KBRT - Meski bukan sebuah acara mewah, Tedak Siten tetap menjadi momen penuh makna dan keceriaan di tengah keluarga. Tradisi turun tanah bayi ini masih dijaga oleh masyarakat Trenggalek sebagai bagian dari budaya yang sarat nilai.
Shella Dwi Ardanisa (24), seorang ibu muda asal Desa Sukorame, menggelar Tedak Siten untuk anak pertamanya yang menginjak usia tujuh bulan pada Jumat, 10 April 2025.
“Tedak Siten dilakukan dengan doa bersama dan beberapa rangkaian acara, seperti menginjakkan kaki bayi ke berbagai jenis jenang yang menggambarkan perjalanan hidup yang penuh suka dan duka,” ujar Shella.
Shella bercerita bahwa kebanyakan Tedak Siten di daerahnya biasanya dilaksanakan secara sederhana. Biasanya cukup dengan doa bersama, membagikan lodho, dan menyentuhkan kaki bayi ke tanah.
Namun, Shella memilih menyelenggarakan Tedak Siten secara lengkap untuk anaknya. Ia berharap, lewat tradisi ini, anaknya kelak tumbuh menjadi pribadi yang berguna dan berbakti kepada orang tua.
“Meski persiapannya cukup merepotkan, seperti mendekor ruangan dan menyiapkan barang-barang yang harus ada, untungnya saya dibantu beberapa keponakan. Walau begitu, semua baru selesai larut malam,” imbuhnya.
Prosesi dimulai dengan doa bersama yang diikuti oleh para tetangga. Kemudian, bayi dimandikan dengan air kembang setaman sebagai simbol pembersihan dan penyucian diri. Setelah itu, sang bayi diajak menginjak tujuh jenis jenang berwarna, lalu menaiki tujuh anak tangga dari batang tebu.
Menurut Shella, tujuh jenang itu melambangkan keragaman hidup, sementara tujuh anak tangga menggambarkan proses pendewasaan dan langkah-langkah hidup yang akan ditempuh si kecil.
“Rencana saya, pada prosesi acara akan mengundang anak-anak kecil di sekitar rumah. Saya juga sudah menyiapkan banyak balon untuk dibagikan, tapi tidak jadi karena sekolah sudah mulai masuk,” tandasnya.
Acara tetap berjalan meski bayi Shella sedang kurang sehat. Ia memutuskan untuk melanjutkan tanpa menunggu anak-anak undangan datang.
Di akhir prosesi, bayi dimasukkan ke dalam sangkar ayam bersama seekor ayam kecil. Walau tidak mengetahui makna filosofis dari simbol tersebut, momen itu menjadi pusat perhatian karena ayam tiba-tiba buang kotoran di dalam sangkar.
“Akhirnya neneknya yang masuk menemani anak saya di dalam sangkar agar tidak menangis. Ya, hebohnya malah di situ,” pungkas Shella sambil tertawa.
Tradisi Tedak Siten, dengan segala kerepotannya, tetap menyimpan kehangatan dan harapan. Di balik kesederhanaan, tersimpan nilai cinta keluarga dan warisan budaya yang dijaga dengan sepenuh hati.
Kabar Trenggalek - Sosial
Editor:Zamz