Film Thiwul: dari Potret Identitas hingga Potensi Kedaulatan Pangan di Trenggalek
Pemutaran film dalam acara Layar Bawah Bukit yang diselenggarakan Kabul Kultural Space (KCS) dan Kabar Trenggalek akhir Desember 2023 lalu membuka banyak diskursus. Salah satunya adalah film dokumenter yang berjudul “Thiwul”. Film berdurasi 13 menit 17 detik itu mengulik kilas sejarah thiwul, proses pembuatan thiwul, hingga pergeseran pola konsumsi makanan pokok.Gedhe Ashari, produser sekaligus sutradara Film Thiwul, memaparkan potret thiwul sebagai identitas hingga berpotensi memantik kedaulatan pangan di Trenggalek. Kini, laki-laki kelahiran Trenggalek itu sedang menempuh studi pascasarjana Pendidikan Sejarah di Universitas Negeri Malang. Ia mengaku sejak kecil sudah mendapati thiwul sebagai menu yang sering disajikan di meja makan.“Menariknya juga, tiap ada keluarga pulang kampung, thiwul selalu disajikan. Jadi kayak tertanam gitu kalo thiwul itu makanan yang harus ada di tiap perjamuan,” tutur Gedhe.Namun, dalam proses riset film yang dilakukan Gedhe mendapati mayoritas masyarakat Trenggalek saat ini sudah meninggalkan thiwul dan beralih ke nasi. Ia merasa thiwul yang telah menjadi makanan tradisi ini masih dipandang rendah dan kurang diperhitungkan.“Padahal bahan dasar dari thiwul yakni singkong, punya karbohidrat yang sama atau lebih baik dari nasi,” katanya.[caption id="attachment_64154" align=aligncenter width=1280] Proses Pembuatan Thiwul Terekam dalam Film Dokumenter berjudul Thiwul/Foto: Hendra Cahyono for Kabar Trenggalek[/caption]Gedhe dalam filmnya juga menyoroti mengenai penyeragaman pangan dengan politik beras di era pemerintahan Presiden Soeharto. Menurutnya, politik itu berakibat pada pergeseran makanan pokok lokal dengan nasi.Selaras dengan Gedhe, Azis Anwar Fachrudin, staf CRCS UGM, berpendapat dalam artikel pendamping film ‘Berbeda-beda Tetapi Tetap Makan’. Ia menyoroti ketergantungan masyarakat Indonesia pada nasi.Menurut Aziz, politik pangan pemerintah saat itu bermula dari niatan mewujudkan swasembada dan ketahanan pangan. Ironisnya, tujuan itu sulit tercapai justru karena pangan masyarakat Indonesia seragam.Sejak itu, ‘diversifikasi’ atau penganekaragaman pangan menjadi kampanye Kementerian Pertanian. Dalam peraturan nasional, UU 18/2012 tentang Pangan dan PP 17/2015 tentang Ketahahan Pangan dan Gizi menyebut klasul khusus mengenai penganekaragaman pangan.Membahas diversifikasi pangan, Gedhe juga melihat kemungkinan potensi kedaulatan pangan melalui pangan lokal. Menurut Gedhe, kembalinya thiwul untuk makanan keseharian ini sesuai dengan topografi wilayah di Trenggalek.“Di daerah pegunungan karst, lahannya memang cocok ditanamin singkong. Jika wacana itu [thiwul sebagai makanan keseharian] terealisasi, Trenggalek adalah salah satu percontohan,” terang laki-laki 26 tahun itu.Tak usai di situ, melalui film, isu yang ia bawa mengenai kembalinya pangan lokal untuk makanan keseharian masih menjadi pekerjaan panjang. Terlebih lagi, menurut Gedhe, pengaruh film belum signifikan. Ia merasa perlu melakukan distribusi dan penayangan film lebih luas lagi.“Harapannya film ini bisa ditayangkan ke banyak tempat dan memantik diskusi mengenai pangan lokal. Bisa menyasar umum atau ke ranah akademis,” tukasnya.Bagi anda yang ingin menonton film dokumenter ini, silakan berkirim email ke cinecronicfilm@gmail.com.
Kabar Trenggalek Hadir di WhatsApp Channel Follow