Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Jelang Pemilu 2024, Riset Ungkap Peningkatan Ujaran Kebencian kepada Capres di Medsos

Riset yang dilakukan Jati Savitri Sekargati, PhD Candidate in Media and Journalism, Glasgow Caledonian University, mengungkapkan peningkatan ujaran kebencian di pemilihan umum (pemilu) 2024. Ada peningkatan ujaran kebencian kepada capres di medsos X (sebelumnya dikenal sebagai Twitter).

Jati mengacu pada definisi ujaran kebencian menurut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Menurut PBB, ujaran kebencian merupakan komunikasi apa pun yang menyerang individu atau menggunakan bahasa yang merendahkan atau diskriminatif terhadap individu berdasarkan agama, etnis, kebangsaan, ras, warna kulit, keturunan, atau jenis kelamin.

Jati menjelaskan riset itu sebagai bagian dari perannya sebagai peneliti untuk proyek Pemantauan Ujaran Kebencian (Greater Internet Freedom) Harmful Speech Monitoring, yang didukung oleh media nirlaba independen Internews.

"Saya melakukan pengamatan terhadap platform-platform media sosial selama periode Juni-Juli 2023. Saya menemukan bahwa pola yang sama muncul dalam pemilu 2024," ujar Jati dalam artikelnya di The Conversation Indonesia.

Dalam penelitian itu, Jati menemukan setidaknya 60 contoh ujaran kebencian, terutama di X, dengan 45 di antaranya mengandung nuansa politik. Beberapa komentar ofensif ditujukan kepada tiga calon presiden - Prabowo, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo. Hal ini sudah terjadi bahkan sebelum ketiganya secara resmi ditetapkan sebagai kandidat oleh KPU.

Penelitian itu berfokus pada platform X, karena menurut Laporan Survei Nasional dari Centre for Strategic and International Studies [CSIS], Twitter mengandung informasi yang paling mengganggu dibandingkan dengan platform media sosial lainnya.

Jati menggunakan analisis kata kunci dan kontekstual untuk mengidentifikasi ujaran kebencian dalam penelitian saya. Kata kunci yang ia gunakan antara lain nama-nama politikus (“anies baswedan”, “anies”, “prabowo subianto”, “prabowo”, “ganjar pranowo”, “ganjar”), serta frasa-frasa umum lainnya seperti “pilpres” atau “pemilihan presiden” dan “pemilu 2024”.

Pada 31 Agustus 2023, 60 unggahan ujaran kebencian yang saya identifikasi telah dibagikan sebanyak 6.827 kali di X, YouTube, dan TikTok. Salah satu akun dengan nama samaran, misalnya, mengunggah konten kebencian tentang Ganjar Pranowo sebagai pembohong dan pecandu pornografi.

"Hal itu sebagai tanggapan atas pernyataan Ganjar di podcast YouTube pada tahun 2019 bahwa 'tidak ada yang salah dengan menonton film porno' dan 'saya menyukainya'. Faktanya, mayoritas orang Indonesia menganggap menonton film porno tidak dapat diterima secara moral," ungkap Jati.

Akun anonim lainnya menyebarkan sentimen negatif tentang Prabowo Subianto terkait perannya dalam pembelian jet tempur bekas, yang akhir-akhir ini juga memicu kecaman dari masyarakat.

"Unggahan tersebut menggunakan tagar seperti #Prabohong #Bahaya [Prabowo pembohong dan berbahaya]. Twitter kemudian menangguhkan akun tersebut karena melanggar kebijakan profil kebencian," terang Jati.

Anies Baswedan juga menjadi sasaran ujaran kebencian di X. Di pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta tahun 2017, Anies mendapat dukungan besar dari kelompok Islam garis keras. Ini banyak diyakini menjadi salah satu faktor utama yang membantunya memenangkan Pilgub.

Pada bulan Juli, sebuah akun troll dengan hampir 42.000 pengikut mengunggah video berdurasi satu menit yang menampilkan Anies bersama beberapa pemuka agama Islam dalam sebuah acara. Para pemuka agama tersebut menyebutkan bahwa Anies adalah satu-satunya gubernur di dunia yang menerima 65 penghargaan dalam setahun.

"Menurut pengguna akun tersebut, hal itu adalah sebuah kebohongan. Akun itu memuat tagar #GubernurTukangNgibul. Postingan tersebut menerima 42 komentar, sebagian besar mengungkapkan kebencian terhadap Anies," papar Jati.

Jati menilai, ujaran kebencian menjadi berbahaya di Indonesia karenadapat berujung pada tindakan negatif yang berlebihan di dunia nyata (offline). Termasuk dalam bentuk hasutan dan ajakan untuk melakukan kekerasan terhadap warga sipil dan untuk terlibat dalam tindakan kriminal lainnya.

Pada tahun 2016, misalnya, unggahan-unggahan bernada kebencian dan bertema agama di media sosial terhadap calon gubernur Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, yang merupakan seorang Kristen, berubah menjadi unjuk rasa besar-besaran di Jakarta oleh sejumlah kelompok Islam konservatif.

"Mereka menuntut Ahok dipenjara karena telah menistakan agama Islam. Ahok kemudian divonis hukuman dua tahun penjara karena hal tersebut," kata Jati.

Merespons temuan penelitian ujaran kebencian terhadap capres tersebut, Jati mengatakan pengguna medsos dapat melaporkan unggahan dan akun yang melanggar kebijakan X tentang kekerasan dan kebijakan konten kebencian.

"Namun, platform ini harus meninjau dan mengevaluasi unggahan yang dilaporkan sebelum bertindak, sehingga pada saat X akhirnya menghapus konten, beberapa konten sudah terlanjur viral dan memengaruhi publik," jelas Jati.

Menurut Jati, pemerintah, organisasi hak-hak sipil, lembaga swadaya masyarakat, dan platform media sosial harus bekerja sama untuk meningkatkan kesadaran akan isu ini menjelang Pemilu bulan depan.

"Untuk mengatasi ujaran kebencian dan disinformasi, mereka harus bekerja sama dalam memantau dan menganalisis konten semacam itu ketika ditandai, mengidentifikasi aktor dan akar masalah di balik konten tersebut, serta merumuskan peraturan yang lebih kuat untuk melindungi para korban," tandas Jati.