KBRT – Dengan perlahan dan penuh kehati-hatian, sepasang tangan renta merangkai bilah bambu menjadi caping. Meski usia tak lagi muda, Imam Makruf (80) dan Sumilah (70), pasangan lansia asal Dusun Krebet, Desa Wonoanti, Kecamatan Gandusari, tetap tekun menekuni kerajinan caping sebagai penghidupan harian mereka.
Caping-caping buatan tangan mereka menjadi pelindung kepala bagi para petani dari panas dan hujan. Meski tubuh tak lagi bertenaga, semangat mereka tetap menyala, apalagi hasil jerih payah itu digunakan untuk membantu ekonomi anak semata wayangnya yang kini merawat mereka.
“Dulu dari awal saya datang ke desa ini, mbah kakung (suami) sudah mulai membuat caping. Ya selanjutnya saya ikut membuat dan berjualan caping bersama mbah kakung di beberapa pasar Trenggalek dengan mengayuh sepeda,” ujar Sumilah.
Kini, Sumilah harus lebih banyak mengurus pekerjaan seorang diri. Suaminya, Imam Makruf, mengalami penurunan pendengaran sejak dua tahun terakhir. Meski demikian, ia tetap bersikeras membantu sebisa mungkin.
“Sejak dua tahun yang lalu, pendengarannya sudah mulai memburuk. Awalnya mbah kakung masih bisa membuat bilahan bambu sendiri, tetapi sekarang sudah tidak bisa. Saya pun telah mengalami katarak, namun karena tidak berani dioperasi sampai sekarang penyakit ini saya biarkan,” ungkapnya.

Ia mengenang masa saat dirinya dan suami sempat merantau ke Kalimantan Tengah untuk berdagang bakso. Namun, konflik sosial di Sampit membuat mereka kembali ke Jawa dan melanjutkan usaha caping yang sudah mereka tekuni sejak lama.
“Saat masih berjualan saya bersama mbah kakung berangkat jam 4 pagi dengan bersepeda menuju pasar. Sekarang caping buatan kami diambil dan dijual kembali oleh tetangga kami,” imbuhnya.
Dalam sehari, pasangan ini mampu menyelesaikan tiga hingga lima caping. Setiap caping dijual dengan harga Rp11.000. Mereka menggunakan bahan khusus bernama manon alas sebagai pengikat tepi caping, yang menjadikannya lebih awet dibandingkan caping berbahan tali rafia.
“Manon alas ini kegunaannya mirip seperti rotan, ulet dan tahan air. Sekarang mendapatkannya juga lumayan susah, untuk 100 helai manon sepanjang 1,5 meter berharga Rp30.000,” bebernya.
Meski demikian, biaya produksi tetap menjadi beban. Untuk memotong bambu menjadi bilah, mereka harus membayar Rp75.000 untuk setiap batang bambu yang dibeli seharga Rp50.000.
“Sekarang mbah kakung sudah tidak bisa membuat bilahan sendiri. Ya asalkan bisa membantu ekonomi anak saya yang kerja serabutan, karena dari dulu kami memang tidak mempunyai sawah,” pungkas Sumilah.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Zamz