Yakin Pemilu 2024 Demokratis?
Kemudian ada pernyataan PMII Trenggalek bahwa pemilihan umum atau pemilu 2024 berjalan dengan demokratis. Padahal, jika kita lihat realita yang terjadi di lapangan justru jauh dari kata demokratis.Ada temuan dan hasil riset dari tiga pakar hukum tata negara, yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari dalam film Dirty Vote yang disutradarai Dandhy Dwi Laksono. Pemilu 2024 terdapat beragam kecurangan. Bahkan, kecurangan itu telah dilakukan jauh-jauh hari sebelum perhelatan pesta demokrasi lima tahunan itu.Kecurangan-kecurangan yang dimaksudkan antara lain ketidaknetralan pejabatan publik yang memihak salah satu paslon, penyalahgunaan wewenang jabatan, dan potensi pengorganisiran kepala desa untuk memenangkan salah satu pasangan calon (paslon) presiden dan wakilnya.Kemudian, yang paling mencengangkan adalah potensi penyalahgunaan bantuan sosial (bansos) yang tendensius untuk mendongkrak suara salah satu paslon. Perlu diketahui, anggaran bansos 2024 hampir menyentuh Rp. 500 triliun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan anggaran bansos saat masa pandemi Covid-19.Bivitri Susanti mengungkapkan, berdasarkan catatan sejak Pemilu 2009, anggaran bansos selalu meningkat setiap kali menjelang pemilu. Selain itu, ia mengungkapkan pembagian bansos di 2024 juga “ugal-ugalan”. Pasalnya, baru bulan Januari 2024 saja telah menembus angka 78, 06 triliun.Menurut Feri Amsari, kecurangan-kecurangan Pemilu 2024 itu tidak cukup dikerjakan dalam waktu singkat dengan orang terbatas. Melainkan dilakukan dengan banyak orang dan terstruktur. Sehingga kecurangan Pemilu 2024 tampak begitu halus dan seringkali terabaikan dari perhatian publik.Dari situ saja PMII Trenggalek seharusnya sudah bisa memberikan penilaian bahwa Pemilu 2024 berlangsung tidak demokratis. Apa lagi kita tahu, ada salah satu calon wakil presiden yang tidak memenuhi syarat usia minimal bisa lolos ikut mencalonkan diri setelah Mahkamah Konstitusi (MK) merevisi aturan syarat pendaftaran.Yang bermula dari syarat usia minimal 40 tahun, menjadi diperbolehkan untuk mendaftar dengan syarat telah atau sedang menjadi kepala daerah. Perlu diingat, salah satu Hakim MK adalah paman dari orang yang mendaftar cawapres itu.Sehingga, bagi PMII Trenggalek tidak ada alasan lagi jika Pemilu 2024 berlangsung secara demokratis. Sangat aneh sekali jika pernyataannya kebalikannya. Serta bertolak belakang dengan cita-cita para tokoh dan pendiri PMII yang memperjuangkan demokrasi.Tulisan ini semata-mata saya buat sebagai autokritik terhadap organisasi, PMII. Kenapa dimuat di muka publik? Karena pernyataan PMII Trenggalek berterima kasih juga di publik, maka saya perlu menunjukkan narasi tandingan di muka publik juga. Semoga PMII terus berbenah dan tidak menjadi wadah untuk berterima kasih. Salam Pergerakan!Kabar Trenggalek - Opini