Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Pencabulan di Ponpes Trenggalek, Orang Tua Perlu Mewaspadai Relasi Kuasa Kiai ke Santri

Kasus pencabulan di salah satu pondok pesantren di Kecamatan Karangan, Kabupaten Trenggalek, menjadi sorotan masyarakat dalam beberapa hari terakhir. Sebab, tersangka Kiai M (77) dan Gus F (37), mencabuli 12 santriwati sejak 2021.Kedua tersangka kini ditahan oleh Polres Trenggalek serta terjerat pasal berlapis dari UU Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, hingga KUHP. Kasus ini menjadi pengingat bagi masyarakat akan pentingnya pencegahan kekerasan seksual di pondok pesantren.Tsamrotul Ayu Masruroh, aktivis Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (ForMujeres), menyoroti pentingnya masyarakat untuk mewaspadai adanya fenomena relasi kuasa antara kiai maupun gus kepada para santri. Sebab, relasi kuasa itu berpotensi menjadikan santri sebagai sasaran tindakan bejat."Relasi kuasa kiai ini sangat besar sekali dalam dunia pesantren. Seorang kiai sering kali dianggap sebagai orang yang mutlak benar, sempurna, mustahil bisa berbuat salah, dianggap suci sebagai penerus para nabi, wali, dan para ulama besar terdahulu," ujar Ayu.Ayu mengatakan, keberadaan kiai sangat dihormati oleh santri. Sehingga seorang santri sering kali tidak berani mendebat, menyanggah atau bahkan bertanya saja tidak berani. Seorang santri sering kali patuh, taat dan taklid buta (menerima tanpa berfikir) dengan segala hal disampaikan oleh kiai."Relasi kuasa ini jika seorang kiai tersebut mempunyai integritas moral yang baik itu tentu tidak ada masalah. Tapi jika kiai tersebut tidak mempunyai integritas moral yang baik, kiai bisa dengan mudah memanfaatkan relasi kuasanya untuk menjadikan para santri sebagai budak seksual, korban kekerasan seksual dan berbagai korban kekerasan lainnya," jelas Ayu.Oleh karena itu, Ayu menekankan pentingnya peran orang tua dalam mewaspadai adanya fenomena relasi kuasa kiai maupun gus kepada santri. Menurut Ayu, orang tua harus turut memantau kondisi anaknya dan tidak menyerahkan sepenuhnya kepada pondok pesantren."Sebisa mungkin orang tua atau wali santri yang sedang menitipkan anaknya di pesantren, itu jangan memasrahkan selurihnya dan asal dititipkan. Tapi harus mengontrol bagaimana kondisi anaknya, kabarnya, sudah belajar apa. Itu penting dilakukan oleh orang tua yang akan atau sudah menitipkan anaknya di pesantren," terang Ayu.Dalam beberapa kasus yang diamati Ayu, mayoritas masyarakat memiliki memiliki kepercayaan tinggi kepada kiai. Bahkan, ada kasus dengan orang tua yang kepercayaan kepada anaknya lebih kecil daripada kiai. Sehingga, anak kurang memiliki keberanian untuk menceritakan kekerasan seksual yang ia alami."Orang tua atau siapapun harus bisa mengakui bahwa kasus kekerasan seksual dan kasus lainnya di pesantren itu memang benar-benar ada. Dari situ, siapapun juga bisa berpikir bahwa semua manusia itu punya potensi menjadi baik dan potensi menjadi buruk," ucap Ayu.Ayu menyampaikan, dalam Al-Qur'an menyebutkan "Fa alhama fujuraha wa taqwaha.” Artinya: bahwa kami atau diilhamkan kepada jiwa manusia adalah fuju dan taqwa. Fuju adalah potensi buruk dan taqwa adalah potensi baik."Dengan kesadaran itu, orang tua tidak akan percaya sepenuhnya atau berlebihan kepada kiai, bahwa kiai itu mutlak benar dan mustahil salah. Itu tidak akan terjadi sampai segitunya," kata Ayu.Selain itu, Ayu menekankan supaya orang tua terlibat untuk memantau bahwa pondok pesantren itu mempunyai peraturan yang jelas dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama."Pihak pesantren harus berani mengakui bahwa kasus KS di pesantren ini jumlah kasusnya sangat banyak sekali, dengan hal ini pesantren tidak boleh diam, tutup mata apalagi tidak peduli dengan kasus KS di pesantren," ujarnya.Ayu mengatakan, sebisa mungkin pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan bisa turut berdakwah menyuarakan dan menjadi garda depan dalam pencegahan kasus kekerasan seksual di pesantren atau berbagai tempat lainnya."Hal ini sesuai dengan kaidah fikih 'mencegah keburukan itu lebih diutamakan dari pada berbuat kemaslahatan'", ucapnya.Menurut Ayu, pesantren sebagai lembaga pendidikan pencetak calon ulama harus punya kesadaran dan juga bisa memberikan pendidikan kepada semua santri bahwa semua manusia itu diciptakan oleh Allah setara."Semua manusia punya potensi yang sama, bisa menjadi seorang manusia yang baik dan bisa menjadi seorang manusia yang biadab, bisa menjadi pelaku dan bisa menjadi korban kekerasan seksual dan berbagai kekerasan lainnya.Ayu menyampaikan, pihak pesantren harus mempunyai standar operasional prosedur terkait penanganan kekerasan seksual. Serta, menerapkan SOP tersebut tanpa tebang pilih, untuk menangani kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh otoritas pesantren maupun santri."Dengan demikian pesantren bisa menjadi ruang aman bebas kekerasan seksual," tandas Ayu.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *