Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Legenda Menak Sopal, Cerita Rakyat Asal Usul Nama Trenggalek

Kata “Trenggalek” cukup sulit untuk diucapkan, khususnya buat orang yang baru mendengarkannya. Orang baru sering menyebutnya “trengalek”, “tren ngalek”, dan lain-lain. Ada juga karena susah, orang menyebut nama Tulungagung (kabupaten sebelah Trenggalek) untuk menyebut Kabupaten Trenggalek.Bahkan, beberapa orang Jakarta ada yang menyebut Trenggalek menjadi “Trenggi”, entah apa alasannya, mungkin biar terdengar kekinian? Jangankan Jakarta, orang Trenggalek saja menyebut Trenggalek menjadi “Nggalek” supaya lebih simpel pengucapan dan didengarnya. Tapi yang jadi pertanyaan, bagaimana asal usul nama Trenggalek?Kata “Trenggalek” membuat orang-orang bertanya, kenapa para leluhur menciptakan nama yang rumit untuk diucapkan. Jika merujuk beberapa sumber, ada berbagai versi asal usul nama Trenggalek. Salah satunya versi buku “Cerita Rakyat Dari Trenggalek” karya Edy Santosa dan Jarot Setyono. Berdasarkan buku tersebut, asal usul nama Trenggalek berawal dari legenda Menak Sopal.[caption id="attachment_25956" align=alignnone width=1280] Ilustrasi sosok Menak Sopal/Foto: Pen History (YouTube)[/caption]Bagi warga Trenggalek, Menak Sopal adalah sosok Bapak Pertanian Trenggalek. Ketika Trenggalek masih berbentuk rawa-rawa, Menak Sopal membendung Sungai Bagong untuk menyelesaikan permasalahan kekeringan air yang membuat masyarakat menderita.Dibangunnya bendungan itu juga bertujuan untuk mengeringkan rawa-rawa sehingga bisa ditempati sebagai pemukiman oleh lebih banyak orang. Menak Sopal kemudian membuat sungai untuk mengairi sawah yang sekarang ada di bagian timur Trenggalek.Dalam buku “Cerita Rakyat Dari Trenggalek”, disebutkan bahwa asal usul nama Trenggalek berasal dari kata Terang ing Galih, yang artinya terang di hati. Istilah Terang ing Galih berkaitan dengan Legenda Menak Sopal.

Legenda Menak Sopal

Menak Sopal kecil dirawat oleh Ki Ageng Sinawang dan Raden Ayu Saraswati. Saat tertidur lelap di malam hari, bayi Menak Sopal mengeluarkan sinar seperti kunang-kunang. Mengetahui hal itu, Raden Ayu Saraswati dan Ki Ageng Sinawang percaya sinar itu merupakan pertanda bahwa Menak Sopal akan menjadi sosok pemuda yang luar biasa.Ternyata benar dugaan kedua orang tua itu, Menak Sopal tumbuh dewasa menjadi lelaki yang suka menolong orang lain dan pandai. Menak Sopal bisa dengan cepat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Ki Ageng Sinawang. Selain itu, Menak Sopal juga berhasil menguasai ilmu peninggalan Ki Sabra, yaitu ilmu malih rupa. Jika ilmu itu digunakan, Menak Sopal bisa berubah wujud menjadi seekor harimau yang besar.Pada suatu ketika, penduduk desa di sekitar Padepokan Sinawang (tempat tinggal Menak Sopal) menderita karena kekurangan air. Masalah itu membuat masyarakat sering berkelahi karena berebut air belik (sumur kecil) di tepi Sungai Bagong. Menak Sopal ingin membantu para penduduk yang sedang kekurangan air. Kemudian, ia menelusuri kondisi di sekitar Sungai Bagong.Setelah beberapa hari menyelidiki Sungai Bagong, Menak Sopal memutuskan untuk membendung air di Sungai Bagong. Menak Sopal mengumpulkan para pemuda dari desa di Padepokan Sinawang untuk membangun bendungan. Murid-murid Ki Ageng Sinawang juga turut membantu membuat bendungan. Bendungan atau Dam Bagong akhirnya bisa selesai tanpa butuh waktu yang lama.Akan tetapi, setelah Dam Bagong baru dibangun, tiba-tiba Dam Bagong ambrol. Lantas, Menak Sopal, para pemuda, dan murid-murid Padepokan Sinawang segera memperbaikinya. Tetapi, lagi-lagi Dam Bagong ambrol setelah diperbaiki.Akhirnya, Menak Sopal menggunakan kesaktiannya untuk mengetahui siapa yang mengganggu pekerjaannya. Melalui mata batinnya, Menak Sopal melihat seekor Buaya Putih besar yang sedang merusak Dam Bagong dengan sabetan ekornya.[caption id="attachment_25957" align=alignnone width=936] Ilustrasi sosok Buaya Putih/Foto: Pen History (YouTube)[/caption]“Hei, Buaya Putih! Apa yang kau lakukan? Mengapa kau rusak bendungan itu?" tanya Menak Sopal dengan kekuatan batinnya.“Aku merusaknya karena kau tak memberiku makan dulu sebelurn membuat bendungan di sungai kekuasaanku,” jawab Buaya Putih.“Apa makanan kau inginkan?" Menak Sopal bertanya lagi.“Aku ingin makan kepala seekor Gajah Putih. Kalau kau bisa mencarikannya untukku, aku berjanji tak akan merusak bendungan ini lagi!” kata buaya putih yang kemudian menghilang dari pandangan mata batin Menak Sopal.Menak Sopal menyampaikan keinginan Buaya Putih itu kepada para pemuda dan murid-murid padepokan.“Kepala Gajah Putih? Hanya Mbok Randa di Desa Krandon yang memelihara gajah berwarna putih. Tapi apa iya dia mau menyerahkan pada kita untuk kita potong?” kata seorang pemuda.“Jadi Mbok Randa Krandon memiliki Gajah Putih? Baiklah, aku akan ke sana untuk meminjam Gajah Putih itu. Serahkan urusan ini padaku. Kalian tunggulah di sini,” ujar Menak Sopal.Kemudian, Menak Sopal segera berangkat ke Desa Krandon untuk menemui Mbok Randa. Ia ditemani oleh seorang pemuda yang tahu letak rumah Mbok Randa. Ketika sampai di rumah Mbok Randa, Menak Sopal menyampaikan keinginannya untuk meminjam Gajah Putih milik Mbok Randa selama tiga hari.“Kami meminjam hanya untuk tiga hari saja. Setelah itu kami akan mengembalikannya!" tutur Menak Sopal.“Kalau ada apa-apa nanti, siapa yang bertarwang jawab?" tanya Mbok Randa Krandon."Yang bertanggung jawab adalah Padepokan Sinawang. Aku adalah murid Ki Ageng Sinawang!" jawab Menak Sopal.“Oh, jadi kalian suruhan Ki Ageng Sinawang? Aku kenal baik dengannya. Baik, aku pinjamkan Gajah Putihku untuk tiga hari. Setelah tiga hari, tolong segera kalian kembalikan!" kata Mbok Randa.[caption id="attachment_25960" align=alignnone width=1280] Menak Sopal meminjam Gajah Putih milik Mbok Randa/Foto: Cerita Rakyat dari Trenggalek (Buku)[/caption]Menak Sopal kemudian membawa pergi Gajah Putih dari Desa Krandon. Gajah Putih langsung dibawa ke tempat dibangunnya Dam Bagong. Gajah Putih lalu disembelih. Kepalanya dilemparkan ke dalam Sungai Bagong.Setelah itu, Dam Bagong dibangun kernbali. Ketika Dam Bagong selesai, Dam Bagong tidak ambrol lagi. Dam Bagong segera penuh terisi air. Belik-belik di sepanjang Sungai Bagong kembali dipenuhi air.Tiga hari berlalu setelah Menak Sopal meminjam Gajah Putih Milik Mbok Randa. Seharusnya, Menak Sopal sudah mengembalikan Gajah Putih itu ke Mbok Randa. Akan tetapi, hingga satu bulan lebih, Gajah Putih itu belum kembali. Akhirnya, Mbok Randa marah. Ia mengumpulkan seluruh penduduk di Desa Krandon untuk menyerang Padepokan Sinawang.Di tengah perjalanan menuju Padepokan Sinawang, Mbok Randa tiba-tiba bertemu dengan Menak Sopal yang sedang keliling desa.“Kau kan Menak Sopal? Pemuda yang meminjam Gajah Putihku. Ayo mana, sekarang kembalikan!” hardik Mbok Randa Krandon.[caption id="attachment_25958" align=alignnone width=945] Ilustrasi sosok Gajah Putih/Foto: Pen History (YouTube)[/caption]“Maafkan aku, Mbok Randa. Gajah Putih itu sudah kusembelih. Kepalanya kuberikan pada Buaya Putih penguasa Sungai Bagong. Buaya itu berjanji, setelah makan kepala Gajah Putih, ia tak akan merusak bendungan yang kubangun. Sebab, bendungan itu untuk membantu memenuhi kebutuhan air para penduduk dan petani,” Menak Sopal menerangkan dengan jujur.Tapi, Mbok Randa tidak percaya dengan kata-kata Menak Sopal. Kemudian, ia menyuruh penduduk Desa Krandon untuk menghajar Menak Sopal. Menak Sopal tak mau melawan. Ia memilih berlari menyelamatkan diri.Penduduk Desa Krandon terus mengejar. Menak Sopal terpojok. Dengan ilmu malih rupanya, ia berhasil menyelamatkan diri. Ia lalu terjun ke dalam Dam Bagong.Mbok Randa menyuruh para penduduk Desa Krandon untuk menunggu Menak Sopal muncul dari Dam Bagong. Mbok Randa pun bergegas pergi ke Padepokan Sinawang. Di sana, Ki Ageng Sinawang dan Raden Ayu Saraswati menyambut Mbok Randa dengan ramah.Awalnya, Mbok Randa ingin meminta kembali Gajah Putih miliknya. Ki Ageng Sinawang, menjelaskan bahwa Gajah Putih itu sudah disembelih dan kepalanya diberikan pada Buaya Putih di Sungai Bagong.“Hal itu dilakukan oleh Menak Sopal agar buaya putih itu berhenti merusak bendungan. Bila bendungan tidak rusak, maka kebutuhan air para penduduk dan petani dapat tercukupi. Tidak sulit seperti sekarang ini!” jelas Ki Ageng Sinawang.“Jadi benar apa yang dikatakan Menak Sopal tadi? Aku salah kira. Kukira dia berbohong. Kalau memang Gajah Putihku digunakan untuk membantu membangun bendungan, aku rela,” ucap Mbok Randa.“Terima kasih, Mbok Randa Krandon! Semoga terang ing penggalihmu [terang di hatimu], ini membawa kemakmuran bagi penduduk di sekitar sini. Nanti, jika daerah ini sudah ramai, akan kuberi nama Terang ing Galih!” ujar Ki Ageng Sinawang.“Tapi? Bagaimana dengan pemuda yang bernama Menak Sopal itu? Ia baru saja terjun ke dalam bendungan,” tanya Mbok Randa.“Jangan khawatir, Mbok Randa. Ia pasti kembali dengan selamat,” jawab Raden Ayu Saraswati.

Para Pewaris Semangat Menak Sopal

Demikianlah Legenda Menak Sopal, versi buku “Cerita Rakyat Dari Trenggalek” karya Edy Santosa dan Jarot Setyono. Nama "Terang ing Galih" itu kemudian diyakini sebagai asal usul nama Trenggalek. Terlepas bagaimana kebenaran asal usul nama Trenggalek, Edy Santosa dan Jarot Setyono, menyampaikan bahwa Legenda Menak Sopal sangat dikenal oleh masyarakat Trenggalek hingga hari ini.Nama Menak Sopal menjadi nama stadion di Kabupaten Trenggalek (Stadion Menak Sopal). Sosok Gajah Putih juga menjadi logo klub sepak bola Persiga Trenggalek. Selain itu, nama Menak Sopal juga menjadi nama aplikasi dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Trenggalek, yaitu Siminaksopal, singkatan dari Sistem Informasi Administrasi Kependudukan Secara Online Paket Lengkap.Lebih dari itu, Dam Bagong yang dibangun oleh Menak Sopal itu masih ada hingga sekarang, tepatnya di Kelurahan Ngantru, Kecamatan Trenggalek, Kabupaten Trenggalek. Sungai di Dam Bagong itu juga tetap mengaliri air untuk sawah petani. Dalam konteks sejarah dan kebudayaan, semangat untuk mengenang perjuangan Menak Sopal juga diwujudkan dalam tradisi turun-temurun yang dikenal sebagai Upacara Nyadran di Dam Bagong.Upacara Nyadran itu tidak dilakukan dengan menyembelih dan memenggal kepala gajah Putih. Tapi kini masyarakat Trenggalek menyembelih kepala kerbau untuk dilempar ke Sungai Bagong. Tentunya, kini kepala kerbau itu tidak dimakan oleh Buaya Putih. Akan tetapi, setelah kepala kerbau dilempar, masyarakat berebut kepala itu dengan suka ria. Bagi yang mendapatkan kepala kerbau, akan memasaknya dan dimakan bersama-sama temannya.[caption id="attachment_14640" align=alignnone width=1600]Warga Kelurahan Ngantru Trenggalek larung kepala kerbau sebagai wujud rasa syukur Warga Kelurahan Ngantru Trenggalek larung kepala kerbau sebagai wujud rasa syukur/Foto: Kabar Trenggalek[/caption]Tak hanya Dam Bagong, Makam Menak Sopal juga masih ada hingga sekarang. Letak Makam Menak Sopal tidak jauh dari Dam Bagong. Hingga hari ini, Makam Menak Sopal dikeramatkan oleh masyarakat Trenggalek. Makam Menak Sopal menjadi tempat ziarah napak tilas perjalanan sejarah yang dilakukan oleh masyarakat setiap menjelang Hari jadi Trenggalek (31 Agustus, sesuai keterangan di Prasasti Kamulan).Legenda Menak Sopal memberi pelajaran kepada masyarakat Trenggalek untuk menghargai perjuangan para leluhur dalam merawat ruang hidup dan menjaga kelestarian lingkungan.Masyarakat Trenggalek yang mewarisi semangat perjuangan Menak Sopal tentu akan melakukan berbagai upaya untuk melestarikan lingkungan demi kelangsungan hidup bersama serta demi masa depan generasi penerus Trenggalek.Hari ini, semangat perjuangan Menak Sopal juga diwarisi masyarakat Trenggalek yang sedang berjuang menjaga kelestarian lingkungan dari ancaman kerusakan oleh tambang emas. Salah satu alasan penolakan tambang emas karena masyarakat tak ingin sumber air yang ada di Trenggalek rusak dan hilang akibat eksploitasi tambang emas.Bisa dibilang, masyarakat Trenggalek tak ingin mengalami penderitaan yang lebih parah daripada penderitaan yang pernah dialami para leluhur saat kekurangan air di zaman Menak Sopal dahulu.Baca tulisan lainnya tentang Asal Usul Nama Trenggalek:

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *