Musim hujan mulai datang di Trenggalek, mengakhiri periode panjang kekeringan yang melanda wilayah tersebut sejak Agustus 2024. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Trenggalek mencatat, pada puncak kekeringan 16 Oktober 2024, sebanyak 34.623 jiwa dari 14.296 kepala keluarga (KK) terdampak kekurangan air bersih.
Stefanus Triadi Atmono, Kepala Pelaksana BPBD Trenggalek, menyatakan bahwa kekeringan tahun ini lebih parah dibandingkan 2023.
"Wilayah terdampak meningkat dari 56 desa pada 2023 menjadi 66 desa di 2024. Kekeringan telah menyebar secara merata di seluruh 14 kecamatan," ungkapnya.
Baca: Kekeringan Merata di Trenggalek, 14 Kecamatan Kesulitan Air Bersih
Namun, sejak 19 Oktober 2024, Trenggalek mulai diguyur hujan dengan intensitas tinggi. Meski tidak terjadi setiap hari, hujan membawa dampak lain berupa tanah longsor dan banjir di empat kecamatan. Hingga kini, 23 rumah dilaporkan rusak akibat longsor.
Banjir, Longsor dan Korban Jiwa
Bencana akibat hujan bulan November turut merenggut nyawa Riska Lutviana Dewi (26), warga Desa Karangsoko. Ia meninggal dunia pada 11 November 2024, saat tertimpa pohon tumbang di Jalan Nasional Tulungagung-Trenggalek. Kejadian ini berlangsung saat Riska hendak menjemput keponakannya yang sedang mengikuti les.
Baca: Hendak Jemput Keponakan, Warga Karangsoko Tewas Tertimpa Pohon Roboh
Hujan deras disertai angin kencang menyebabkan tumbangnya pohon besar yang berada di bawah kewenangan Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN). Ketua Komisi III DPRD Trenggalek, Wahyudi Anto, menjelaskan bahwa pemerintah kabupaten tidak memiliki otoritas langsung untuk melakukan peremajaan atau pemangkasan pohon di jalan tersebut.
"Pemkab tidak bisa serta-merta melakukan penebangan atau peremajaan karena ini kewenangan BPJN," katanya, 15 November 2024.
Peristiwa ini menekankan perlunya langkah antisipasi dari pemerintah dalam menghadapi musim penghujan. Pemangkasan pohon dan pembersihan saluran air seharusnya menjadi bagian dari mitigasi bencana.
Trenggalek, yang dibranding sebagai The Southern Paradise (Surga dari Selatan) kembali menghidupkan adagium lama: "Musim kemarau kekeringan, musim hujan kebanjiran." Meski masalah ini telah terjadi selama puluhan tahun dan melibatkan banyak pergantian kepemimpinan, upaya menyelesaikan persoalan ini masih menjadi pekerjaan rumah besar.