KBRT - Stres merupakan kondisi yang sangat normal dan pernah dialami semua orang. Seperti apa respons seseorang terhadap stres membentuk keadaan saat ini, entah tangguh atau rapuh, pesimistis atau optimistis.
Stresor atau penyebab stres berasal dari peristiwa yang netral. Respons terhadap stresor tersebutlah yang membuatnya bermakna.
Stres dapat mengakibatkan beberapa gangguan terhadap kesehatan seperti gangguan terhadap pencernaan yang disebabkan oleh pola makan tidak teratur akibat stres yang dirasakan.
Ada dua jenis stres yang dikenal dalam literatur psikologi dilansir dari buku Loving the Wounded Soul karya Regis Machdy yaitu eustress dan distress.
Eustress adalah ketika stres yang kita terima membuat diri menjadi lebih tangguh, dewasa, dan ahli dalam sesuatu.
Sedangkan distress adalah stres negatif yang menyebabkan kita sedih dan merasa tidak berdaya. Sedangkan distress membuat kita tidak bisa berfungsi seperti biasanya.
Jika bisa menganggap semua stressor sebagai tantangan yang mendewasakan, tentu saja hidup akan terasa menyenangkan. Namun, jika menerima stressor sebagai distress yang tak kunjung henti, itu akan menciptakan sebuah kondisi bernama stres kronis (chronic stress) yang membahayakan diri kita.
Stres Kronis dan Kortisol
Bila menyelisik apa yang terjadi pada tubuh manusia saat stres, kita harus mengenal kortisol. Kortisol merupakan hormon yang aktif ketika seseorang mengalami stres.
Jadi, kortisol dalam tubuh akan meningkat saat mengalami stres. Pada umumnya manusia memiliki dua respons dalam menghadapi tantangan, yakni respons melawan (fight) atau kabur (flight).
Keluarnya hormon kortisol melalui kelenjar adrenal merupakan bagian dari mekanisme respons tersebut. Mekanisme fight or flight merupakan hal yang sangat alami ketika manusia berada pada zaman prasejarah, di mana ancamannya adalah hewan buas atau cuaca ekstrem seperti badai.
Ketika terancam, kortisol akan menyiapkan glukosa berlebih di dalam tubuh sebagai energi untuk melawan (fight) atau berlari dari hewan buas (flight).
Untuk siap “berperang”, hormon adrenalin juga akan menyiapkan tubuh dengan memberikan efek seperti tekanan darah naik, jantung berdegup kencang, nafas semakin cepat, pupil mata membesar untuk berfokus pada lawan, serta otot-otot kaki dan tangan mengencang untuk bersiap lari atau melawan.
Selanjutnya, dalam sepersekian detik, manusia itu akan memilih salah satu respons yang sesuai dengan kapasitas dirinya (apakah ia ahli berlari atau ahli menyerang).
Baik fight maupun flight akan meningkatkan kadar kortisol dalam tubuh. Jika memilih untuk kabur dan berhasil, kortisol dalam tubuh akan menurun ketika ia sudah merasa aman.
Begitu juga ketika ia melawan dan berhasil membunuh hewan buas tersebut, kadar kortisol akan turun, kemudian muncul hormon serotonin di otak yang mengindikasikan perasaan bangga dan senang.
Berbeda dengan manusia prasejarah yang ancaman hidupnya terbatas, manusia modern seperti kita memiliki ancaman yang tidak terbatas. Bukan lagi hewan buas dan cuaca, ancaman itu menjadi cicilan rumah, ujian akhir, dosen killer, bos penuh kritik, teman tukang nyinyir, rekan kerja tukang gosip, orang tua yang suka mengatur, dan sebagainya.
Jangankan berinteraksi dengan mereka, membayangkan wajahnya saja sudah membuat kortisol di tubuh kita meningkat. Inilah yang menyebabkan manusia modern seperti rasanya selalu stres. Kortisol dalam tubuh kita selalu dalam keadaan tinggi.
Jika dibiarkan terlalu lama, stres ini dapat menjadi stres kronis hingga akhirnya berkembang menjadi berbagai gangguan kesehatan seperti migrain, sakit dan kaku di sekujur tubuh, bahkan penyakit yang berkaitan dengan jantung dan pembuluh darah (cardiovascular disease) serta gangguan mental yang lebih berat, seperti depresi.
Kabar Trenggalek - Edukasi
Editor:Danu S