Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Petik Laut 2023, Ratusan Nelayan Masalembu Tolak Kapal Cantrang Perusak Lingkungan

Ratusan nelayan Masalembu, Kabupaten Sumenep, Madura, melaksanakan upacara adat petik laut pada Selasa (18/072023). Kegiatan adat ini sebagai bentuk wujud syukur atas melimpahnya hasil laut yang diberikan Tuhan kepada para nelayan.

Upacara adat petik laut diadakan setiap tahunnya di pertengahan bulan Juli. Pada musim ini, cuaca sedang bagus dan ombak lautan tidak tinggi, sehingga banyak nelayan yang panen ikan.

Tiga hari sebelum petik laut, para nelayan mengaji di setiap pangkalan. Hingga pada hari petik laut, mereka istighotsah dan doa bersama. Petik laut diakhiri dengan pawai kapal nelayan yang dihiasi dengan pernak-pernik cantik.

Matsehri, Ketua Kelompok Nelayan Rawatan Samudra Masalembu, mengatakan pada upacara adat petik laut tahun 2023 ini, nelayan menyuarakan pesan untuk melindungi dan menjaga laut. Salah satunya dengan upaya tolak kapal cantrang perusak lingkungan.

Menurut keterangan Matsehri, setiap tahun hasil laut nelayan mengalami penurunan. Dulu, nelayan bisa mendapatkan ikan rata-rata 1 ton. Tapi, tahun ini menyusut jadi 600-500 kg.

Matsehri mengungkapkan ada tiga penyebab penurunan tangkapan ikan yang dialami nelayan Masalembu. Pertama, kerusakan ekosistem laut Masalembu yang diakibatkan oleh keberadaan kapal cantrang dan bom ikan.

Bentangan poster nelayan Masalembu tolak kapal cantrang perusak lingkungan/Foto: Dokumen WALHI Jatim

"Mereka mengeruk ikan tanpa pandang bulu, bahkan sampai terumbu karang yang menjadi rumah bagi ikan ikut hancur. Keberadaan kapal cantrang dan bom ikan ini menjadi ancaman bagi nelayan Masalembu yang notabene adalah nelayan tradisional, maka tak heran konflik antar nelayan intensitasnya begitu tinggi," terang Matsehri melalui keterangan resmi bersama WALHI Jatim, LBH Surabaya, dan KIARA.

Kedua, lanjut Matsehri, faktor keberadaan lalu lalang kapal besar yang tidak mematuhi prosedur, serta tidak jelasnya zonasi membuat keberadaan eksositem laut Masalembu terancam.

Pada 2022, kapal bermuatan batu bara pernah tumpah di Masalembu sehingga mencemari perairan sekitar. Tidak hanya itu pada 2023 juga ada kapal kecelakaan dan mencemari perairan sekitar.

"Dilewatinya perairan Masalembu oleh kapal-kapal besar membuat keberadaan ekosistem laut seperti terumbu karang rusak. Keberadaan kapal-kapal besar tersebut menjadi ancaman bagi masa depan ekosistem laut Masalembu," jelas Matsehri.

Matsehri menyampaikan, faktor ketiga adalah ancaman perubahan iklim. Dampaknya, peningkatan suhu laut mengakibatkan pemutihan terumbu karang dan menyebabkan terganggunya reproduksi ikan.

Selain itu, peningkatan permukaan air laut juga mengancam daratan pulau menyebabkan terkikisnya daratan atau dikenal abrasi sampai ancaman rob yang menjadikan hidup nelayan menjadi semakin rentan.

Kapal nelayan Masalembu di pesisir pantai/Foto: Dokumen WALHI Jatim

"Cuaca yang tidak menentu, menjadikan nelayan tidak bisa memprediksi musim tangkap serta meningkatkan resiko kecelakaan," ujar Matsehri.

Berdasarkan tiga faktor itu, nalayan Masalembu, WALHI Jatim, LBH Surabaya, dan KIARA, melayangkan tuntutan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Sumenep.

Mereka menuntut adanya perubahan tata kelola laut. Serta, upaya untuk menjaga eksositem laut Masalembu yang menjadi ruang tersisa biodiversitas laut, khususnya di Jawa Timur.

Terlebih, potensi adanya eksploitasi tambang pasir laut pasca diterbitkannya PP No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi, semakin menambah kerentanan nelayan dan ekosistem laut di Masalembu.

Tuntutan pertama, tindak tegas kapal cantrang dan larang segera keberadaan cantrang, lalu segera tetapkan kawasan Masaelmbu sebagai zona tangkap nelayan tradisional agar tidak ada lagi kapal cantrang yang menjadi ancaman.

Kedua, segera tetapkan kawasan laut masalembu sebagai kawasan ekosistem esensial atau lindung agar ada perlindungan bagi biodiversitas laut. Serta memperjelas zona rute kapal pengangkut agar tidak sembarangan lewat dan mematuhi prosedur standar operasional dan lingkungan.

Ketiga, menolak keberadaan PP No. 26 Tahun 2023 terkait tambang dan ekspor pasir laut. Karena keberadaannya akan semakin memperparah ekosistem laut Masalembu, serta menjadi ancaman bagi masa depan nelayan tradisional.

Nelayan Masalembu benar-benar mengharapkan adanya produk dan implementasi hukum yang berpihak pada nelayan, supaya nelayan tidak melakukan tindakan main hakim sendiri.

Seperti kejadian pembakaran 2 kapal cantrang di perairan selatan Pulau Datuk, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat beberapa pekan lalu. Peristiwa itu menunjukkan bahwa nelayan tidak akan diam saja ketika lautnya dirusak.

"Kami juga meminta pemerintah untuk memperhatikan nasib nelayan Masalembu seperti kesejahteraan yang jauh dari kata sejahtera. Meskipun katanya Masalembu banyak ikan, tetapi nelayan banyak yang terjebak dalam jaring kemiskinan. Sehingga hal ini juga patut menjadi perhatian," tandas Matsehri.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *