Misi utama diberlakukannya kebijakan otonomi daerah (otoda) sebagai amanat reformasi, pada hakekatnya merupakan upaya pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada rakyat. Tak lain, ini adalah perwujudan konsep desentralisasi. Artinya, otonomi harus dipahami sebagai berdaulatnya rakyat di dalam pengambilan kebijakan di daerah. Sehingga, partisipasi rakyat benar-benar terlibat secara aktif pada setiap penentuan keputusan-keputusan penting dan strategis yang menyangkut nasib dan program pembangunan daerahnya sejak dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pemeliharaan, dan evaluasi.Persoalannya menjadi lain ketika otonomi hanya dipahami sebatas pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (Pemda) bahkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (
DPRD). Jika ini yang dianut, maka yang akan terjadi adalah bentrok kepentingan
(conflict of interest) antara legislatif dan eksekutif.Disamping itu, kecenderungan fokus
politik hanya mengalami perpindahan dari birokrasi ke politisi. Apabila hal tersebut dibiarkan terus berlanjut, maka makna otonomi akan bias dan kehilangan arah. Karenanya berbicara Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (
APBD), dalam atmosfir otoda, menjadi sangat ironis ketika partisipasi rakyat yang memiliki kedaulatan anggaran, justru dipinggirkan.Dalam konteks ini, salah satu PR utama pemerintah daerah adalah pengelolaan demokrasi partisipatoris dalam penyusunan APBD. Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika dan India, Indonesia harus menjadi barometer yang mampu membumikan kesadaran berdemokrasi dengan mereformasi dan mengkontekstualisasikan makna demokrasi ke seluruh sektor ranah kebijakan. Jika tidak, maka demokrasi kita akan jatuh pada situasi paradoks sebagaimana dinyatakan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalm bukunya “
How Demrocracies Die”. Demokrasi semu yang berjalan tanpa substansi dan dibelokkan arahnya, akan menibulkan persoalan baru yang justru kontra produktif dengan makna substansial dari demokrasi itu sendiri.Model demokrasi semu tersebut berpotensi melahirkan oligarki politik, oligarki ekonomi bahkan oligarki anggaran. Di mana ada segelintir elit tertentu yang merasa paling berkuasa dalam menentukan kebijakan APBD tanpa memperhatikan rasa keadilan, kepatutan dan aspirasi masyarakatnya.Sesuai ketentuan pasal 3 ayat (1) UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara bahwa Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Hal ini selaras dengan pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan ditegaskan bahwa Pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat, serta taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan.Upaya untuk merealisasikan ketentuan tersebut agar alokasi APBD tepat sasaran dan berpihak kepada prioritas kebutuhan utama rakyat dibutuhkan adanya demokratisasi partisipatoris APBD dengan melibatkan publik dalam proses penyusunannya.Sebagai sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, proses penyusunan APBD mestinya dibuka ruang dengar pendapat masyarakat
(public hearing), baik di tingkat Tim Anggaran (eksekutif) maupun di Panitia Anggaran (Legislatif). Tetapi nampaknya pemerintah daerah dan DPRD Kabupaten Trenggalek tutup mata. Mereka dengan sengaja membunuh partisipasi masyarakat dalam pembahasan APBD.Kesadaran kritis kekuatan CSO (
Civil Society Organization) untuk duduk dan berdialog sejajar dengan legislatif dan eksekutif dalam pembahasan APBD masih dianggap tabu. Barangkali mereka menganggap karena hal tersebut menyangkut rahasia jabatan. Sehingga APBD dianggap seperti halnya mantra suci yang tidak boleh tersentuh sembarang orang.Kalau memang APBD merupakan sebuah keputusan politik yang akan menentukan nasib seluruh rakyat Trenggalek, maka sudah seharusnya DPRD memperhatikan aspirasi rakyat dengan mengadakan
public hearing dan konsultasi publik. Jadi proses penyusunan APBD tidak dibangun pada asumsi, gagasan, dan pikiran-pikiran legislatif dan eksekutif berdasarkan kebenaran logis saja, tetapi juga harus dibarengi dengan data-data berbasis kebenaran empiris. Sebab, apa yang dirasakan masyarakat, terkadang berbeda dengan yang dirasakan wakilnya. Sangat boleh jadi, menurut wakil rakyat masyarakat Trenggalek sudah makmur. Tetapi masyarakat sendiri jauh dari kondisi itu.
APBD; Bukan (Lagi) Anggaran Rakyat
Tertutupnya proses pembahasan Rancangan APBD Trenggalek dari tahun ke tahun patut disayangkan, sehingga lebih tepat kalau
APBD diberi kepanjangan
Anggaran Pejabat Bersama Dewan. Sesuatu yang sangat getir untuk dirasakan. Betapa tidak, di tengah-tengah keterpurukan ekonomi rakyat akibat hantaman pandemi Covid-19, rakyat masih harus terbebani satu hal lagi. Yakni, anggaran belanjanya (yang tercermin dalam APBD) tidak menyasar pada kebutuhan mereka.Sebaliknya, – dan ini yang menyebalkan – anggaran itu justru jatuh pada belanja operasional pejabat legislatif dan eksekutif. Paling tidak, bila kita lihat pada realisasi APBD tahun 2021 lalu. Sayangnya, sampai pada saat tulisan ini diturunkan, APBD Kabupaten Trenggalek yang telah disahkan dalam sidang paripurna DPRD pada 26 November 2021 tahun lalu, penulis belum dapat mengakses dokumen anggaran daerah tersebut.Barang kali, karena penulis memang belum cukup sakti untuk menjamah wilayah-wilayah wingit dan angker (keramat), semacam APBD itu. Memang perlu dibuat sebuah pengumuman besar di spanduk, baliho di tempat-tempat strategis atau ditayangkan melalui media-media publik seperti media masa, media elektronik dan media sosial: Bahwa rakyat jangan coba-coba memasuki kawasan wingit dan angker tentang kebijakan APBD.Padahal kalau bicara APBD, berarti kita bicara belanja rakyat. Dan duit untuk pos-pos APBD itu adalah duit rakyat yang dikumpulkan oleh pemerintah melalui berbagai sumber seperti pajak, retribusi dan lainnya.
So, penggunaannya pun harus sebesar-besar untuk kepentingan rakyat. Bukan pejabat atau anggota DPRD, apalagi segelintir pengusaha perorangan, yang tidak ada keterkaitannya sama sekali dengan nafas kerakyatan.Posisi APBD dalam konstalasi pembangunan daerah jelas sangat strategis. Segala kebijakan pemerintah, baik itu program pembangunan maupun penyelenggaraan pemerintahan, akan berjalan efektif ditentukan oleh sejauh mana besarnya plafon anggaran yang ditetapkan. Sehingga, untuk menilai komitmen pemerintah dan DPRD di suatu daerah terhadap suatu bidang, maka tolok ukurnya jelas: Berapa besar alokasi anggaran untuk bidang tersebut? Misalnya, untuk melihat seberapa besar komitmen terhadap bidang pertanian, kita tinggal melihat anggaran sektor pertanian. Lantas bandingkan dengan sektor-sektor lain.Oleh karena itu, sudah seharusnya kalau proses penyusunan APBD melibatkan seluruh elemen masyarakat. Sehingga APBD disusun benar-benar didasarkan atas kehendak riil masyarakat sesuai dengan prioritas pembangunan berpijak pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).Komitmen yang dibangun elit-elit Trenggalek dalam menempatkan aspirasi masyarakat sebagai basis utama pembangunan, nampaknya hanya sebagai slogan pemanis kebijakan saja. Bahkan, hal itu dipakai sebagai alat untuk meninabobokan dinamika masyarakat yang mulai memahami hak-haknya. Padahal sudah kita pahami bahwa di era otoda ini indikator keberhasilan pembangunan dilihat dari tingkat partisipasi aktif masyarakat.Sejarah proses pembangunan negara-negara berkembang kebanyakan tidak menampakkan hasil, karena keputusan-keputusan penting yang menyangkut proses pembangunan dibuat oleh pemerintah dan aparatnya saja. Masyarakat sama sekali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terhadap hal-hal yang sebenarnya akan menentukan nasib dan masa depan mereka. Akibatnya, pembangunan mengalami stagnasi (kemacetan).Melihat kondisi tersebut, seharusnya proses penyusunan APBD diawali dengan diseminasi pemahaman terhadap tiga pondasi pembangunan daerah yaitu RPJPD, RPJMD, dan RKPD. Di mana ketiga fundamen inilah yang akan menjadi konsep dasar pembangunan sekaligus menjadi arah bagi pembangunan di Kabupaten Trenggalek. Setelah itu di-
breakdown (dijabarkan) menjadi APBD. Sehingga, APBD itu sesungguhnya merupakan bentuk penjabaran aktivitas proyek-proyek yang dilakukan berdasarkan klasifikasi sektor dan bidang.
Alur Penyusunan APBD Saat Ini
Proses Penyusunan APBD dibuat melalui dua jalur, yaitu jalur eksekutif dan jalur legislatif. Jalur eksekutif dimulai dari proses penentuan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musyrenbang) tingkat desa, kecamatan dan kabupaten. Setelah itu masing-masing Organisasi Perangkat Daerah (OPD) juga mengusulkan programnya. Hasil Musyrenbang dan usulan OPD dibawa ke Tim anggaran (Timgar) yang dibentuk oleh Bupati. Sedangkan jalur legislatif dimulai dari usulan masyarakat, kemudian usulan fraksi dan komisi, kemudian dibawa ke dalam panitia Anggaran (Panggar).Dalam proses penyusunan APBD ini, sering terjadi barter kepentingan antara legislatif dan eksekutif yang dapat digambarkan sebagai berikut:
- Proses Pertama: yaitu Musyrenbang (eksekutif) dan usulan masyarakat (legislatif) biasa disebut sebagai proses kompilasi (pengumpulan usulan).
- Proses kedua: yaitu usulan dari OPD (eksekutif) dan usulan dari fraksi dan komisi (legislatif) biasa disebut sebagai proses negoisasi (perundingan antara legislatif dan eksekutif).
- Proses ketiga: yaitu pertemuan antara Timgar dan Panggar. Di sinilah terjadi – sebut saja – proses transaksi, antara legislatif dan eksekutif (lihat bagan).
[caption id="attachment_8628" align=aligncenter width=713]
Bagan alur penyusunan APBD/Foto: Dokumen Suripto[/caption]Proses terakhir inilah seringkali berpeluang terjadinya transaksi antara kepentingan DPRD dan kepentingan eksekutif. Usulan Musyrenbang seringkali tereduksi oleh kepentingan kedua belah pihak, bahkan kepentingan partai dan kalangan pengusaha ikut juga mewarnai proses penyusunan RAPBD.Setelah rumusan RAPBD disepakati oleh Timgar dan Panggar, maka selanjutnya dimasukkan oleh Bupati dalam proses legislasi di DPRD. Biasanya proses ini tidak banyak mengalami perubahan. Selama ini proses legislasi tidak pernah dilakukan
public hearing dan konsultasi publik, paling banter hanya rapat kerja antara komisi DPRD dengan dinas instansi terkait atau DPRD melakukan kunjungan lapangan dengan dalih melakukan
recheck (pengecekan kembali) terhadap data-data usulan eksekutif.
Penutup
Pertanyaannya adalah di manakah partisipasi rakyat yang memiliki kedaulatan anggaran dalam penetapan APBD? Inilah persoalan yang selama ini menjadi tuntutan kelompok CSO yang menghendaki adanya keterlibatan publik dalam setiap proses pengambilan keputusan APBD. Dalam situasi dan kondisi lembaga eksekutif dan legislatif di Kabupaten Trenggalek yang masih tertutup, kita hanya bisa berharap kepada masyarakat yang sudah mengerti akan hak-hak politiknya untuk turut mengkritisi keadaan ini agar cepat berubah.Kita harus memahami bahwa pilar-pilar demokrasi partisipatoris akan semakin kokoh, apabila masyarakat dan pejabat publiknya mampu duduk bersama dalam setiap pengambilan keputusan dengan penuh kearifan, keterbukaan dan kejujuran.
Suripto adalah Direktur Lembaga Pengkajian dan pemberdayaan masyarakat (PAMA) Trenggalek, Ketua STAI Muhammadiyah Tulungagung, dan Sekretaris PDM Trenggalek.*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi kabartrenggalek.com.