KBRT - Di balik tumpukan kain perca sisa limbah konveksi di Trenggalek, tersembunyi potensi ekonomi yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Limbah kain yang bagi sebagian orang dianggap sampah, di tangan Budi Susanto, justru disulap menjadi barang bernilai jual seperti keset, lampin, dan serbet.
Budi, warga Dusun Njosari, Desa Surodakan, Trenggalek, bersama istrinya sudah belasan tahun menggeluti usaha menjahit kain perca menjadi barang rumah tangga yang lebih berguna.
“Kain perca yang lebar bisa saya jadikan celana pendek, kalau yang kecil bisa jadi lampin dan keset,” ujar Budi saat ditemui.
Ia mendapatkan bahan baku dari sejumlah pemilik konveksi di Trenggalek, salah satunya dari Bu Biin, penjahit asal Desa Buluagung, Kecamatan Karangan. Budi mengatakan sering memperoleh kain perca secara cuma-cuma dari para penjahit tersebut.
Namun, menurutnya, hanya segelintir pihak di Trenggalek yang benar-benar memanfaatkan limbah kain perca secara serius. Ia menyebut hanya mengetahui tiga tempat di Trenggalek yang fokus mendaur ulang kain perca.
“Dulu saya pernah menggerakkan ibu-ibu penjahit untuk ikut bersama saya menjahit kain perca, tetapi tidak ada yang mau. Katanya uang yang dihasilkan sangat sedikit,” ungkapnya.
Ia mengingatkan, pada saat itu upah kuli bangunan masih Rp 75.000 per hari, sementara menjahit kain perca di rumah bisa menghasilkan Rp 20.000 lebih per hari, tergantung ketelatenan. Menurut Budi, meskipun kecil, penghasilan itu tetap bisa membantu ekonomi rumah tangga.
Budi mencontohkan, kain perca di Trenggalek justru kerap menjadi incaran pengusaha dari luar daerah. Sayangnya, di daerah asalnya, kain perca lebih sering dijual murah untuk lap bengkel.
“Sampai sekarang setiap hari saya masih buat barang dari kain perca, tetapi tidak sebanyak dulu karena pabrik-pabrik yang biasa saya setori sudah tidak menerima,” ucapnya.
Satu renteng berisi 10 lampin ia jual seharga Rp 15.000, sedangkan kain serbet dijual per kilogram seharga Rp 8.000. Ia menyayangkan banyak penjahit lulusan Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) di Trenggalek yang memilih berhenti, meski sudah mendapatkan bantuan mesin jahit dari pemerintah.
“Mesinnya cepat rusak, kualitasnya kurang bagus. Banyak yang akhirnya dibawa ke tempat servis saya,” ujarnya.
Budi juga mengenang masa awal usahanya, saat ia harus mengambil karung-karung kain perca dari tempat pembuangan sampah di Sumbergedong. Ia sempat menjajakan produknya di Alun-Alun Trenggalek, bahkan pernah dianggap merugikan pedagang lain karena menjual dengan harga murah.
Kini, hasil produksinya kerap diambil oleh pedagang dari Trenggalek dan Tulungagung. Meski akhir-akhir ini pesanan dari pedagang langganannya menurun, ia tetap berusaha menjajakan produknya sendiri.
“Kalau tidak pegang uang, saya antar ke toko-toko langganan. Alhamdulillah, masih selalu laku. Saya pernah buka lowongan buat lampin dengan upah Rp 1.000 per buah tapi tidak ada yang mau. Padahal kalau di kota lain, upahnya tidak setinggi itu,” tutupnya.
Kabar Trenggalek - Ekonomi
Editor:Zamz