Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

My Account

Nasi Gegok Legendaris Mbah Tumirah: Bertahan 3 Generasi, Jadi Ikon Kuliner Trenggalek

  • 30 Jun 2025 14:00 WIB
  • Google News

    KBRT, Makin Tahu Indonesia– Asap dapur yang mengepul dari warung sederhana di Dusun Jeruk, Desa Srabah, Kecamatan Bendungan, setiap pagi menjadi penanda bahwa nasi gegok legendaris Mbah Tumirah (85) kembali siap disantap.

    Hanya dengan Rp 5.000, pembeli bisa menikmati nasi pulen berbalut daun pisang, lengkap dengan lauk ikan teri atau tuna, dan rasa pedas gurih yang menggugah selera.

    Warung yang berdiri di lereng perbukitan Trenggalek ini tidak sekadar menjajakan makanan tradisional, tetapi juga menyimpan sejarah panjang lintas generasi.

    “Warung ini turun-temurun dari ibu saya. Banyak penjual nasi gegok dulu belajar jualan dari sini,” tutur Tumirah saat ditemui Kabar Trenggalek.

    Mbah Tumirah menceritakan, sejak ia lahir pada tahun 1940, sang ibu sudah lebih dulu membuka usaha nasi gegok di lokasi yang sama. Meskipun harga bahan pokok terus naik, ia tetap menjaga kualitas dan takaran. Ia hanya menaikkan harga secara perlahan dari semula Rp 3.500 menjadi Rp 5.000.

    nasi-gegok-mbah-tumirah-trenggalek.jpg
    Nasi daun pisang yang dibungkus dengan sambal serta gorengan sebagai pendamping. KBRT/Nandika

    Untuk pembelian dalam jumlah banyak, ia masih memberikan potongan harga Rp 1.000 per bungkus, termasuk untuk para pengecer yang menjual ulang nasi gegok buatannya.

    “Sampai sekarang, banyak pelanggan dari kota Trenggalek yang jauh-jauh ke sini karena tidak mau beli nasi gegok dari warung lain. Malah pernah ada ibu hamil yang nangis minta suaminya ke sini juga,” ujarnya sambil tersenyum.

    ADVERTISEMENT
    Migunani

    Warung yang berjarak sekitar 7,5 kilometer dari pusat kota Trenggalek ini bisa ditempuh dalam waktu 20 menit. Namun, medan menuju Desa Srabah cukup menantang, dengan jalanan yang terjal dan rusak akibat sering dilalui truk proyek Bendungan Bagong.

    Meski demikian, pemandangan alam yang menyuguhkan udara sejuk dan lanskap perbukitan Trenggalek membuat perjalanan tetap menyenangkan.

    “Tapi dulu bisa lebih ramai dari sekarang, saat mendekati jam 12 siang orang-orang sampai antre, tak kebagian tempat di sini,” kenangnya.

    Dulu, Mbah Tumirah bisa menghabiskan lebih dari 10 kilogram beras dalam sehari. Kini, seiring bertambahnya usia dan menurunnya tenaga, ia hanya memasak sekitar 5 kilogram beras per hari, dibantu oleh salah satu putrinya untuk proses memasak.

    Warung dibuka setiap hari dari pukul 06.00 hingga 18.00 WIB. Meski tak lagi seramai dulu, satu hal yang tidak pernah berubah adalah bahwa dagangannya hampir tak pernah tersisa.

    “Kalau sudah habis sebelum jam 6 sore ya pulang. Tapi di sini itu tidak pernah ada nasi gegok yang tersisa karena tidak laku,” tandasnya

     

    Kabar Trenggalek - Sosial

    Editor:Lek Zuhri

    ADVERTISEMENT
    BPR Jwalita