Wacana pemerintah pusat untuk menaikkan pajak menjadi 12 persen pada 2025 menuai beragam respons dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari DPC GMNI Trenggalek yang dengan tegas menolak rencana tersebut.
Ketua DPC GMNI Trenggalek, Mochamad Shodiq Fauzi, menyampaikan bahwa meski alasan kenaikan pajak adalah untuk meningkatkan pendapatan negara agar tidak tergantung pada utang asing, hal tersebut justru menimbulkan banyak pertanyaan.
“Bagaimana dengan keadilan sosial, karena dalam penerapan pajak terdapat kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) yang cenderung lebih menguntungkan kelompok ekonomi besar,” ucap Shodiq.
GMNI Trenggalek menduga bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang direncanakan mulai 1 Januari 2025 merupakan kebijakan yang keliru dari pemerintahan Prabowo-Gibran, dengan alasan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengatasi kemiskinan.
“Saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah sedang merancang undang-undang tax amnesty. Menurut kami, negara justru sedang menyebabkan ketidakadilan yang sistematis,” tambahnya.
Lebih lanjut, Shodiq menekankan bahwa kebijakan pajak ini akan menambah ketidakadilan sistematis dan berpotensi menciptakan lebih banyak orang miskin. Selain itu, dampaknya akan terasa pada aktivitas ekonomi masyarakat dan memicu masalah sosial.
“Menurut kami, dalam konteks ketatanegaraan, sendi negara yang dibangun dalam konstitusi justru kehilangan kepastiannya dan melumpuhkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law),” kata Shodiq.
Dengan tegas, GMNI Trenggalek menolak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%. Mereka mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera membatalkan rencana tersebut karena dianggap sangat membebani masyarakat, khususnya kalangan bawah.
“Kami juga mengecam dan mendesak Presiden Prabowo Subianto agar tidak membuat kebijakan yang sangat membebani rakyat,” tandas Shodiq.
Editor:Bayu Setiawan