Robinson Saul (45), nelayan sekaligus aktivis tolak tambang emas di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, divonis penjara selama sembilan bulan oleh Pengadilan Negeri Tahuna, pada 17 Januari 2023. Alasannya, Robison divonis dengan Undang-Undang Darurat Nomor 12/1951 dengan tuduhan membawa pisau dalam sebuah aksi protes.
Melansir rilis resmi Human Right Watch, polisi menangkap Robison, pada 30 Juni 2022, setelah dua minggu protes dan pemblokiran jalan yang diorganisir oleh warga desa Pulau Sangihe terhadap perusahaan tambang emas PT Tambang Mas Sangihe.
PT Tambang Mas Sangihe adalah anak perusahaan dari Baru Gold Corp asal Vancouver, Kanada, yang selama ini terlibat sengketa hukum dalam upayanya untuk menambang emas di pulau kecil tersebut.
Setelah ditangkap, Robison menghabiskan waktu berbulan-bulan dalam penahanan praperadilan. Polisi dan petugas penjara berulang kali menghalangi pengacara dan keluarga Robison untuk menjenguknya.
Selain itu, menurut keterangan istri dan para pengacara Robison, sipir Lembaga Pemasyarakaatan Tahuna diduga memukuli Saul berulang kali antara 28 September dan 1 Oktober 2022.
Merespons vonis tersebut, Andreas Harsono, peneliti Indonesia di Human Right Watch, mengungkapkan motivasi politik dari polisi dan jaksa. Menurut Andreas, pihak berwenang di Pulau Sangihe seharusnya segera membatalkan vonis Robison dan membebaskan, serta memberikan kompensasi yang memadai atas perlakuan buruk yang dialami.
“Polisi dan jaksa punya motivasi politik dalam menghadapi seorang nelayan yang ikut serta dalam protes anti-tambang, dengan klaim bahwa sebuah pisau, yang merupakan alatnya bekerja, dijadikan alasan untuk melakukan penahanan praperadilan yang sewenang-wenang dan hukuman penjara,” ujar Andreas.
Kronologi Operasi PT Tambang Mas Sangihe
Pada Januari 2021, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan izin kepada PT Tambang Mas Sangihe untuk mengeksplorasi dan menambang sekitar 420 kilometer persegi (area seluas kira-kira separuh kota New York) di Pulau Sangihe selama 33 tahun. Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, yang mengelola pulau itu, juga memberikan izin kepada perusahaan tersebut.
Wilayah konsesi itu mencakup sekitar 57% dari luas pulau tersebut dan tumpang tindih dengan 80 desa. Menurut Jaringan Advokasi Tambang, wilayah konsesi tersebut juga mencakup kawasan hutan yang disebut Sahendarumang, yang menjadi sumber air bagi penduduk setempat. Sebagian besar penduduk Sangihe bergantung pada pertanian dan perikanan tradisional sebagai mata pencaharian mereka.
Kedua izin tersebut mendorong warga membentuk koalisi Save Sangihe Island (SSI) dan menggugat pemerintah di pengadilan tata usaha negara di Jakarta dan Manado, Sulawesi Utara.
SSI menilai, izin-izin tersebut seharusnya dicabut karena bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang mengizinkan penerbitan izin pertambangan hanya di pulau-pulau yang luasnya lebih besar dari 2.000 kilometer persegi. Pulau Sangihe hanya punya luas kurang dari 750 kilometer persegi.
Pada Juni 2022, PTUN Manado memenangkan gugatan 56 warga perempuan asal Sangihe, dan memerintahkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara untuk mencabut izin tersebut dan agar PT Tambang Mas Sangihe hentikan kegiatan mereka. Di antara alasan-alasan lainnya, PTUN Manado juga menemukan bahwa analisis mengenai dampak lingkungan tambang itu tak memenuhi persyaratan hukum.
Secara khusus, kajian perusahaan tak lakukan berkonsultasi dengan sejumlah penduduk yang tepat dan juga tak bisa memberikan informasi yang memadai mengenai semua dampak lingkungan yang mungkin terjadi terkait dengan operasi pertambangan.
Pada bulan September, PTTUN Jakarta mengabulkan gugatan banding warga Sangihe atas Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral terkait operasi kontrak karya PT Tambang Mas Sangihe, dan memerintahkan kementerian itu untuk mencabut izin tersebut. Namun, polisi dan jaksa belum menjalankan putusan tersebut.
Tinggalkan Komentar