Pada bulan Agustus, perusahaan itu menggugat pemerintah Indonesia, termasuk Presiden Joko Widodo dan beberapa anggota kabinet, menuntut ganti rugi sebesar Rp 1 triliun karena membatalkan proyek tersebut. Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi tersebut pada bulan Januari 2023.
PT Tambang Mas Sangihe tetap bergerak dengan operasinya di Sangihe. Perusahaan ini menyatakan dalam sebuah keterangan pers bahwa pihaknya bermaksud mengajukan permohonan izin baru, dengan alasan bahwa:
“Pulau Sangihe punya sejarah penambangan ilegal yang merajalela, yang telah mencemari lingkungan, termasuk pembuangan limbah tambang ke laut, terumbu karang, dan hutan bakau, serta mencemari sungai dan laut dengan merkuri. Para penambang ilegal ini tidak berizin dan sebagian besar dari mereka bukan penduduk Pulau Sangihe.”
PT Tambang Mas Sangihe mengumumkan bahwa sejak Oktober 2021, mereka telah membuka lahan, membangun tempat pembuangan limbah, dan membangun area pabrik pengolahan serta jalan akses terkait.
Perusahaan tersebut menurunkan sejumlah buldoser, pengebor, dan beberapa alat berat lainnya ke Sangihe, serta menggunakan truk trailer dari sebuah pelabuhan kecil ke base camp perusahaan di Desa Bowone.
Banyak penduduk pulau itu menanggapi tindakan perusahaan, yang mereka anggap bertentangan dengan putusan pengadilan, dengan memblokir truk-truk tersebut.
Kronologi Penangkapan Nelayan Sangihe
Pada 14 Juni 2022, Robison, yang baru saja pulang melaut, bergabung dengan aksi damai yang digelar ratusan penduduk desa dan berusaha menghentikan beberapa truk tambang yang sedang menuju desa Bowone.
Robison membawa pisaunya, sebuah pisau besi putih, yang biasa digunakan nelayan untuk memotong jaring atau tali jangkar di laut, di dalam sakunya. Seorang tentara mencegah Saul untuk naik ke atas truk, dan menemukan pisau tersebut di saku Robison. Ia menyita pisau itu, dan kemudian menyerahkannya kepada polisi.
Polisi menyimpan pisau tersebut namun tak menangkap Robison. Para warga desa tetap memblokade jalan selama dua pekan dan selama waktu itu, seorang petugas polisi lain memanggil Robison dan menyuruhnya untuk memisahkan diri dari gerakan Save Sangihe Island. Robison menolak. Polisi memanggilnya ke kantor polisi pada 30 Juni, dan langsung menangkapnya.
Pengacaranya, Adhitiya Augusta Triputra dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, mengatakan bahwa Robison diinterogasi dua kali tanpa didampingi pengacara. Isteri dan tim pengacaranya mengatakan bahwa mereka mengalami kesulitan untuk menemui Robison dalam tahanan.
Petugas penjara Tahuna enggan mengizinkan para pengacara untuk bertemu dengan Robison karena mereka dianggap tak memiliki izin dari pengadilan. Robison memberi tahu pengacaranya bahwa empat sipir penjara memukulnya berulang kali di dalam penjara antara 28 September dan 1 Oktober.
Para pengacara Robison mengatakan bahwa Saul didorong ke dalam kamar mandi, sehingga kepalanya membentur kloset, hingga berujung pendarahan serius. Pihak berwenang tak memberikan perawatan medis untuk luka-lukanya.
“Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia seharusnya segera menyelidiki dugaan pemukulan terhadap Robison Saul di dalam lembaga pemasyarakatan Tahuna, dan juga berbagai upaya untuk menghalangi aksesnya terhadap penasihat hukum,” kata Andreas.
“Penuntutan terhadap Robison Saul tampaknya dimaksudkan untuk mengintimidasi dirinya, dan warga desa lainnya, agar menerima proyek pertambangan yang ditentang oleh banyak orang karena menjadi ancaman serius terhadap mata pencarian dan cara hidup mereka,” tandasnya.