Film Dokumenter sebagai Potret Eksistensi Jaranan Pegon Trenggalek
Eksistensi jaranan pegon asal Kabupaten Trenggalek terekam apik dalam film Dokumenter berjudul Pegon Trenggalek. Film yang berdurasi 20 menit ini sempat diputar dalam agenda Srawung Sinema Layar Bawah Bukit, Sabtu (30/12/23). Film garapan anak muda Trenggalek, Kurnia Septa Erwida, ini berangkat dari ketertarikannya pada kerja kebudayaan.Menurut Septa, lingkungan sangat berpengaruh pada apa yang menjadi konsentrasinya hari ini. Berdomisili di Desa Wonoanti, Kecamatan Gandusari, sejak kecil Septa sudah terbiasa dengan lingkungan kebudayaan.“Itu memicu saya untuk tetap konsisten terhadap apa yang sudah saya pelajari selama ini. Agar eksistensinya tetap ada, maka saya yang harus meneruskan kerja kebudayaan. Jadi semacam amanah,” ujar Septa.Septa juga menceritakan mengenai konsistensi seniman jaranan pegon. Semenjak awal ditemukan format pegon hingga hari ini, semangat pentasnya tetap sama.“Pegon itu ada atau tidak tanggapan mereka tetap pentas, cara mereka mempertahankan eksistensi karena memang suka,” kata septa.Ia menyinggung mengenai nilai moral yang tersirat dalam jaranan pegon. Menurut Septa, dalam pegon justru menampilkan sikap ksatria yang muncul dari tokoh yang biasa dianggap antagonis. Padahal, dalam pentas jaranan asal Trenggalek yang lain, turangga yaksa, barongan memiliki sifat yang jahat.“Nilai moralnya aja nilai uwong saka rupa [jangan menilai orang dari rupa], saya ambil dari tokoh barongan yang sering dikonotasikan sebagai sesuatu yang jahat, angkara murka. Di pegon ternyata dia barongan yang baik. Dia hanya ingin kembali ngabekti [berbakti] kepada orang tuanya,” terang Septa.Dalam film dokumenter ini, Septa bekerja secara kolektif bersama Kabul Cultural Space (KCS). Ia merasa tak ada kesulitan yang berarti selama mengerjakan film dokumenter ini.“Mungkin seperti masalah komunikasi, ya, karena Mbah Darmin [pegiat jaranan pegon] beliau nggak punya handphone, nggak punya whatsapp. Jadi kalau mau shooting harus sowan ke rumahnya,” tutur laki-laki yang berprofesi sebagai pengajar di SMAN 1 Durenan.Septa melihat bahwa jaranan pegon itu tersebar di mana-mana, namun di Trenggalek jaranan pegon memiliki karakteristik tersendiri. Menurutnya ada muatan bahwa konsistensi seniman itu lahir dari hati. Terbukti bahwa pegiat jaranan pegon yang konsisten itu banyak yang sudah berusia lanjut.“Harusnya dengan semangat itu jadi pedoman kawula muda, yang tua saja semangatnya bukan main. Apalagi kita yang muda masih punya energi ekstra, harusnya mampu mempertahankan dan mengembangkan,” ujar Septa.Sebagai kawula muda Trenggalek, septa berpendapat bahwa ekosistem perfilman di Trenggalek masih dalam tahap berkembang.“Mulai dari ekosistem penikmatnya, kemarin kita coba banyak yang minat. Teman-teman ini ada beberapa yang sudah mulai produksi, cuma mereka bingung gimana agar dapat apresiasi dan malu-malu. Jadi punya karya tapi ndak mau ditayangkan,” ujar septa.Ia juga berharap pasca rilisnya film pegon trenggalek bisa makin dikenal dan jadi bahan pemantik diskusi lanjutan. Septa berharap melalui panel-panel kecil diskusi bisa menumbuhkan ekosistem perfilman, karena di Trenggalek sendiri materi menyoal lokalitas masih sangat banyak.“Tidak usah ragu-ragu karena masih banyak apresiator yang menunggu film-film lokal. Untuk menjaga eksistensi, kalau bisa tetap mengangkat lokal daerah, poin-poinnya harus disampaikan. Setiap budaya pasti punya poin penting tentang kehidupan yang bisa di angkat [menjadi film],” tukas Septa.
Kabar Trenggalek Hadir di WhatsApp Channel Follow