Di sebuah sudut kafe sederhana di Munjungan, aroma kopi robusta yang menguar berpadu dengan alunan musik akustik. Sore itu, bukan sekadar dentingan gitar yang mengiringi obrolan pengunjung kafe, tetapi juga diskusi serius tentang masa depan Trenggalek. Meski diselimuti santai, ada yang lebih dari sekadar kopi di balik cangkir-cangkir yang berderet rapi di meja. Ini adalah tentang Pilkada 2024, tentang siapa yang akan memegang kemudi di masa depan.
Acara dibuka dengan sambutan ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Samsul Huda. Sebagai tuan rumah, ia menyampaikan pentingnya pemahaman tentang tahapan Pilkada. Mungkin terdengar formal, tapi ia berhasil menyuntikkan kehangatan pada setiap kalimat yang disampaikan. Baginya, suara dari setiap warga yang sudah memiliki hak pilih—dari yang berusia 17 tahun hingga purnawirawan—adalah kunci demokrasi. Bahkan, ia mengingatkan bahwa satu suara, tak peduli dari mana datangnya, bisa menjadi penentu siapa yang akan memimpin Trenggalek ke depan.
Namun, yang menarik bukan hanya soal seremonial dan jargon demokrasi yang biasa kita dengar. Huda mengupas lebih dalam tentang bagaimana sebenarnya peran pemilih, terutama pemilih pemula. Generasi muda, yang baru pertama kali memiliki kesempatan menggunakan hak pilih, menjadi sorotan utama. Mereka adalah sasaran strategis. "Karena setiap tahun, jumlah mereka terus bertambah, dan merekalah penerus bangsa," katanya dengan penuh harap. Harapannya jelas, generasi ini tak hanya menjadi penonton, tetapi juga pemain aktif dalam panggung politik.
Lalu, seperti di kebanyakan obrolan politik yang santai tapi berisi, pembicaraan bergerak ke tipe-tipe pemilih. Di sinilah letak kecerdasannya. Alih-alih menghakimi, Samsul memberikan pemetaan yang menarik. Ada pemilih emosional, yang katanya mudah terbakar isu agama dan identitas, selalu aktif di depan layar gawai, sering kali terlalu cepat bereaksi tanpa berpikir panjang. Ada pula pemilih rasional-emosional, kelompok yang lebih diam, suka mengamati, dan membutuhkan waktu untuk mencerna isu. Mereka mungkin bukan yang paling berisik, tapi jangan salah, pendapat mereka tetap tajam ketika bicara.
Namun, puncak dari semuanya adalah pemilih rasional. Tipikal yang didambakan setiap politisi. Mereka yang mengesampingkan emosi dalam menentukan pilihan, lebih melihat program kerja ketimbang janji-janji muluk. Huda seakan ingin mengatakan, “Pemilih yang seperti inilah yang kita butuhkan untuk masa depan.”
Di tengah-tengah diskusi yang semakin hangat, hadir pula Imam Nurhadi, komisioner KPU Trenggalek. Beliau menyampaikan materi mengenai kategori daftar pemilih yang mungkin terdengar teknis, namun penting untuk dipahami. Mulai dari Daftar Pemilih Tetap (DPT), Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), hingga Daftar Pemilih Khusus (DPK) yang sering kali menjadi perhatian dalam setiap pemilihan. Ada sedikit perbedaan makna dari pemilu dengan pilkada mengenai kategori pemilih. DPT "Daftar Pemilih Tetap" tidak ada perbedaan makna, namun pada DPTb dan DPK ada sedikit improvisasi. DPTb yang dulunya daftar Pemilih Tambahan sekarang menjadi "Daftar Pemilih Pindahan" lalu DPK jika dulu Daftar Pemilih Khususu, sekarang istilahnya diganti menjadi Daftar Pemilih Tambahan. Penjelasan Imam ini menambah bobot acara, seolah-olah memberikan struktur yang lebih rapi di tengah suasana yang gayeng. Kehadirannya semakin membuat diskusi malam itu terasa lengkap—tak hanya soal pilihan politik, tapi juga soal hak dan prosedur yang melekat pada setiap warga negara.
Acara berjalan lancar. Diskusi berlanjut ke sesi tanya jawab, dengan antusiasme pengunjung yang tampak nyata. Tak hanya sekadar mendengar, mereka juga terlibat aktif, memancing pertanyaan, dan bahkan memenangkan doorprize karena keberanian bertanya—cara sederhana tapi efektif untuk membuat diskusi semakin hidup. Dan setelah semua pembahasan yang berat tadi, penampilan musik dari "Musickita" menutup acara dengan ringan. Sebuah perpaduan antara pendidikan demokrasi dan hiburan, menciptakan suasana yang pas: santai, tapi tetap penuh makna.
Malam itu, Munjungan tak hanya menjadi saksi bagi mereka yang bersiap mencoblos pada 27 November mendatang, tetapi juga bagi mereka yang mulai menyadari bahwa satu suara bisa mengubah segalanya.