KBRT - Musim kemarau tahun 2025 di Kabupaten Trenggalek tidak berlangsung seperti biasanya. Hujan masih kerap turun hingga akhir Juli, yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai fenomena kemarau basah.
Secara umum, musim kemarau identik dengan intensitas hujan yang sangat rendah, bahkan tanpa hujan sama sekali. Namun, di Trenggalek, hujan tetap turun secara periodik.
“Dari Pranatamangsa, dapat dijelaskan bahwa ketidaknormalan ini terjadi karena beberapa sebab, seperti peredaran semu matahari, posisi bulan, hingga siklus tahunan,” ujar Hernawan Widyatmiko, penulis buku Memahami Pranatamangsa.
Hernawan, atau yang akrab disapa Pak Henk, menjelaskan bahwa Pranatamangsa merupakan ilmu pengetahuan berbasis musim dan tanda-tanda alam, yang dijabarkan secara empirik dan dapat disejajarkan dengan ilmu klimatologi.
Ia menyebutkan, salah satu penyebab utama fenomena kemarau basah adalah posisi bumi yang sedang mengalami Aphelion, yaitu ketika bumi berada di titik terjauh dari matahari.
Hal ini bertepatan dengan peredaran semu matahari yang menyebabkan Pulau Jawa, khususnya bagian selatan, menerima sedikit sinar matahari.
“Matahari sinarnya berhadapan langsung dengan belahan bumi utara, menyebabkan Pulau Jawa seakan-akan hanya sedikit mendapatkan sinar matahari,” jelasnya.
Fenomena ini berdampak pada kondisi dingin yang biasa dikenal masyarakat sebagai bediding. Menurut Hernawan, kondisi ini sudah dijelaskan dalam Pranatamangsa sebagai bagian dari siklus alamiah sejak 22 Juni hingga 1 Agustus, yang dikenal sebagai mangsa siji.
Keterangan ini, kata Hernawan, telah tertulis dalam primbon kraton dan merupakan hasil pengamatan masyarakat Jawa ribuan tahun lalu. Pada masa ini, para petani biasanya dianjurkan menanam palawija.
Hernawan juga menjelaskan, hujan yang masih turun dipengaruhi oleh posisi bulan yang berada di selatan saat bulan Suro. Posisi ini menyebabkan air laut di pesisir selatan naik pasang, apalagi saat bulan purnama.
“Air laut yang pasang karena ditarik gravitasi bulan bisa menjadi mendung dan menurunkan hujan di wilayah pesisir selatan, termasuk Trenggalek,” tambahnya.
Selain itu, dalam Pranatamangsa terdapat sistem penanggalan mingguan yang disebut Pawukon atau Wuku, yang masih digunakan dalam kalender Jawa dan Bali. Di bulan Juli ini, Wuku yang berlaku adalah Uye dan Menahil, yang keduanya mengindikasikan kemungkinan turunnya hujan.
“Wuku dibuat oleh nenek moyang kita berdasarkan pengamatan cuaca setiap minggunya. Setiap Wuku punya makna dan pola iklim masing-masing,” terangnya.
Meski demikian, Hernawan menekankan bahwa Pranatamangsa bukanlah ramalan, melainkan sistem pengetahuan lokal yang merekam pola musim secara turun-temurun.
Ia memperkirakan fenomena kemarau basah akan mulai berakhir pada minggu kedua atau ketiga Agustus.
“Pada tanggal 17–23 Agustus, yang merupakan minggu ketiga, Wukunya adalah Dukut dan selanjutnya Watugunung, yang berarti hujan sudah mulai jarang turun,” jelasnya.
Hernawan menutup penjelasannya dengan menegaskan bahwa Pranatamangsa bukan untuk memastikan musim, tapi menjadi pedoman bagi manusia untuk bersikap dan mengambil keputusan berdasarkan siklus alam.
“Pranatamangsa bukan menentukan musim, tetapi ia adalah panduan perilaku manusia supaya bersandar pada musim,” tutupnya.
Kabar Trenggalek - Peristiwa
Editor:Zamz