Kabar Trenggalek - Pemilu Daerah 1957 menjadi titik penting dalam sejarah demokrasi Indonesia, khususnya pada tingkat lokal. Untuk pertama kalinya, rakyat memilih secara langsung wakil-wakilnya dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II. Situasi politik nasional pada dekade 1950-an ditandai dengan rivalitas empat partai besar, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), Masyumi, dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kompetisi ini tercermin pula di Jawa Timur, termasuk Kabupaten Trenggalek, sebuah wilayah agraris di pesisir selatan yang mayoritas penduduknya adalah petani.
Hasil Pemilu Daerah 1957 di Trenggalek menunjukkan komposisi kursi yang relatif berimbang. PNI meraih 11 kursi, PKI memperoleh 10 kursi, NU 6 kursi, Masyumi 6 kursi, sementara partai kecil seperti P3RI dan Permai masing-masing mendapatkan 1 kursi. Dari hasil tersebut, PNI menempati posisi terbesar, disusul PKI yang hanya terpaut satu kursi.
Ketua DPRD terpilih adalah Oemar Moechtar dari NU, tetapi fakta bahwa PKI mampu menyamai kekuatan PNI memperlihatkan peran besar partai ini dalam politik daerah. Hasil ini juga sejalan dengan tren nasional di mana PKI pasca-Pemilu 1955 terus memperluas basis elektoral, terutama melalui dukungan petani dan buruh kecil (Sonhaji & Maulida, 2020).
Daftar Isi [Show]
PKI dan Basis Sosial di Trenggalek
Kekuatan PKI di Trenggalek tidak muncul secara tiba-tiba. Sejak awal 1950-an, partai ini aktif membangun jaringan organisasi massa di pedesaan. Organisasi seperti Barisan Tani Indonesia (BTI) menjadi wadah penting dalam menggalang dukungan petani miskin dan buruh tani. Keterlibatan PKI dalam isu-isu agraria memberikan resonansi besar, mengingat Trenggalek adalah daerah pertanian di mana sengketa tanah sering terjadi. Menurut Hidayat (2023), PKI menjadikan masalah agraria sebagai strategi politik untuk memperluas pengaruh, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Selain itu, PKI juga memanfaatkan koperasi, kelompok seni rakyat, serta jaringan kader desa untuk menembus lapisan masyarakat bawah. Pola ini bukan hanya terjadi di Trenggalek, tetapi juga di berbagai wilayah lain, misalnya Sulawesi Selatan (Ahmad, 2014), di mana PKI menggunakan pendekatan serupa untuk memobilisasi massa. Dengan demikian, kekuatan PKI di Trenggalek dapat dipahami sebagai bagian dari strategi nasional partai dalam mengakar di kalangan tani.

Perubahan Struktur melalui DPRD Gotong Royong
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 merupakan momen krusial dalam sejarah politik Indonesia yang membawa perubahan fundamental dalam sistem pemerintahannya. Dekrit ini tidak hanya mengembalikan UUD 1945 sebagai konstitusi, tetapi juga membubarkan Majelis Konstituante yang sedang bekerja untuk menyusun konstitusi baru (Hati & Ginting, 2022), (Risdiarto, 2018). DPRD hasil Pemilu 1957 dibubarkan dan digantikan dengan DPRD Gotong Royong (DPRD GR).
Sebuah analisis menunjukkan bahwa langkah pembubaran DPRD tersebut adalah bagian dari usaha untuk mengonsolidasikan kekuasaan dan menstabilkan situasi politik di tengah ketidakpastian (Risdiarto, 2018). Struktur baru DPRD GR Kabupaten Trenggalek terdiri atas 32 anggota yang berasal separuh dari partai politik dan separuh dari golongan fungsional seperti ABRI, Polri, ulama, serta kelompok tani.
Dalam formasi ini, PKI memperoleh posisi yang lebih kuat. Soetomo Boedikoentjahjo, seorang kader PKI, ditunjuk sebagai Ketua DPRD GR sekaligus menjabat sebagai Bupati Trenggalek kelima (1960-1965), catatan tersebut muncul dalam arsip Wikipedia. Fenomena seorang kader PKI yang memimpin legislatif sekaligus eksekutif merupakan hal langka di tingkat kabupaten. Di bawah Soetomo, PKI berhasil menempatkan dirinya sebagai kekuatan dominan, sementara posisi wakil ketua DPRD GR diisi oleh Maryadi (PNI), Abu Sufyan (NU), SH. Ramelan (PKI), dan S.W. Pasimin (ABRI).
Posisi ini menunjukkan bahwa PKI tidak hanya sekadar memiliki kursi legislatif, tetapi juga mengendalikan pemerintahan daerah. Hal tersebut memperkuat pengaruh partai, terutama dalam kebijakan-kebijakan yang terkait dengan petani dan organisasi rakyat. Zulfikar, Saryono, & Syahri (2021) mencatat bahwa PKI sering menggunakan kesenian, khususnya karya-karya Lekra di media massa, sebagai sarana memperkuat identitas politik kaum tani dan buruh. Situasi di Trenggalek memperlihatkan pola serupa, di mana mobilisasi politik dilakukan bukan hanya di ranah formal pemerintahan, tetapi juga melalui aktivitas budaya dan sosial.
Kejatuhan Pasca-1965
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) membawa perubahan drastis bagi PKI di seluruh Indonesia. Di Trenggalek, Soetomo Boedikoentjahjo diberhentikan dengan tidak hormat karena dianggap terkait dengan peristiwa tersebut. Gubernur Jawa Timur kemudian menunjuk M. Hardjito sebagai Penjabat Bupati Trenggalek keenam, sementara posisi Ketua DPRD GR diserahkan kepada Kapten (Purn) S.W. Pasimin dari unsur ABRI.
Seluruh anggota DPRD GR yang berafiliasi dengan PKI diberhentikan, dan struktur DPRD diisi kembali dengan unsur partai dan golongan lain. Abu Sufyan (NU) kemudian terpilih sebagai Ketua DPRD GR, dengan dukungan wakil dari PNI dan ABRI. Pergeseran ini mencerminkan transisi kekuasaan yang lebih luas di tingkat nasional, yaitu dari dominasi partai-partai politik ke dominasi militer dan Golkar.
Sejak saat itu, kiprah PKI di Trenggalek berakhir. Pada Pemilu 1971, PKI sudah resmi dilarang. Hasil pemilu memperlihatkan dominasi Golkar dengan 26 kursi dari total 40, sementara unsur ABRI mendapat alokasi signifikan. Dengan demikian, jejak PKI benar-benar hilang dari panggung politik daerah.
Ingatan Sejarah dan Narasi Resmi
Menariknya, arsip resmi DPRD Trenggalek mencatat bahwa Soetomo Boedikoentjahjo pernah menjabat sebagai Ketua DPRD GR sekaligus Bupati. Namun, detail tentang kiprah PKI dalam politik daerah tidak banyak ditonjolkan. Narasi sejarah resmi segera beralih ke periode pasca-1965, ketika ABRI dan partai-partai non-komunis mengambil alih peran. Fenomena ini menunjukkan adanya kurasi sejarah di mana pengalaman PKI di tingkat lokal cenderung dihapus atau disingkat dalam dokumen kelembagaan.
Hal ini sejalan dengan penelitian Hartono, Huda, & Arseat (2022), yang menjelaskan bahwa narasi tentang PKI, khususnya terkait G30S, mengalami proses rekonstruksi pasca-1965 hingga era kontemporer. Dalam praktik pendidikan sejarah, PKI sering ditampilkan hanya dalam kaitan dengan peristiwa 1965, sementara peran mereka sebelum itu jarang dibahas secara mendetail.
Tokoh-Tokoh Penting
Beberapa tokoh yang berperan dalam periode 1957–1965 di Trenggalek antara lain:
- Soetomo Boedikoentjahjo (PKI): Ketua DPRD GR sekaligus Bupati Trenggalek hingga diberhentikan pasca-1965.
- Oemar Moechtar (NU): Ketua DPRD hasil Pemilu 1957.
- Maryadi (PNI), Abu Sufyan (NU), SH. Ramelan (PKI), dan S.W. Pasimin (ABRI): Wakil Ketua DPRD Gotong Royong.
Kehadiran tokoh-tokoh ini memperlihatkan bahwa DPRD Trenggalek pada masa itu merupakan arena koalisi berbagai kekuatan politik, dengan PKI menempati salah satu posisi utama.
Kesimpulan
Perjalanan PKI di Trenggalek antara 1957 hingga 1965 menggambarkan dinamika politik lokal yang kompleks. Dari keberhasilan meraih kursi besar dalam Pemilu Daerah 1957, transformasi menjadi pengendali legislatif dan eksekutif melalui DPRD Gotong Royong, hingga kejatuhan pasca-1965, PKI memainkan peran yang nyata dalam sejarah daerah ini.
Kekuatan PKI di Trenggalek tidak hanya mencerminkan kecenderungan nasional, tetapi juga memperlihatkan bagaimana isu agraria, mobilisasi petani, serta strategi budaya melalui kesenian rakyat berperan dalam membangun basis politik. Namun, peristiwa 1965 mengakhiri kiprah partai ini secara total, sejalan dengan pelarangan PKI di seluruh Indonesia.
Jejak sejarah tersebut kini hanya tersisa dalam arsip dan catatan singkat, sementara detail peran PKI cenderung dihapus dalam narasi resmi. Meski demikian, menelusuri kembali pengalaman lokal seperti di Trenggalek penting untuk memahami sejarah politik Indonesia secara lebih utuh, tidak hanya dari perspektif pusat, tetapi juga dari daerah-daerah yang memiliki dinamika unik.
Daftar Pustaka
- Sejarah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Trenggalek, https://jdih.dprd.trenggalekkab.go.id/dokumen-lain/download/sejarah-dprd-trenggalek
- Ahmad, T. (2014). Mengail di air keruh: gerakan PKI di Sulawesi Selatan 1950–1965. Patanjala Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya, 6(2), 301. https://doi.org/10.30959/patanjala.v6i2.201
- Hartono, Y., Huda, K., & Arseat, R. (2022). Konstruksi materi dan praksis pembelajaran sejarah kontroversial G-30-S/PKI era post truth. REFLEKSI, 1(1), 9–16. https://doi.org/10.25273/refleksi.v1i1.13970
- Hidayat, M. (2023). PKI dan masalah agraria: melihat keterkaitan sejarah dan dampaknya pada perjuangan tanah di Indonesia. https://doi.org/10.31219/osf.io/6k37h
- Sonhaji, M., & Maulida, F. (2020). Komunikasi politik dan kecenderungan pilihan partai kaum santri dan abangan pada Pemilu 1955. Nyimak Journal of Communication, 4(1), 109. https://doi.org/10.31000/nyimak.v4i1.2220
- Zulfikar, M., Saryono, D., & Syahri, M. (2021). Bentuk resistensi terbuka kaum tani dan buruh dalam cerpen-cerpen sastrawan Lekra di Koran Harian Rakjat. Jurnal Pendidikan Teori Penelitian Dan Pengembangan, 6(9), 1384. https://doi.org/10.17977/jptpp.v6i9.14984
- Risdiarto, D. (2018). Legalitas dekrit presiden 5 juli 1959 dan pengaruhnya bagi perkembangan demokrasi di indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia, 15(1), 11-20. https://doi.org/10.54629/jli.v15i1.54
Kabar Trenggalek - Trenggalekpedia
Editor:Tri