Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

My Account

Opini: Trenggalek Mau Maju? Bisa Dimulai Dari Membiasakan Tepat Waktu Dulu

Pengalaman pribadi berdasarkan fakta-fakta yang sering dijumpai saat acara-acara formal pemerintah.

  • 06 Jun 2025 16:00 WIB
  • Google News

    Saya suntuk. Maka tulisan ini saya buat, sambil menunggu acara dari salah satu dinas di Kabupaten Trenggalek dimulai. Jadwal di surat undangan tertulis pukul 09.00 WIB. Tapi sampai pukul 09.45, bahkan belum ada tanda-tanda acara akan dimulai.

    Kondisi seperti ini sudah terlalu biasa di Trenggalek. Telat sudah seperti warisan budaya tak benda, berlaku merata dari rakyat jelata sampai pejabat terhormat. Orang saling menunggu untuk sesuatu yang sudah ditentukan waktunya. Lucu dan menyedihkan dalam satu tarikan napas.

    Kenapa saya bilang saling menunggu? Karena ya itu yang terjadi. Pemerintah enggan membuka acara sebelum peserta dianggap cukup banyak. Sementara peserta justru menunggu hingga pejabat membuka acara, baru mau masuk. Sejatinya, ini bukan koordinasi tetapi lomba sabar yang absurd.

    Suatu ketika saya pernah tanya pada Gwen, seorang pemuda asal Australia yang tinggal setahun di Indonesia. “Gwen, bagaimana orang di negaramu memandang keterlambatan?” tanyaku.

    Dia menjawab singkat “Itu tidak menghormati orang lain. Kami cenderung sulit percaya pada orang yang mempermainkan waktu.”

    Gwen tidak menuntut kesempurnaan. Telat kadang bisa dimaklumi. Tapi, katanya, keterlambatan harus disertai kesadaran—dan konfirmasi. Bukan dibiarkan mengambang --seperti janji kampanye.

    Peter Drucker, tokoh manajemen modern, pernah menulis: “Sampai kita bisa mengatur waktu, kita tidak bisa mengatur apa pun.” Kutipan ini bukan pajangan seminar. Ini soal fondasi keberhasilan.

    Lihat Ignasius Jonan. Ketika memimpin PT KAI, dia ngotot urusan toilet harus bersih dulu. Katanya, kalau hal sepele saja tak bisa dibereskan, jangan bermimpi urus yang besar. Kini, kereta api menjelma menjadi BUMN yang berkelas. bahkan kelas ekonomi pun sudah harum, nyaman, dan manusiawi (ada selimut saat malam). Semuanya ternyata dimulai dari perkara yang sering kita anggap remeh: waktu dan kebersihan.

    Tepat Waktu di Trenggalek? 1 Milyar Persen Bisa!

    Saya tidak sedang hiperbola. 1 milyar persen saya percaya Trenggalek bisa menerapkan budaya tepat waktu. Kenapa? Karena orang desa sudah lebih dulu mempraktikkannya.

    Ambil contoh acara mbesan—tradisi bertandang ke rumah pengantin bersama handai taulan. Kalau dibilang jam 08.00, maka sejak pukul 07.00 tamu-tamu sudah berdatangan. Bukan karena waktu luangnya berlebih, tapi karena ada rasa malu kalau datang terlambat. Ada bentuk penghormatan yang tidak diajarkan, tapi diwariskan. Sayangnya, ini belum diadopsi sepenuhnya oleh pemerintah.

    ADVERTISEMENT
    Migunani

    Pemerintah sebetulnya bisa meniru logika alarm tagihan dari aplikasi kredit online. Ia selalu on time, tanpa perasaan, dan tak pernah telat mengingatkan. Caranya? Gampang. Mulai saja acara tepat waktu, apapun yang terjadi. Kalau aula masih kosong? Duduk saja di aula acara. Diam, tapi mengirim pesan, “mau sampai kapan telat acara?”

    Percayalah, cukup dua kali saja dilakukan, pola akan berubah. ASN pasti tak mau mempermalukan diri sendiri karena datang terlambat di hadapan atasannya. Selama ini mereka telah diajari disiplin di mesin absensi --karena ada reward dan punishment, misal terkait pendapatan TPP (Tambahan Penghasilan Pegawai).

    Molor Itu Mahal

    Keterlambatan dalam pemerintahan itu mahal, bahkan destruktif. Ia menggerus kepercayaan publik pelan-pelan, seperti air rembesan di dinding rumah.

    Coba pikir. Seorang buruh tani datang ke undangan resmi jam 09.00, meninggalkan ladangnya. Tapi acara baru mulai jam 10.00. Rugi waktu, rugi pekerjaan. Sementara pejabatnya santai, toh gaji jalan terus. Ini sudah masuk kategori ketidakadilan yang didiamkan.

    Ironisnya, rakyat bisa tepat waktu datang ke pengajian, bahkan tepat waktu nonton sinetron. Tapi ketika berhadapan dengan institusi resmi, justru diajari bahwa molor itu wajar. Salah siapa?

    Solusi Itu Sederhana, Asal Mau Malu

    Yang dibutuhkan hanya keberanian untuk tidak menunggu. Pemerintah harus memulai tepat waktu, apa pun risikonya. Mau yang hadir baru tiga orang? Lanjutkan saja. Mau aula kosong? Anggap rapat internal.

    Biar satu dua kali terasa canggung. Tapi kalau konsisten, budaya akan menyesuaikan. Budaya itu bukan dogma, tapi hasil dari sesuatu yang dilakukan terus-menerus.

    Bikin aturan? Boleh. Tapi yang paling penting: contoh. Rakyat bukan butuh undang-undang disiplin, tapi butuh pemimpin yang tidak ikut-ikutan telat.

    Saya rasa, Pemerintah yang Tak Menghargai Waktu Rakyat, Itu Kejam. Karena mereka tahu, walau datang telat acara --bukan telat ceklok, gaji tetap cair. Sementara rakyat harus meninggalkan dagangan, ladang, atau anak di rumah demi datang ke undangan yang molor tanpa rasa bersalah.

    Kalau Trenggalek mau maju, jangan mulai dari proyek besar-besaran dulu. Mulailah dari yang paling mendasar: tepat waktu. Karena kalau urusan jam saja masih fleksibel tergantung keramaian, jangan mimpi bisa mengelola yang lebih kompleks.

    Kabar Trenggalek - Opini

    Editor:Redaksi