Penampungan tanah yang ada di Desa Durenan, Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek, membuat warga keluhkan udara campur debu. Tak hanya warga yang mengeluh, namun pedagang yang berjarak 100 meter merasa lesu dagangan terkena debu.
Ahmad, pedagang sate ayam di Desa Durenan, yang berjarak 100 meter dari lokasi, meluapkan keluhannya. Semenjak ada penampungan tanah dari tambang galian c, udara di warung bercampur debu.
Saat ditemui Kabar Trenggalek, Cak Mad (sapaan akrabnya), mengatakan debu tak hanya menyerang warung, namun ia rasakan dampaknya terhadap kesehatan, contohnya flu batuk.
"Satu minggu saat bulan ramadhan saya pas bakar di depan banyak debu, kami menuntut stok dihabiskan dan jangan menampung tanah di sini, kasihan kami pengusaha kecil kena dampak," terangnya.
Usaha sate milik Cak Mad itu sudah berjalan selama puluhan tahun. Sejak ada penampungan tanah, Cak Mad merasa pembeli tak jadi singgah di warungnya. Pertama karena faktor debu, kedua karena truk keluar masuk mengakibatkan macet.
"Kalau mulai operasi seingat saya pertengahan puasa. Awalnya saya dapat informasi ini mau dibuat rest area saya kaget dan kagum. Namun setelah berjalan waktu, ternyata untuk menampung tanah dan berdampak pada dagangan saya kena debu,"paparnya.
Menurut keterangan Cak Mad, puncak debu yang berdampak pada warung mulai jam 10 pagi hingga sore hari. Kemudian, ketika hujan, jalan menjadi licin dan membahayakan bagi pengendara yang melintas.
"Pengendara ada yang kepleset ketika hujan, kemudian setelah satu minggu kami wadul kepala desa dan camat untuk menolak adanya kegiatan penampungan tanah itu," ujarnya.
Secara terpisah, koordinator Aksi Penolakan penampungan tanah, Muhammad Azmi, menjelaskan dampak penampungan tanah sejak beroperasi sekitar awal bulan puasa lalu. Operasional itu diduga debu dari aktivitas penampungan tanah yang terbang ke rumah warga karena terbawa angin.
"Pertama dirasakan di hari kedua beroperasi. Posisinya di seberang jalan, Angin dari selatan dan masyarakat posisinya di sebelah Utara," jelas Azmi.
Warga terdampak dari RT 01-06 merasa khawatir karena tanpa sadar sudah menghirup debu tiap hari, ada juga beberapa warga yang memiliki usaha kuliner khawatir dagangannya terkontaminasi debu. Ketika hujan turun, debu-debu yang mengendap di jalan raya mengakibatkan jalanan licin.
"Dampaknya juga ada lima pengendara motor yang terpeleset karena jalan licin," ucap Azmi kepada Kabar Trenggalek.
Ketika risiko penampungan tanah ternyata berdampak terhadap warga, Azmi menyayangkan keadaan itu dan patut untuk menjadi pertimbangan bahwa keberadaannya meresahkan dan tak perlu ada penampungan tanah.
"Tidak ada, sosialisasi. Tiba-tiba ada kegiatan, seharusnya jika itu digunakan untuk penampungan tanah, setidaknya izin atau kulonuwun. Kira-kira masyarakat setuju tidak. Ini tidak, kegiatan itu tiba-tiba ada dan ternyata merugikan masyarakat," paparnya.
Dengan berbagai dampak yang ditimbulkan diduga akibat polusi debu dari penampungan tanah, puluhan warga kemudian menolak keberadaan stockpiles tersebut. Sejauh ini, kata Azmi, sudah dua kali mediasi. Adapun di antara tuntutan warga, yakni membersihkan debu yang berada di jalan raya.
"Kemarin kita berbondong-bondong ke kantor camat. Dia tidak ada. Lalu kita ke kantor desa. Disitu ada Mbah Lurah, mediasi dan beliau tidak mendukung adanya penampungan tanah, bahkan menandatangani petisi," ujar Azmi.
Namun usai mediasi, lanjut Azmi, ternyata pemilik penampungan tanah tidak melaksanakan tuntutan-tuntutan dari warga. Sehingga warga menolak penampungan tanah dan salah satu upayanya dengan memasang poster penolakan dan petisi penolakan yang dipasang di sekitar stockpiles.
Sementara itu, Anggota DPRD Trenggalek, Husni Taher Hamid, menanggapi ketika aktivitas penampungan tanah itu memicu debu, berdampak ke warga, dan warga sampai menolak, maka pengusahanya terindikasi tidak ramah lingkungan.
"Berarti pengusahaannya yang tidak ramah lingkungan, boleh dikata dia berani menabrak ada [indikasi] Godfather di belakangnya," ujarnya.