata edukasi di Lereng Gunung Penanggungan.

Desa Penanggungan terkenal dengan julukan kampung organik. Semua tanaman di area sawah merupakan tanaman organik. Wisata kulinernya juga kuliner organik. Setiap hari, warga mengonsumsi makanan yang organik.

Tidak hanya di sawah, pekarangan rumah warga Desa Penanggungan pun ditanami sayuran organik. Sayuran itu seperti bayam, kangkung, sawi, cabai, jahe merah, bawang prei, selada, singkong, dan lain-lain.

Warga Desa Penanggungan menanam sayuran di polybag. Jika punya pekarangan yang agak luas, mereka mendirikan tunnel (pipa lengkung) ataupun mini green house (rumah kaca mini) untuk melindungi sayuran dari hujan maupun hama.

Semangat menerapkan pola hidup organik tumbuh dari kesadaran kolektif warga Desa Penanggungan. Sebuah kesadaran bahwa makanan dari hasil pertanian organik itu lebih segar dan sehat daripada makanan dari hasil pertanian anorganik (dengan pupuk bahan kimia).

Kesadaran kolektif itu memang terkesan sederhana. Tapi, kesederhanaan itulah yang membawa kehidupan masyarakat lebih sehat, sejahtera, serta lingkungan tetap terjaga.

Dengan pertanian organik, para petani mendapatkan akses harga premium. Hasil pertanian mereka masuk restoran organik hingga supermarket. Wisata edukasi Desa Penanggungan juga sering dijadikan tempat belajar mahasiswa maupun dosen dari kampus-kampus ternama. Hebatnya lagi, warga Desa Penanggungan memiliki ketahanan pangan yang kuat saat menghadapi badai Covid-19.

Desa Penaggungan berada di ketinggian sekitar 600 mdpl. Siang itu, Gunung Penanggungan terlihat samar karena tertutup mendung. Gerimis tipis menggiringi suasana obrolan kami dengan Slamet dan teman-temannya di warung sawah.

Slamet merupakan sosok penggagas kampung organik di Desa Penanggungan. Slamet menceritakan upaya yang dilakukan bersama teman-temannya selama 16 tahun ini. Mereka menggagas pertanian organik dan wisata edukasi melalui komunitas petani yang bernama ‘Brenjonk’.

Gapura Brenjonk Lampung Organik/Foto: Kabar Trenggalek

Kata Brenjonk berasal dari sumber air di Desa Penanggungan yang bernama ‘Sumber Rejo’. Kata ‘ber’ dan ‘rejo’ kemudian disatukan lalu diucapkan menjadi Brenjonk. Seperti asal namanya, kegiatan Brenjonk juga bertujuan untuk merawat sumber mata air dan melestarikan lingkungan melalui pertanian organik.

Semangat awal Brenjonk tumbuh pada tahun 2000, dari organisasi yang bernama Forum Perjuangan Rakyat Trawas (Foras) dengan anggota 300 KK. Saat itu, pohon-pohon di Desa Penanggungan banyak yang digunduli. Foras ingin mereboisasi hutan supaya bisa menopang keberlangsungan hidup masyarakat. Foras tidak ingin hutan gundul karena penebangan pohon.

Sayangnya, pihak Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perhutani) bersikeras menanam bibit kayu untuk ditebang di kemudian hari. Oleh karena itu, Foras mengambil jalannya sendiri untuk melestarikan lingkungan. Di sektor pertanian organik, sel-sel Foras mendirikan Brenjonk pada 2007. Lalu, di sektor kehutanan, pada tahun 2018, mereka membentuk Kelompok Tani Hutan Aman, Lestari, Adil, Sejahtera (KTH Alas).

Saat ini, Brenjonk terus mengembangkan pertanian organik dan wisata edukasi. Sedangkan KTH Alas mengiringi perkembangan itu, melalui kegiatan penguatan kapasitas masyarakat, pelestarian lingkungan, fundraising, serta edukasi pelestarian lingkungan.

Sumber air Brenjonk, Desa Penanggungan/Foto: Kabar Trenggalek

Anggota Brenjonk ada 104 orang dengan wilayah kelola lahan seluas 18 ha. Kemudian, KTH Alas dengan anggota 313 orang mengelola lahan seluas 114 ha. Luasan lahan kelola KTH Alas berdasarkan SK Perhutanan-Sosial/Sertifikat-TORA/SHM:SK.6973/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/8/2019 Pada 22 Agustus 2019, yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Anggota Brenjonk dan KTH Alas tidak bisa dipisahkan. Area dan produknya sama. Kami ingin memperbanyak produk agroforestri. Seperti pohon kemiri, kluwek, nangka, durian, pete, singkong, dan tanaman agro yang lain,” cerita Slamet.

Slamet memiliki latar pendidikan di bidang lingkungan dan teknologi. Ia pernah belajar di Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH), Jurusan Planologi ITN malang, serta Jurusan Proyek Sistem Informasi Stikom Surabaya. Slamet juga pernah menjadi anggota Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

Berbekal pengetahuan itu, Slamet pulang kampung untuk membagikan serta menerapkan ilmunya supaya ekonomi rakyat bisa bangkit, tanpa harus merusak lingkungan.

Pertanian Organik Desa Penanggungan

Dua belas tahun berlalu setelah pendirian Brenjonk, Slamet dan teman-temannya meningkatkan kualitas pertanian organik di Desa Penanggungan. Brenjonk mendapat Sertifikat Produk Organik dari BIOCert (lembaga sertifikasi organik) dengan nomor 1041-BIOCert/LSO-006-IDN/01/19.

Selada keriting hijau, tanaman organik yang dikelola KWT Sumber Gelang/Foto: Kabar Trenggalek

Mulai kegiatan pembibitan, budidaya, perawatan, pengemasan produk, hingga distribusi sudah ada standar operasional prosedur (SOP) sesuai sertifikasi organik yang harus dipatuhi para petani Brenjonk.

Hingga kini, pola produksi dan pemasaran produk organik Brenjonk berjalan dengan konsisten. Saban Senin dan Kamis, mereka mengirimkan produk organik kepada 10 titik pasar di Surabaya. Mereka mampu memasarkan produk organik ke enduser (pengguna langsung), bisnis rumahan, pelaku usaha produk organik, middle man (tengkulak), restoran organik, dan pelaku bisnis retail. Bahkan, produk organik Brenjonk sampai ke supermarket.

Produk organik unggulan Brenjonk di antaranya adalah sawi, bayam, dan kangkung. Lengkapnya, ada 127 jenis produk organik Brenjonk. Sekali panen, petani Brenjonk bisa menghasilkan 5-15 kilogram sayuran organik. Lalu, tanaman itu dikemas kecil-kecil menjadi sebuah produk pertanian organik.

“Nominal [harga] rata-rata sayuran, enam ribu per kilo. Ada yang delapan ribu per kilo. Ada yang 20 ribu per sekali panen,” ucap Slamet.

Slamet menyebutkan, jika menggabungkan hasil pertanian organik dan wisata edukasi, Brenjonk bisa mendapatkan pemasukan rata-rata Rp. 600 juta per tahun. Lantas bagaimana manajemen pemasaran produk organik Brenjonk?

Pemasaran

Supaya bisa konsisten kirim hasil panen setiap Senin dan Kamis ke Surabaya, Slamet dan teman-temannya harus menyesuaikan anggaran yang ada, permintaan pasar, serta umur tanaman yang berbeda-beda. Jika tidak menyesuaikan, resikonya pasar akan stop langganan ke Brenjonk.

“Belum lagi ada faktor hujan, musim panas, dan seterusnya. Belum faktor manusia, kadang gak disiplin jadwal. Tapi. alhamdulillah kami sudah menata itu. Setiap Senin dan Kamis selalu ada [produk yang dikirim],” terang Slamet.

Saat subuh, mereka berangkat mengirim produk. Sehingg, ketika sampai di Surabaya, jalanan masih sepi dari kendaraan. Dengan level kemacetan lalu lintas di Surbaya, sehari Brenjonk hanya mampu menjangkau lima titik pasar.

Khusus untuk pasar supermarket, Slamet mengaku masih mengandalkan tengkulak, karena supermarket sering minta banyak item produk dari Brenjonk. Selain itu, mereka mengandalkan tengkulak karena faktor perhitungan biaya yang keluar, seperti transportasi, dan tenaga kerja pengirim produk.

Manajemen Organisasi

Keberhasilan Brenjonk membuat pola pertanian organik hingga produksi dan pemasarannya tak lepas dari manajemen organisasi. Anggota Brenjonk diikat dengan kontrak. Mereka wajib menjalankan standar internal organik Brenjonk. Salah satunya, anggota Brenjonk wajib mengikuti Sekolah Lapang Pertanian Organik (SLPO). Setelah itu, mereka didampingi untuk praktik pertanian organik di lahan yang sudah ada, termasuk pekarangan rumah.

Terkait kontrak harga produk di pasaran, Brenjonk menerapkan sistem jual putus kepada anggotanya. Harga jual putus itu sudah dihitung dari hasil panen yang diserahkan petani ke Brenjonk. Lalu, biaya sertifikasi, sorting, grading, packaging, distribusi, transportasi, serta harga jual ke pasar.

“Petani organik per bulan dapatnya tergantung luasan lahan, antara Rp 500 ribu - Rp. 2 juta,” ujar Slamet. Perkiraan pendapatan petani Brenjonk itu belum termasuk dari jasa wisata edukasi.

Kendala

Slamet meceritakan beberapa kendala yang dihadapi dalam menjalankan pertanian organik di Desa Penanggungan. Salah satunya, kendala mengubah pemikiran petani dari anorganik ke organik. Menurut Slamet, ilmu pertanian organik sangat penting supaya petani bisa mandiri dan tidak ketergantungan untuk mengeluarkan biaya pestisida.

Slamet gencar mengedukasi warga untuk menggunakan bahan-bahan organik sebagai cara menghadapi hama. Salah satunya, petani perlu menaman serai yang punya peran untuk mengusir hama. Sebab, berdasarkan pengamatan Slamet, banyak petani yang tidak benar-benar mengetahui kondisi tanah. Oleh karena itu, ia ingin menemani petani untuk mengamati tanah, tanaman, serta jenis-jenis mikroba di tanah. Brenjok juga memiliki laboratorium untuk melakukan berbagai pengamatan itu.

Laboratorium Pertanian Organik Brenjonk/Foto: Kabar Trenggalek

“Deteksi tanah ini tingkat kesuburannya seperti apa, nutrisinya apa cukup, PH seperti apa. Ngamati hama, dipetakan dulu. Kalau gak ada hama, ngapain disemprot? Kadang, bukan hama malah dibunuh. Padahal yang dibunuh itu musuhnya hama. Misal, di tanah itu ada trikoderma [fungi], mikroba pengikat unsur N [nitrogen], yang berfungsi mengurai bahan organik di tanah,” jelas Slamet.

“Ada petani padi sudah seumur saya 52 tahun, menggunakan pupuk dan pestisida sintesis. Kan udah mendarah daging itu ya? Mau mengubah itu kan seperti mengubah orang Islam ke orang Kristen,” ujar Slamet, lalu ia tertawa.

Tujuan Organik

Tujuan Brenjonk merintis pertanian organik yaitu untuk membangkitkan ekonomi rakyat Desa Penanggungan. Para petani bisa mendapatkan kepastian harga yang layak. Contohnya, untuk produk bayam, petani Brenjonk bisa mendapat harga lebih dari Rp. 6.000 per kilogram. Sedangkan harga pasaran bayam biasanya hanya Rp. 3000 per kilogram.

Rumah warga Desa Penanggungan yang memasang green house di pekarangannya/Foto: Kabar Trenggalek

“Target hasil pertanian organik Brenjonk itu ke pasar menengah atas. Kalau mau tahu caranya, ya silakan ke sini [Desa Penanggungan], aku ajari. Banda [bekal] sampah sudah bisa bertani organik. Produknya ibu-ibu di sini bisa masuk di supermarket, kan keren?” kata Slamet.

Selain itu, tujuan pertanian organik Brenjonk yaitu supaya masyarakat bisa dapat akses kelola lahan lebih leluasa. Ia tidak ingin lahan terus ditanami tanaman produksi seperti mahoni, jati, pinus, dan lain-lain. Sebab, tanaman produksi bakal ditebang suatu saat. Ketika hutan gundul, ada kekhawatiran jika kelestarian lingkungan akan terganggu.

“Kalau kekhawatiran terkait ekosistem air itu jelas. Karena, daripada hutan produksi, kan lebih bagus hutan lindung, agroforestri. Misal kita menanam pohon sukun. Sukun kan bagus untuk sumber air,” tandasnya.

Tujuan untuk membangkitkan ekonomi rakyat sejaligus melestarikan lingkungan itu tentu tak cukup dengan petanian organik saja. Brenjonk terus menebar benih semangat pertanian organik melalui pendidikan dan kampanye. Maka dari itu, wisata edukasi menjadi kunci yang tak terpisahkan dari pertanian organik.

Wisata Edukasi Desa Penanggungan

Sabtu, pukul 10.00 WIB, 11 Maret 2023, Slamet mengajak kami ke kawasan hutan kelola KTH Alas. Rencananya, KTH Alas akan fokus ke pengembangan wisata edukasi. Sebelumnya, Brenjonk sudah sering menjalankan program wisata edukasi bekerjasama dengan kampus ternama. Kampus itu seperti Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jawa Timur, Universitas Brawijaya, Universitas Ciputra, Universitas Surabaya, Universitas Jember, dan lain-lain.

Slamet (kanan) menunjukkan tanaman merica yang bakal tumbuh merambat di pohon lahan KTH Alas/Foto: Kabar Trenggalek

Pengalaman kerjasama Brenjonk itu tentu menjadi bekal yang bagus untuk KTH Alas mengembangkan wisata edukasi. Jika Brenjonk fokus ke edukasi pertanian organik, maka KTH Alas fokus ke edukasi tentang hutan. Ada edukasi pelatihan analisa vegetasi, pengamatan burung, pengamatan sungai, dan lain sebagainya.

“KTH Alas kami setting wisata edukasi. Kegiatannya adalah edukasi untuk semua level. Kampus, kelompok tani, instansi, pemerintah, duduk bersama belajar tentang hutan,” jelas Slamet.

Slamet juga dipercaya menjadi ketua Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Indonesia (AP2SI) Jawa Timur. Kepercayaan itu juga didasari latar belakang pengalaman Slamet di bidang lingkungan, khususnya pertanian organik. Ia mengaku pernah menjadi pembicara di kongres pertanian organik dunia, di Korea Selatan.

Tak hanya itu, Slamet juga pernah mendapatkan beasiswa short course (kuliah singkat) di HAS Den Bosch University, Belanda. Slamet belajar banyak tentang pertanian organik. Ilmu yang dipelajari di Belanda, ia terapkan di Desa Penanggungan, yaitu pembuatan green house.

“Di Belanda sana green hous-nya 9 hektare. Masa bisa bikin seperti itu di Jawa? Akhirnya saya bikin yang terkecil saja, mini green house,” ujar Slamet lalu tertawa kecil.

Dalam pengembangan wisata edukasi KTH Alas, Slamet merancang berbagai fasilitas yang bakal didapat oleh peserta wisata edukasi, salah satunya aula pelatihan (kapasitas 100 orang) dan lokasi field trip.

“Ada field trip, sudah ditentukan titik-titiknya. Sungai untuk biotilik, pengamatan burung, pengamatan tanaman. Rumput-rumputan ini juga sebagai media belajar untuk analisa vegetasi. Bukan eksploitasi alam, tetapi belajar alam,” terangnya.

Bonusnya, lanjut Slamet, disiapkan kuliner organik di tengah hutan. Sehingga, peserta bisa pesan kopi dan makanan hasil pertanian organik.

“Kami juga siapkan tempat untuk camping. Ada tenda yang kami pasang di situ. Ini salah satu juga bagaimana masyarakat belajar hutan, tapi ada unsur rekreatifnya, healing. Jadi, kalau orang orang stress di kota, bisa healing di sini,” jelasnya.

Dalam upaya pengembangan wisata edukasi ini, KTH Alas mendirikan Koperasi Usaha Perhutanan Sosial (KUPS). Saat ini, ada 5 KUPS yang sudah didirikan. Ada KUPS Merica, KUPS Kopi, KUPS Kayu, KUPS Wisata, dan KUPS Ternak.

Pertanian Terpadu

Pukul 10.30 WIB, kami diajak ke calon lokasi healing lainnya. Slamet menunjukkan kandang-kandang kambing yang dikelola KTH Alas, KUPS Merica, KUPS Wisata, dan KUPS Ternak. Setiap kelompok merawat 12 ekor kambing. Lokasi kandang kambing ini berada di jarak sekitar satu kilometer dari pemukiman warga Desa Penanggungan.

Kandang kambing di lahan KTH Alas/Foto: Kabar Trenggalek

Tujuan dari kandang kambing ini untuk meningkatkan ekonomi warga dari sektor peternakan. Konsepnya adalah pertanian terpadu (integrated farming). Pertanian organik dipadukan dengan peternakan.

“Kambing makan daun pohon, buang kotoran, kotorannya disimpan untuk pupuk tanaman jeruk, durian dan seterusnya. Kambingnya beranak-pinak, anak kambing dijual, petani ekonominya meningkat. Hutan tetap subur dan utuh gak terpotong, karena daunnya tumbuh terus, rumputnya tumbuh terus, lahan tetap subur tanpa ada campur tangan dengan pabrik,” jelas Slamet.

Pertanian terpadu ini juga menjadi jurus untuk melawan pertanian anorganik. Slamet menyampaikan, prinsip pertanian yang terpenting adalah memenuhi unsur makronya, yaitu N (nitrogen), P (Fosfor) dan K (Kalium). Semua unsur N, P, dan K itu sudah terpenuhi dari kambing, Jadi, warga tidak perlu menggunakan pupuk mes.

“N bisa dari kotoran kambing, bisa dari mikroba yang ada di dalam tanah yang mengikat unsur N di udara kan? Lalu P dan K. Bahan-bahan organik yang sudah terurai di sini itu menghasilkan P sama K. N, P, K, terpenuhi, ngapain kita beli pupuk dari pabrik? Ngapain di-mes?” tegas Slamet.

Slamet percaya bahwa petani di Indonesia itu sebenarnya pintar untuk mengelola pertanian organik. Sayangnya, keberadaan pabrik pertanian anorganik dengan tawaran hasil pertanian yang melimpah, justru membuat petani ketergantungan. Perjuangan 16 tahun menjalankan pertanian organik, setidaknya bisa menjadi bukti bahwa petani Indonesia mampu melawan dominasi pengetahun dari pabrik pertanian anorganik.

Kebun Rakyat

Kandang-kandang kambing itu berada di kawasan Kebun Bibit Rakyat. Pada 2021, KLHK memberikan wewenang kepada KTH Alas untuk mengelola lahan 0,125 ha untuk kegiatan pembibitan. Target pembibitan dari KLHK yaitu 35 ribu tanaman. KTH Alas mampu menanam 46 ribu tanaman. Ada durian, alpukat, merica, serai jeruk, ketela, serta ternak kambing. Porsinya 50% tanaman, 50% ternak kambing.

Pohon beringin penjaga sumber air di lahan KTH Alas/Foto: Kabar Trenggalek

“Jadi tanaman ini [pohon beringin] adalah tanaman untuk penyelamat sumber air, pelestari lingkungan, penghasilan oksigen, penyerap karbon. Nah, ini kami lestarikan. Jadi, pohon ini tumbuh bersama-sama dengan tanaman agro,” jelas Slamet.

Contohnya, tanaman merica yang tumbuh merambat ke atas pohon. Merica bukan tanaman parasit, jadi pohon itu tidak akan rusak. Sehingga, merica dan pohon itu saling mendukung, bersimbiosis mutualisme. Slamet berharap, pohon-pohon itu tidak ditebang, sehingga merica bisa terus dipanen untuk meningkatkan pendapatan warga.

“Asik to? Tanpa menebang pohon, tapi bisa menghasilkan ekonomi. Itu konsep kami seperti itu,” ujar Slamet.

Di bawah kandang kambing, ada tanaman jeruk. Rencananya, KTH Alas akan membuat kawasan itu sebagai tempat healing dengan konsep camping ground. Sehingga, peserta bisa menikmati sekaligus mengamati vegetasi dan sungai. Ditambah, ada wisata petik jeruk organik.

“Asik to ya? Nanti di sungai itu kami bikin camping ground. Asik ya? Ini pasti banyak teman-teman yang suka ke sini. Healing tenan,” ujar Slamet dengan lega.

Lebih dari sekedar healing, wisata edukasi KTH Alas punya beragam manfaat sosial terhadap masyarakat. Pertama, wisata edukasi itu dikelola menjadi kawasan sumber air. Masyarakat bisa memenuhi kebutuhan air sehai-hari.

“Jadi bisa dipastikan penduduk sini hatinya tidak resah, karena minumannya sudah sehat. Airnya tidak tercemar,” kata Slamet.

Kedua, kebutuhan pakan ternak dari rumput. Masyarakat bisa ngarit di kawasan KTH Alas. Sehingga tidak ada masalah akan kebutuhan rumput di Desa Penanggungan.

“Yang punya sapi, yang punya kambing cukup ke hutan,” ucapnya.

Pemandian dan Terapi Ikan

Pukul 12.00 WIB, Slamet mengajak ke tempat healing terakhir yang bakal dibangun oleh KTH Alas. Tempat seluas 0,5 ha itu berada di bawah kawasan warung sawah. Di sekitar sungai, KTH Alas membuat beberapa kolam yang difungsikan untuk edukasi, pemandian, dan terapi ikan. Slamet menamai kawasan itu sebagai Lembah Kecubung.

Kolam ikan di Lembah Kecubung, Desa Penanggungan/Foto: Kabar Trenggalek

Di Lembah Kecubung, orang-orang bisa belajar tentang sumber air. Setelah capek belajar, mereka bisa menikmati pemandian di kolam. Terapi ikan juga difungsikan sebagai healing untuk pikiran yang lelah.

“Kalau orang stress, ngelu [pusing], di sini bisa waras, ada terapi ikan,” ucap Slamet.

Lembah Kecubung direncanakan selesai pembangunannya pada tahnun 2024. Uniknya, kolam pemandian di Lembah Kecubung dibangun tanpai memakai semen. Batu ditata secara manual membentuk wadah kolam pemandian itu.

Pembangunan Lembah Kecubung tak lepas dari peran Slamet sebagai Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Penanggungan. Slamet juga mengajak berbagai pihak untuk bersama-sama mengelola Lembah Kecubung.

“Desa nanti juga kuat, komunitas kuat, jadi semua berperan. Itulah yang dinamakan pembangunan berkelanjutan yang memenuhi prinsip-prinsip good government,” terangnya.

Slamet mengungkapkan fakta yang sangat penting, yaitu kelompok yang paling banyak berperan dalam pengelolaan wisata edukasi adalah perempuan. Mayoritas anggota Brenjonk maupun KTH Alas juga perempuan. Sehingga, peran dan kontribusi perempuan dalam pembangunan di Desa Penanggungan sangatlah penting.

Melihat pentingnya kontribusi perempuan, Pemerintah Desa (Pemdes) Penanggungan menguatkan peran perempuan dengan membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT). Di Lembah Kecubung, KWT berperan mengelola wisata edukasi pembibitan tanaman organik hingga petik sayur.

Kelompok Wanita Tani Sumber Gelang

Usai mengunjungi Lembah Kecubung, kami kembali ke Kantor Brenjonk. Awalnya, kantor itu adalah rumah milik Slamet sekaligus tempat kelahirannya. Setelah dua tahun, istrinya diangkat jadi PNS di Kecamatan Pacet. Lalu Slamet menggunakan rumahnya sebagai Kantor Brenjonk.

Kantor Komunitas Petani Brenjonk/Foto: Kabar Trenggalek

“Rumah itu saya gunakan jadi kegiatan komunitas. Memang cocok rumah itu untuk gerakan,” ujar Slamet.

Kopi Jimat

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *

This site is protected by Honeypot.