Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

My Account
ADVERTISEMENT
Fighter 2024

Apakah Perilaku Sopan Bisa Meringankan Hukuman? Berikut Penjelasannya

Persidangan di pengadilan bertujuan untuk menegakkan keadilan, terutama bagi korban yang mengalami kerugian. Namun, sering kali terdengar bahwa ada sejumlah alasan yang bisa meringankan hukuman terdakwa. Salah satunya adalah perilaku sopan terdakwa selama persidangan. Apakah benar berperilaku sopan dapat meringankan hukuman?

Praktisi hukum, Abraham Ethan Martupa Sahat Marune, melalui akun TikTok-nya menyatakan bahwa dalam sistem hukum, perilaku sopan tidak termasuk sebagai alasan yang secara resmi meringankan hukuman. 

"Yang diatur sebagai alasan peringanan adalah hal-hal yang telah tercantum dalam pasal 53 KUHP terkait percobaan," jelas Abraham.

Adapun pasal tersebut mencakup tiga poin; Pertama, Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.

Kedua, Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga. Ketiga, jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau seumur hidup, dijatuhkan pidana paling lama lima belas tahun.

Selain itu, Pasal 57 KUHP menyebutkan alasan peringan terkait “pembantuan,” yang berarti terdakwa sengaja memberikan kemudahan atau bantuan dalam suatu tindak kejahatan. Pada Pasal 45 KUHP, disebutkan bahwa alasan peringanan berlaku untuk mereka yang masih di bawah umur atau belum dewasa.

Abraham juga menegaskan bahwa perilaku sopan tidak dikenal dalam hukum sebagai alasan untuk keringanan hukuman. Meski demikian, hakim memiliki kebebasan untuk memberikan keringanan pada terdakwa berdasarkan pertimbangan tertentu. 

"Hakim harus mengacu pada Pasal 8 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman," jelasnya.

Pada ayat 2 UU tersebut, dijelaskan bahwa dalam memutuskan perkara, hakim harus memperhatikan sifat baik atau jahat dari terdakwa, memberikan ruang bagi hakim dalam mempertimbangkan kepribadian terdakwa dalam putusan akhir. 

Selain itu, Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 menegaskan bahwa putusan pengadilan harus mencakup alasan, dasar, dan pasal dari peraturan yang berlaku, termasuk hukum tidak tertulis sebagai dasar pertimbangan hakim.

"Jadi memang hakim itu tidak harus mengikuti hukum normatif yang berlaku di Indonesia," tuturnya.

Abraham pun menambahkan bahwa ia tidak setuju jika alasan sopan dijadikan dasar pengurangan hukuman. 

"Bersikap sopan sudah menjadi kewajiban dalam persidangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 218 KUHAP," tegasnya.