- Keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat harus diberikan secara holistik. Hak atas pemulihan korban tentu harus diberikan segera oleh negara secara sungguh-sungguh termasuk hak atas kebenaran, hak atas keadilan agar jaminan ketidakberulangan betul-betul bisa diwujudkan yakni melalui diselesaikannya kasus-kasus dalam pengadilan HAM secara fair dan akuntabel serta penghukuman bagi pelaku yang bersalah harus dilakukan agar dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat keadilan betul-betul ditegakkan.
- Mendorong pihak berwenang sebagaimana mandat UU Pengadilan HAM untuk segera melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta mengadili secara independen dan akuntabel semua orang yang diduga bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu.
Jokowi Akui Pelanggaran HAM Berat, YLBHI: Retorika dan Ilusi
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 18 LBH di Indonesia, mengkritik pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pernyataan itu tentang pengakuan, penyesalan, dan jaminan ketidakberulangan terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat. YLBHI menilai, pernyataan itu hanya sebagai ilusi dan retorika kosong yang terus diulang pemerintah.YLBHI dan 18 LBH di Indonesia mendesak Jokowi untuk membuktikan secara konkrit melalui proses hukum, tindakan dan keputusan-keputusan strategis."YLBHI berpendapat Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia [TPP HAM] tidak lebih dari pencitraan Pemerintahan Presiden Joko Widodo di akhir masa jabatannya untuk seolah memenuhi janji politiknya dan bagian dari langkah pemerintah untuk terus memberikan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM berat, terlebih menjelang Pemilihan Umum 2024," tulis YLBHI di siaran persnya.Berdasarkan temuan YLBHI, ada 11 rekomendasi yang disampaikan oleh TPP HAM pada 11 Januari 2023 melalui Menkopolhukam Mahfud M.D. kepada Jokowi.Dalam 11 rekomendasi tersebut, tidak ada satupun yang menyebutkan indikasi dorongan pemerintah untuk akselerasi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum kasus-kasus pelanggaran HAM melalui pengadilan HAM berat yang selama ini mangkrak di Kejaksaan Agung.Bahkan, lanjut YLBHI, pembentukan TPP HAM tersebut tidak memiliki arti. Karena tidak memiliki landasan hukum yang memadai."Pasal 47 UU 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM mengatur bahwa penyelesaian pelanggaran HAM Berat melalui ekstra yudisial harus dibentuk melalui Undang-Undang," jelas YLBHI.Bagi YLBHI, penyelesaian non yudisial yang hanya berdasar Keputusan Presiden tentu secara legitimasi hukum menjadi patut dipertanyakan kekuatannya. Karena justru bertentangan dan melanggar undang-undang.Keraguan YLBHI kepada pemerintahan Jokowi bukan tanpa sebab. Berdasarkan sepak terjangnya, pemerintahan Jokowi tidak pernah serius dalam penyelesaian kasus HAM di Indonesia.Seperti hingga saat ini, pemerintah melalui Jaksa Agung tidak pernah ada keseriusan dalam meminta pertanggungjawaban terhadap para pelaku kejahatan HAM di Indonesia.Padahal Kejaksaan Agung tinggal meneruskan 13 hasil penyelidikan oleh Komnas HAM. Kejaksaan Agung tinggal melakukan penyidikan yang independen, transparan, dan akuntabel."Bahkan dalam peristiwa Semanggi I dan II, meski belum dilakukan penyidikan, Jaksa Agung menyatakan kasus tersebut bukan pelanggaran HAM berat dan berujung pada gugatan oleh korban," terang YLBHI.Selain itu, satu-satunya kasus yang diproses ke penyidikan hanyalah Kasus Paniai. Kasus ini pun dilakukan dengan banyak sekali kejanggalan dan berakhir pada putusan bebas pada terdakwa tunggal.YLBHI menilai pemerintahan Jokowi tidak pernah serius memutus impunitas dengan menyeret para pelaku ke pengadilan untuk mendapatkan keadilan bagi korban, melalui upaya pengungkapan kebenaran dan memberikan keadilan dengan menyeret para pelaku ke pengadilan."Presiden Joko Widodo justru mengangkat terduga atau nama-nama yang sangat erat dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti Wiranto, Prabowo, Untung Budiharto dan lainnya diangkat dalam jabatan-jabatan strategis pemerintahan/militer," ungkap YLBHI.Terdapat beberapa kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang sudah dalam proses persidangan seperti Kasus Paniai (2014), juga dalam berbagai penyelidikan yakni Operasi Militer Timor Timur (1975-1999), Peristiwa Tanjung Priok (1984), Kasus 27 Juli 1996, Tragedi Abepura (2000), Pembunuhan Theys Eluay (2001), dan Pembunuhan Munir (2014). Tetapi Jokowi tidak mengakui peristiwa-peristiwa tersebut dan tidak memasukkannya dalam bagian dari upaya penyelesaian.Pemerintah juga terus menggunakan pendekatan keamanan dan kekerasan dalam banyak kebijakan seperti di wilayah Papua maupun saat menghadapi masyarakat yang menggunakan hak asasinya untuk berekspresi. Termasuk berdemonstrasi di berbagai wilayah untuk mengkritik berbagai kebijakan pemerintah yang inkonstitusional dan melanggar hak warga."Sampai dengan hari ini, pemerintah tidak juga segera menghentikan pendekatan dan praktik-praktik kekerasan yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia warga negara baik dilakukan oleh Pemerintah maupun melalui aparat represif negara seperti Kepolisian maupun TNI," tegas YLBHI.Terlebih, pernyataan Jokowi juga tidak diriingi oleh roadmap bagaimana penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut akan dilakukan."Pengakuan dan penyesalan tanpa diiringi pengungkapan kebenaran dan kejelasan siapa pelaku dan bagaimana pertanggungjawaban hukumnya justru akan menjadi permasalahan baru," kritik YLBHI.Padahal, sebelumnya Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang periode jabatannya singkat (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001) telah memberikan contoh baik dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat."Ia [Gus Dur] langsung mencopot Wiranto karena diduga terkait peristiwa Pelanggaran HAM Berat dalam Timor Timur, mendorong penyelesaian kasusnya melalui pembentukan pengadilan ham ad hoc, menghentikan kekerasan di Papua dengan upaya dialog damai yang sejati, serta mendesak dihapusnya Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966," papar YLBHI.Oleh sebab itu, ada dua poin desakan dari YLBHI dan 18 LBH di Indonesia kepada Pemerintahan Jokowi sebagai berikut:
Kabar Trenggalek Hadir di WhatsApp Channel Follow