KBRT – Belasan produsen genteng di Dusun Tugu, Desa Sukorejo, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Trenggalek, berhenti berproduksi. Tidak adanya generasi penerus dan mahalnya bahan baku menjadi penyebab utama lesunya industri genteng di kawasan yang dulu dikenal sebagai sentra pengrajin genteng, Nglayur.
Martini (68), salah satu warga sekaligus mantan produsen genteng, mengatakan bahwa ia sudah berhenti memproduksi genteng sejak tahun 2011 karena tidak lagi memiliki tenaga yang cukup dan harga bahan baku yang terus meningkat.
“Sekarang semuanya mahal, tenaganya sudah tidak kuat. Saya berhenti membuat genteng dari tahun 2011,” ujar Martini yang kini beralih profesi menjadi pedagang pecel.
Menurutnya, saat ini sudah lebih dari belasan rumah di Dusun Tugu yang tidak lagi memproduksi genteng. Sepinya permintaan dari konsumen dan tingginya biaya operasional membuat banyak warga memilih berhenti.
Ia mengisahkan bahwa dirinya mulai membuat genteng sejak tahun 1985 bersama suaminya. Kala itu, usaha genteng menjadi sumber penghasilan utama keluarga, bahkan pembeli sempat harus antre selama berbulan-bulan untuk mendapatkan genteng produksinya.
“Dulu pembeli sampai antre 4 hingga 5 bulan untuk membeli genteng di sini. Tapi terakhir saya menjual genteng malah bertahan 1 tahun tidak ada yang beli,” terangnya.

Martini, ibu tiga anak, mengatakan ketiga anaknya tidak ada yang bersedia melanjutkan usaha tersebut meski fasilitas produksi seperti tempat pembakaran dan gudang masih tersedia. Salah satu anaknya kini bekerja sebagai karyawan di cabang bank dekat rumah, sementara dua lainnya merantau.
“Setelah berhenti membuat genteng, saya masih sempat membeli bata dari tetangga untuk dibakar dan dijual lagi. Tapi tidak lama, karena juga sepi lagi,” katanya.
Kini Martini mengaku telah ikhlas meninggalkan pekerjaan yang dulu menghidupi keluarganya. Ia mengaku kesulitan melanjutkan usaha karena biaya sewa karyawan dan bahan baku kian tinggi.
Prayitno (70), suami Martini, menyebut bahwa harga tanah lempung—bahan utama pembuatan genteng—semakin mahal. Selain itu, kayu bakar untuk proses pembakaran pun makin sulit didapat.
“Satu pikap tanah lempung sekarang takarannya berkurang banyak. Dulu bisa jadi 800 genteng, tapi saat ini hanya bisa jadi 500,” tandasnya.
Kabar Trenggalek - Ekonomi
Editor:Zamz