Kabar Trenggalek - Rancangan Undang Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dinilai kontroversial dan mengambil hak masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, puluhan mahasiswa Trenggalek yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) turun jalan.
Dalam tuntutannya, dua organisasi mahasiswa trenggalek itu menyampaikan bahwa pasal RUU KUHP kontroversial. Di antaranya, Pasal 256 RUU KUHP tentang Penyelenggaraan Pawai, Unjuk Rasa, atau Demonstrasi.
Kemudian, pasal 218 hingga Pasal 220 RUU KUHP tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta Pasal 349 dan Pasal 350 RUU KUHP tentang Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara.
Baca: Puluhan Mahasiswa Trenggalek Turun ke Jalan, Tolak Kenaikan BBM
Cerminan pasal kontroversial itu didasari hasil kajiannya yang merujuk pada draft RUU KUHP yang telah diserahkan Menkumham terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Doding Rahmadi, Wakil Ketua DPRD Trenggalek, saat menerima puluhan aksi mahasiswa mengungkapkan tuntutan kedua mahasiswa itu dilayangkan kepada pemerintah pusat.
Dengan demikian, dirinya bakal menyampaikan aspirasi kepada DPR RI untuk menjadi pertimbangan pasal kontroversial dalam RUU KUHP.
"Sebagaimana kami ketahui pada 9 Desember 2022 lalu draft RUU KUHP sudah diserahkan dan akan dibahas DPR. Maka dari itu, masukan masyarakat seperti aspirasi mahasiswa Trenggalek ini perlu disampaikan," ungkapan Doding.
Baca: Sholawat Asyghil, Gemparkan Aksi Tolak Tambang Emas Trenggalek di KLHK Jakarta
Dirinya menyebutkan, seperti pasal penghinaan terhadap presiden, kemudian terhadap pemerintah dan menurutnya pasal itu adalah pasal baru.
"Kalau secara pandangan hukum kami penghinaan indikasinya ada dua, penistaan dan fitnah. Kalau lembaga pemerintahan penistaan dan fitnah itu seperti apa?," ucapnya.
Kendati demikian, mahasiswa sering membuat pamflet yang berisi kritikan pedas kepada pemerintah, aku Doding, itu sudah hal yang biasa dan wajar.
"Contohnya pamflet 'Dewan Penipu Rakyat' kemudian 'Dewan Membodohi Rakyat' kalau kata demikian dilaporkan jadi tidak bagus secara demokrasi," tegasnya kala usai menerima aksi mahasiswa Trenggalek.
Tambahnya, jika pemerintah atau pelayanan publik dapat kritik, memang sudah menjadi resiko dan tugasnya mendengarkan.
"Sudah menjadi resiko pemerintah. Kalau dimasukkan pasal penghinaan itu ranahnya individu bukan lembaga," ujar politisi PDIP itu.