KBRT - Di balik suara dengung mesin-mesin tua yang nyaris mati, ada satu nama yang tak pernah lelah meniupkan napas kehidupan: Budi Susilo. Di tangan pria asal Dusun Njosari, Desa Surondakan, Trenggalek, mesin-mesin jahit rusak menjelma kembali menjadi sumber penghidupan. Bagi Budi, satu mesin yang hidup kembali, berarti satu keluarga yang bisa bertahan.
Di lapak sederhananya yang berdiri bersisian dengan rumah, Budi bukan sekadar memperbaiki baut dan roda. Ia merakit kembali pengharapan, menyambung nafkah para penjahit kecil yang tersebar di penjuru Trenggalek.
“Terakhir saya menjual jarum jahit bekas itu beratnya lebih dari dua kilogram. Ya, karena sekarang sepi pelanggan, jadi barang-barang yang tidak bisa digunakan saya jual,” ujarnya.
Sejak tahun 2011, Budi menapaki jalan sunyi sebagai tukang servis mesin jahit. Langkahnya dimulai dari misi sosial: memperbaiki 36 mesin jahit milik ibu-ibu di Desa Rejowinangun. Tapi tak berhenti di sana, ia bahkan mencarikan jalur distribusi ke pengepul konveksi agar mesin-mesin itu tidak hanya hidup, tapi juga menghasilkan.
Berat dua kilogram jarum bekas yang ia kumpulkan bukan sekadar tumpukan logam rongsok. Itu adalah bukti dari ratusan mesin yang ia bangkitkan. Setiap jarum, adalah saksi dari mesin yang kembali berdetak dan tangan-tangan yang kembali menjahit harapan.
“Awalnya saya cari profesi yang minim pesaing. Sempat juga minta petunjuk lewat salat malam. Akhirnya mantap jadi tukang servis jahit,” kisahnya.
Perjalanan Budi bukan tanpa liku. Ia pernah menjadi pemilik rental konsol game dengan omzet jutaan rupiah per bulan. Namun, ketika moralnya bicara bahwa game tak mendidik anak-anak, ia rela melepas semuanya.

“Budi itu nama saya, dan saya merasa harus punya budi pekerti. Maka saya tinggalkan rental, demi ketenangan hati,” tegasnya.
Ia juga pernah berdagang pakaian, menjadi buruh konveksi, bahkan menjual bakiyak yang akhirnya hanyut terbawa banjir di Alun-alun Trenggalek. Hidup mengajarkannya satu hal: pantang menyerah.
Dari satu titik ke titik lain, Budi membuka lapak—di Ngetal, Ngadirenggo, hingga akhirnya kembali ke Surondakan. Kini, pelanggan datang dari penjuru: dari Gandusari yang sejuk, Munjungan yang terpencil, hingga Dongko dan Panggul yang jauh di pegunungan.
“Kalau dari Dongko itu menyenangkan, pulang-pulang sudah dikasih uang masih diberi kelapa satu karung,” kenangnya sambil tersenyum.
Meski saat ini pelanggan kian berkurang, semangatnya tidak surut. Ia tetap setia di depan meja servisnya, menyusun kembali mesin dari komponen bekas, berharap satu per satu bisa kembali hidup.
“Ya hari ini belum dapat rezeki. Jadi saya pamit ke anak istri, mancing di sungai depan buat cari lauk. Syukur pulang masih bawa lele,” ujarnya pelan.
Di tengah krisis ekonomi, banyak penjahit justru menjual mesin mereka. Tapi Budi bertahan. Ia bukan hanya servis mesin. Ia adalah penjaga denyut harapan. Setiap suku cadang yang ia pasang, setiap baut yang ia kencangkan, adalah doa tanpa suara agar kehidupan tetap berputar di rumah-rumah kecil para penjahit.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Zamz