Opini oleh: Heru Saputro*
Isu mengenai netralitas seringkali menjadi buah bibir menjelang kontestasi Pemilu, meskipun aturan perundang-undangan tentang kepegawaian di dalam Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil telah menyatakan dengan tegas, tetap saja terjadi kelalaian yang disengaja oleh mereka Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Semua sikap dan perilaku masyarakat atau subyek hukum sudah memiliki aturan main yang termuat didalam aturan perundang-undangan. Kemudian hal ini menjadi kontroversi menjelang Pemilu 2024. Siapakah yang termasuk ASN? Dan apakah ASN memang benar-benar mampu memaknai kata “Netralitas” atau tidak? Dan mengapa mereka harus “Netral”?
Merujuk pada Undang-undang ASN No. 5 Tahun 2014, pekerjaan yang termasuk dalam kategori ASN adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintan dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Akan tetapi berdasarkan pada SE Menteri PANRB Tahun 2023, juga menjelaskan tentang predikat kinerja pegawai, termasuk TNI dan Polri.
Meskipun memiliki garis hierarki yang bebeda, namun dua lembaga tersebut memiliki kewajiban yang sama dengan pegawai negeri. Seperti Sikap yang netral, sumber dana dari APBN, tupoksinya diatur didalam Undang-undang.
Kata netralitas berasal dari kata netral, yang memiliki definisi keadaan yang tidak berpihak. Netral merupakan sikap yang terbebas segala bentuk kepentingan. Dengan demikian sikap netral inilah yang menjadi tantangan dan kewajiban pegawai ASN untuk menjalankan kewajibannya dalam menjaga marwah konstitusi.
Sikap netralitas juga sering dikaitkan dengan penyelenggaraan pemilihan umum, banyak juga yang kurang memahami secara spesifik mengenai netralitas. Secara sederhana, indikator sikap netral dapat diketahui dengan mudah, antara lain: 1.) Tidak Terlibat, dan 2.) Tidak Memihak.
Penjelasan singkat tidak berpihak adalah secara sadar tidak menjadi bagian dari tim sukses. Namun tidak sekedar demikian, ASN dilarang untuk mengikuti agenda kegiatan kampanye peserta pemilu, meskipun tidak menggunakan atribut kepegawaian.
Atribut kepegawaian hanyalah simbol atau identitas diri, sehingga perkara ini tetap saja dinilai terlibat dalam kegiatan agenda politik peserta pemilu. Berikutnya mengenai “Tidak Memihak”, penjelasannya ialah seorang anggota ASN dilarang turut serta melakukan tindakan yang mempengaruhi keputusan politik yang dapat menguntungkan kelompok tertentu.
Jika tindakan menguntungkan kelompok tertentu itu terjadi, maka tidak bisa dipungkiri akan berimbas kepada sistem pelayan publik, pegawai ASN akan memberikan fasilitas yang dimiliki negara untuk aktivitas kegiatan kampanye peserta pemilu. Fasilitas publik tidak boleh dipengaruhi dan dicampuri oleh kepentingan politik, karena pelayanan itu wajib diperuntukkan oleh masyarakat tidak digunakan untuk berkampanye.
Untuk menjaga pegawai ASN supaya tidak terlibat aktif dalam kegiatan politik, maka dibuatlah kode etik profesi (code of conduct). Usaha ini digunakan untuk memberikan pembatas bahkan bisa memberikan sanksi kepada seluruh ASN untuk tetap berjalan sesuai koridor aturan perundang-undangan.
Bicara mengenai keprofesian, juga memiliki panduan pokok dalam melakukan aktifitas kerjanya, seperti kode etik dan kode perilaku. Dua hal ini memiliki pengertian yang berbeda, namun dalam pelaksanannya dilakukan secara bersamaan.
Pengertian kode etik adalah aturan yang tertulis yang berdasarkan prinsip moralitas yang bertujuan untuk memberikan sanksi bagi pelanggar hukum. Persoalan kode etik ini memiliki sifat yang bias atau abstrak, sehingga kesulitan untuk mengindentifikasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai ASN.
Namun di samping itu, pentingnya kode etik adalah bertujuan untuk membentuk moralitas pegawai ASN yang sesuai dengan undang-undang kepegawaian. Sedangkan kode perilaku ialah aturan yang menjelaskan tentang perilaku pegawai ASN. Perilaku yang dimaksud adalah aktifitas pegawai antara yang diperbolehkan dan dilarang oleh undang-undang.
Dalam pelaksanaanya, kode perilaku dapat mendorong lingkungan kerja yang sehat serta membuat lembaga negara memiliki kapabilitas. Dengan demikian, pegawai tidak perlu khawatir dalam melaksanakan tugas, karena secara langsung dirinya dapat memproteksi untuk tidak melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku.
Kode etik dan kode perilaku merupakan kombinasi dalam seperangkat aturan yang wajib dilaksanakan pegawai ASN. Dalam fenomena kontestasi politik pemilihan umum 2024, UU No. 5 Tahun 2014 pasal 2 secara terang menyebutkan asas Netralitas, yang ditafsirkan didalam pasal 2 huruf F yang berbunyi:
“Bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun”. Penafsiran Undang-undnag tersebut diperjelas didalam Surat Keputusan Besar (SKB) No. 2 Tahun 2022, yang menyebutkan poin larangan pegawai dan ASN untuk:
- Memasang spanduk/baliho/ alat peraga bakal calon peserta pemilu
- Sosialisasi/kampanye media
- Menghadiri deklarasi/kampanye bakal calon peserta pemilu
- Membuat posting, comment, share, like follow dalam grup/akun pemenangan bakal calon peserta pemilu
- Memposting pada media sosial/media lain yang bisa diakses publik
- Ikut dalam kegiatan kampanye/sosialisasi bakal calon peserta pemilu
Perkara Netralitas wajib kita awasi bersama menjelang Pemilihan Umum 2024, laporkan segera kepada pihak lembaga yang berwajib. Jangan sampai pemilu tahun ini sengaja dirusak oleh oknum yang tidak bertanggungjawab dengan sengaja memenangkan calon kandidat tertentu.
*Heru Saputro adalah Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ponorogo,
Catatan Redaksi:
Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi kabartrenggalek.com.