KABARTRENGGALEK.com - Pemerintah memutuskan untuk menghapus angka kematian dari indikator penanganan Covid-19. Keputusan itu dikarenakan ada masalah dalam input data sehingga menyebabkan akumulasi dari kasus kematian di beberapa minggu sebelumnya.
Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, menyampaikan pernyataan itu saat mengumumkan perpanjangan PPKM, Senin (09/08). Ketika angka kematian dihapus dari indikator penanganan Covid-19, maka ada 26 kota dan kabupaten yang turun level dalam penerapan PPKM.
Menanggapi hal ini, epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan bahwa kebijakan itu jelas keliru. Menurut Dicky, semua penyakit memerlukan adanya indikator kematian, baik itu kanker, stroke, diabetes, tak terkecuali Covid-19.
"Selain salah, juga berbahaya karena indikator kematian ini indikator kunci adanya suatu wabah untuk melihat bukan hanya performa intervensi di hulu, tapi juga menilai derajat keparahan suatu wabah," kata Dicky. Sehingga, strategi penanganan pandemi berpotensi menjadi salah, ekspektasi yang diperkirakan juga akan jauh dari harapan (kompas.com).
Dicky mengatakan, data kematian yang menumpuk dan menimbulkan ketidakakuratan, seharusnya tidak membuat pemerintah menghapusnya begitu saja. Data kematian tersebut cukup diperbaiki dengan secepat dan seakurat mungkin tanpa perlu menghilangkannya.
"Seperti yang sering saya katakan, manajemen data ini kita harus terus tingkatkan karena stastitik kematian itu penting untuk menginformasikan tentang bagaimana perjalanan atau performa kebijakan kesehatan strategi pandemi," kata Dicky. Menurut Dicky, pemerintah seharusnya memahami bahwa tujuan pengendalian pandemi salah satunya adalah untuk meminimalisir angka kematian (kompas.com).
"Sehingga memahami data kematian, memiliki data kematian, termasuk melihat berapa orang yang meninggal di suatu daerah, itu jadi sangat penting dalam suatu situasi wabah seperti pandemi ini. Sangat critical, sangat vital karena bisa berakibat fatal. Jadi kita mau tidak mau ya memang harus mencari bahkan kalau bisa sebanyak mungkin untuk memastikan angka kematian ini karena akan menentukan keberhasilan pengendalian pandemi kita," tandas Dicky (kompas.com).
Sementara itu, data LaporCovid-19 menunjukkan adanya selisih data kematian yang cenderung melebar antara data versi kabupaten/kota dan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Rekapitulasi data bersumber laporan 510 kabupaten/kota di Indonesia hingga 7 Agustus 2021 menunjukkan angka kematian karena Covid-19 sudah mencapai 124.790 jiwa. Sedangkan pada hari yang sama, laporan Kemenkes baru ada 105.598 korban jiwa. Artinya, ada selisih 19.192 jiwa data kematian yang dilaporkan kabupaten/kota tapi tidak ada dalam laporan Kemenkes.
[next]
Menurut LaporCovid-19, keputusan pemerintah menghapus data kematian dalam evaluasi PPKM Level 4 dan 3 itu patut dipertanyakan. Karena, data kematian adalah indikator yang sangat penting untuk menilai seberapa efektif penanganan pandemi Covid-19 yang telah dilakukan pemerintah.
LaporCovid19 mengatakan, ketidakakuratan data kematian yang ada seharusnya tidak menjadi alasan bagi pemerintah untuk menghapus data tersebut. "Dengan menyadari bahwa data kematian itu tidak akurat, pemerintah seharusnya berupaya memperbaiki data tersebut agar benar-benar akurat," tulis LaporCovid-19 (tempo.co).
Apalagi, kata LaporCovid19, data kematian yang selama ini diumumkan oleh pemerintah pun sebenarnya belum cukup untuk menggambarkan betapa besarnya dampak pandemi Covid-19. Hal ini karena jumlah kematian yang diumumkan pemerintah pusat ternyata masih jauh lebih sedikit dibanding data yang dilaporkan pemerintah daerah.
LaporCovid-19 pun menyatakan pemerintah seharusnya mempublikasikan jumlah warga yang meninggal dengan status probable agar masyarakat memahami secara lebih akurat dampak pandemi yang terjadi. "Perbaikan data ini yang harus dilakukan, bukan malah mengabaikan data kematian dan tak memakainya dalam evaluasi PPKM Level 4 dan 3," tulis LaporCovid19 (tempo.co)
Epidemiolog lapangan dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Yudhi Wibowo, mengatakan, Dinas Kesehatan di daerah tidak memasukkan mereka yang meninggal dengan kondisi reaktif antigen sebagai korban Covid-19. Padahal, WHO sudah merekomendasikan penggunaan tes antigen untuk surveilans dan hal ini sudah pula diadopsi oleh Kemenkes.
“Namun, klaim kematian karena Covid-19 oleh rumah sakit belum bisa dilakukan kalau hanya dengan antigen, harus pakai PCR. Data kematian dengan korban dengan antigen tidak dimasukkan dalam data kematian Covid-19 secara nasional,” katanya. (kompas.id)
Dengan kondisi ini, Institute for Health Metrics and Evaluation University of Washington menyebutkan, kematian karena Covid-19 di Indonesia pada Mei 2021 lalu mencapai 2,5 kali lipat dari laporan resmi pemerintah. (kbrt).