Ombudsman RI mengungkapkan sederet potensi masalah dalam pelayanan
BPJS Kesehatan. Salah satu dampaknya, ada pasien yang ditolak saat pakai
BPJS Kesehatan. Masalah-masalah itu disampaikan dalam Diskusi Publik "Rupa Rupa Masalah 'Kuota' Layanan BPJS Kesehatan" secara daring, Selasa (28/02/2023).Anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan bahwa sepanjang tahun 2021 sampai 2022, Ombudsman RI menerima 700 laporan masyarakat terkait penyelenggaraan kesehatan di seluruh Indonesia.Banyaknya laporan tersebut menunjukan bahwa pelayanan kesehatan bagi publik masih belum optimal. Berikut sederet potensi masalah dalam pelayanan
BPJS Kesehatan:
1. Pelayanan Kesehatan Belum Optimal
"Pada kenyataannya fasilitas kesehatan (faskes), tenaga kesehatan, manajemen faskes maupun BPJS Kesehatan belum maksimal dalam memfasilitasi masyarakat untuk memperoleh layanan kesehatan yang berkualitas," ujar Robert, dilansir dari laman Ombudsman.Asisten Ombudsman RI, Bellinda W. Dewanti, menyebutkan bahwa terdapat empat potensi maladministrasi dalam penyelenggaraan kesehatan terkait kuota layanan."Ombudsman melihat ada penerapan di luar ketentuan, adanya praktik yang tidak sesuai standarisasi/regulasi, diskriminasi, pengabaian kewajiban hukum dan penyimpangan prosedur dan keterbukaan informasi publik," ungkap Belinda.
2. Tidak Ada Standarisasi Batasan Kuota Layanan
Tidak adanya standarisasi dalam batasan pemberian kuota layanan berakibat faskes secara sepihak menentukan jumlah 'kuota' tersebut.Adanya pembelakukan kuota tersebut juga menyebabkan diskriminasi dalam pemberian layanan kepada pasien BPJS Kesehatan, karena keterbatan kemampuan, kurangnya dokter, ruangan, alat medis dan adanya perbedaan pembiayaan bagi faskes.
3. Kurang Pengawasan dari Kementerian Kesehatan
Ombudsman melihat adanya pengabaian kewajiban hukum dan penyimpangan prosedur akibat kurang maksimalnya fungsi pengawasan dari Kemenkes, Badan Pengawas Rumah Sakit dan BPJS Kesehatan.Kekurangan itu seperti memastikan pembatasan layanan tidak terjadi di seluruh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKTRL). Akses informasi pun belum terdistribusi di seluruh FKTP dan FKRTL sehingga adanya standarisasi yang berbeda-beda."Dalam hal ini Ombudsman menginginkan Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan, BPRS dan BPJS Kesehatan untuk melakukan pengawasan secara optimal dengan memaksimalkan pengawasan self assesment sehingga tidak ada lagi penolakan pemberian layanan terhadap pasien BPJS Kesehatan," jelas Bellinda.
4. Kurangnya Keterbukaan Informasi Publik
Ombudsman berharap, ada penyusunan regulasi perihal keterbukaan informasi publik dalam mengakses pelayanan kesehatan serta melakukan sosialisasi secara masif di seluruh faskes di Indonesia.Informasi itu seperti bagaimana mengakses informasi terkait sistem pembiayaan, kuota tempat tidur bagi pasien dan lain sebagainya.
5. Kurangnya Evaluasi Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan
Ombudsman RI memberikan solusi agar segera disusun standar operasional prosedur serta evaluasi perihal pengelolaan pengaduan penyelenggaraan layanan fasilitas kesehatan pada FKTP dan FKRTL termasuk mengoptimalkan peran petugas pengelolaan pengaduan di faskes."Terakhir, Ombudsman RI berharap untuk dilakukannya evaluasi perihal jaminan mutu penyelenggaraan pelayanan fasilitasi kesehatan baik yang diselenggarakan oleh fasilitas kesehatan maupun oleh BPJS Kesehatan perihal kepastian peserta BPJS Kesehatan," tandas Bellinda.