13 Kepala Daerah Minta MK Jadwal Pilkada Digeser pada Desember 2025
Sejumlah 13 kepala daerah mengikuti sidang Perkara Nomor 27/PUU-XXII/2024 yang dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (26/02/2024). Dalam sidang itu, 13 kepala daerah minta MK jadwal pilkada digeser pada Desember 2025.Rincinya, sidang tersebut tentang permohonan 13 kepala daerah yang mengajukan pengujian Pasal 201 ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).Adapun 13 kepala daerah dimaksud yaitu Al Haris (Gubernur Jambi), Mahyedi (Gubernur Sumatera Barat), Agus Istiqlal (Bupati Pesisir Barat), Simon Nahak (Bupati Malaka), Arif Sugiyanto (Bupati Kebumen), Sanusi (Bupati Malang), Asmin Laura (Bupati Nunukan), Sukiman (Bupati Rokan Hulu).Kemudian, Moh. Ramdhan Pomanto (Walikota Makassar), Basri Rase (Walikota Bontang), Erman Safar (Walikota Bukittinggi), Rusdy Mastura (Gubernur Sulawesi Tengah), dan Ma’mur Amin (Wakil Gubernur Sulawesi Tengah).Donal Fariz, salah satu kuasa hukum para pemohon, mengatakan, keserentakan pilpres, pileg, dan pilkada berpotensi terciptanya korupsi yang lebih tinggi, memunculkan gangguan keamanan dan ketertiban yang besar, dan menimbulkan penumpukan hasil sengketa pemilihan umum di MK."Tak hanya itu, para pemohon berpandangan bahwa pentingnya mengatur kembali jadwal pilkada dengan mempertimbangkan kompleksitas dalam penyelenggaraan pilkada serentak tersebut," kata Donal pada Ruang Sidang Panel MK.Di samping itu, para Pemohon meminta kepada Mahkamah agar meninjau ulang jadwal penyelenggaraan pilkada, khususnya terhadap 270 daerah otonomi yang menyelenggarakan pilkada di tahun 2020."Menurut para pemohon, berdasarkan pendekatan judicial activism yang dilakukan oleh Mahkamah selama ini, persoalan ini penting untuk diselesaikan, dengan membagi kembali jadwal penyelenggaraan pemilihan secara serentak," ucap Donal.Rincinya, 276 daerah tetap menyelenggarakan pemilihan pada November 2024, dengan pertimbangan agar segera terdapat kepala daerah yang definitif hasil pemilihan langsung oleh rakyat. Lalu, 270 daerah hasil pemilihan tahun 2020 dapat menyelenggarakan pemilihan pada bulan Desember 2025."Permohonan para pemohon tidak hanya menyoal masa jabatan yang terpotong, tetapi juga memberikan usulan penataan jadwal Pilkada yang jauh lebih rasional berdasarkan indikator dan prasyarat yang diuraikan MK dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019," kata Donal.Dengan digesernya waktu penyelenggaraan pemilihan terhadap 270 kepala daerah menjadi Desember 2025 ini akan mengurangi beban aparat keamanan dalam mengamankan penyelenggaraan pilkada dalam jumlah besar pada waktu yang bersamaan.Selain itu, agenda sidang kali ini adalah pemeriksaan perbaikan permohonan. Donal menyebutkan, beberapa perbaikan yang telah dilakukan pihaknya.Perbaikan itu seperti penambahan argumentasi terkait pengaturan penyelenggaraan pilkada yang dinilainya tidak hanya menyoal administrasi pemilu. Usulan ini diajukan ke MK karena menyangkut hak konstitusional dan hak politik rakyat yang harus dipenuhi secara baik.“Ini juga berbicara soal demokrasi dan hak pilih dan dikaitkan dengan pembahasan UU Pilkada dan potensi penumpukan perkara di MK. Selanjutnya, para Pemohon juga mengajukan permohonan provisi dan mendorong MK untuk mendesain ulang jadwal pilkada saat ini,” jelas Donal.Sebelumnya, pada sidang Rabu (07/02/2024), para pemohon menyebutkan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Para Pemohon menilai pembentuk undang-undang tidak memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan Pilkada Serentak 2024. Sehingga berpotensi menghambat pemilihan kepala daerah yang berkualitas."Sebab, berpedoman dari pengalaman Pemilu Tahun 2019, menunjukkan fakta bahwa terdapat beban tugas penyelenggaraan ad hoc yang tidak rasional dan terlalu berat. Tercatat dalam pemilu tahun 2019 menewaskan kurang lebih 894 petugas ad hoc dan 5.175 petugas sakit akibat kelelahan," terang Donal.Apabila tahapan Pilkada Serentak Nasional 2024 dipaksakan dilaksanakan bersamaan dengan pilpres dan pileg 2024, hal itu dapat berakibat fatal sebab berpotensi kejadian buruk pemilu tahun 2019 terulang kembali."Hal ini berpotensi memunculkan kekacauan teknis yang berimplikasi pada terlanggarnya ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang," tandas Donal.
Kabar Trenggalek Hadir di WhatsApp Channel Follow