Di Jawa Timur ternyata tak hanya ada Suku Jawa saja, melainkan ada juga suku lain yang berada di provinsi ini. Tak ayal, dengan banyaknya suku ini membuat Jawa Timur kaya akan seni dan budaya.
Pada artikel kali ini Kabar Trenggalek akan mengulas daftar suku di Jawa Timur. Dengan mengetahui suku di Jawa Timur ini bisa menjadi pengetahuan, khususnya bagi warga Jawa Timur, tentang kekayaan seni dan budaya. Sehingga bisa saling melestarikan satu sama lain.
Sebelumnya, menurut Frederick Barth, suku adalah himpunan manusia karena adanya kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa ataupun merupakan kombinasi dari kategori yang masuk terikat pada sistem nilai budaya.
Sedangkan menurut Koentjaraningrat, Suku bangsa adalah sekelompok manusia yang memiliki kesatuan dalam budaya dan terikat oleh kesadarannya akan identitasnya tersebut. Kesadaran dan identitas yang dimiliki biasanya diperkuat dengan kesatuan bahasa.
Jadi, secara garis besar dapat disimpulkan jika suku merupakan kelompok masyarakat yang saling terhubung (sosial) dengan ikatan budaya, tradisi, adat, bahasa, dan bahkan kepercayaan, sehingga memiliki karakter identitas yang melekat.
Sehingga, jika kita sering bepergian di kota-kota yang ada di Jawa Timur, tak sedikit menjumpai perbedaan logat atau dialek bahasa ketika berbicara. Bahkan ada yang bahasanya itu memiliki kemiripan dan berbeda saat pelafalan.
Daftar Isi [Show]
Artikel ini berisi:
Daftar Suku di Jawa Timur
1. Suku Samin
Pada awal mulanya, Suku Samin adalah kelompok masyarakat yang mendiami wilayah di pedalaman Blora. Suku ini juga dikenal sebagai suku yang memiliki tradisi bertani sangat kental di Kendeng.
Maksudnya kental adalah secara turun temurun warga Samin bekerja sebagai petani dan tidak boleh menjual lahan yang mereka miliki. Karena, jika lahan sudah terjual maka sudah tidak ada lagi tempat untuk mencari nafkah.
Bersumber dari buku Samin: Bahasa Persaudaraan dan Perlawanan (2017) yang ditulis Hari Bakti Mardikantoro. Kata Samin diambil dari nama tokoh masyarakat, yakni Ki Samin Surosentiko yang lahir di Desa Poso, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah.
Ki Samin Surosentiko dengan nama lahir Raden Kohar (1859) adalah seorang keturunan dari bangsawan yang bernama Adipati Brotodiningrat seorang bupati dari Kabupaten Sumoroto (sekarang Tulungagung).
Ayah Ki Samin adalah Raden Surowijoyo (Samin Sepuh) dikenal kerap membantu rakyat miskin di daerah Bojonegoro, Jawa Timur. Raden Surowijoyo atau Samin Sepuh saat di Bojornegoro membangun gerakan moral di masyarakat untuk menentang penindasan yang dilakukan Belanda.
Hingga akhirnya ajaran moral tersebut berkembang menjadi ajaran Sedulur Sikep Suku Samin. Mengikuti jejak sang ayah, Raden Kohar mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko yang dinilai lebih merakyat, dia juga mengajarkan ajaran Sikep.
Pada 1890, Samin Surosentiko turut menyebarkan ajaran Samin di Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Masyarakat setempat menerima dengan baik ajaran tersebut, hingga Samin Surosentiko berhasil mengumpulkan banyak pengikut sekitar 722 orang dalam waktu singkat berdasarkan catatan Residen Rembang.
Baik di Bojonegoro maupun Blora masih terdapat perdebatan dari mana ajaran Samin atau Sikep berasal. Namun, secara garis besar ajaran ini berasal dari orang yang sama.
Sedulur Sikep atau Wong Sikep jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya orang yang baik dan jujur.
Orang Samin juga terkenal dengan perlawanannya yang identik tanpa senjata. Saat masa penjajahan Belanda, orang Samin menolak untuk membayar pajak kepada pemerintah Kolonial. Apa yang dilakukan orang Samin ini menunjukan jika mereka benar-benar melawan tanpa senjata.
Dalam literatur lain, ada yang menyebutkan jika orang Samin memiliki senjata keris. Namun akan digunakan jika situasi benar-benar mendesak dan itu pun keris yang ada diwariskan secara turun-temurun, sehingga tidak dibuat secara masal sebagaimana senjata pada umumnya.
Baik di Blora dan Bojonegoro, Suku Samin masih menurunkan ajaran Sedulur Sikep secara turun temurun dan melestarikan tradisi bertani sebagai mata pencaharian.
2. Suku Bawean
Suku Bawean adalah salah satu suku yang paling unik di Jawa Timur. Bagaimana tidak, Suku yang mendiami Pulau Bawean (80 mil utara Kota Surabaya) terlahir karena akulturasi atau peleburan dari berbagai macam suku, seperti Suku Melayu, Jawa, Madura, Banjar, Bugis, dan Makassar yang terjadi selama ratusan tahun di Pulau Bawean (Hidayah, Zulyani: 2015).
Akulturasi budaya yang ada di Pulau Bawean disinyalir karena letak pulaunya yang strategis. Pulau ini berada di dua pulau besar, yakni Kalimantan dan jawa. Kendati demikian, Pulau Bawean secara administrasi masuk ke dalam Kabupaten Gresik.
Sebagaimana yang diketahui pada umumnya, orang Bawean juga terkenal sering merantau ke luar daerah. Biasanya yang menjadi tujuan merantau adalah Pulau Jawa dan Kalimantan.
Ada sebutan lain bagi Pulau Bawean, yakni Pulau Putri. Karena, banyak pria muda yang merantau ke luar daerah. Sehingga, secara mayoritas meninggalkan penduduk putri.
Untuk seni dan tradisi yang ada di Suku Bawean antara lain, Kercengan (biasanya dipersembahkan sewaktu acara Perkawinan, nama lainnya hadrah), Cukur Jambul bayi yang telah genap usianya 40 hari, Pencak Bawean (seni beladiri orang Bawean), Dikker (shalawat kepada Nabi Muhammad SAW disertai iringan terbangan), dan Mandiling (sebuah tari-tarian diiringi pantun).
3. Suku Tengger
Suku Tengger adalah kelompok masyarakat yang mendiami kawasan dataran tinggi di Pegunungan Bromo-Tengger-Semeru. Suku Tengger biasanya juga disebut dengan orang Tengger atau Wong Brama.
Dalam sebuah literatur, nama Tengger berasal dari legenda Rara Anteng dan Jaka Seger yang dipercaya sebagai asal-usulnya. Dipercaya jika Rara Anteng adalah Brawijaya V dari kerajaan Majapahit.
Saat Majapahit mengalami keruntuhan, Rara Anteng kemudian melarikan diri ke pegunungan Tengger. Di sana, Rara Anteng diangkat anak oleh Resi Dadap Putih.
Di sanalah Rara Anteng bertemu dengan Jaka Seger. Jaka Seger awal mulanya seorang pemuda dari Kediri yang sedang mencari pamannya di pegunungan Tengger.
Kemudian, Rara Anteng dan Jaka Seger sepakat untuk membentuk keluarga. Yang kemudian dari keturunan merekalah orang Suku Tengger berasal.
Serta, kata Tengger juga berasal dari gabungan nama mereka. Yakni "Teng" akhiran nama Rara An-"teng" dan "ger" akhiran nama dari Jaka Se-"ger"
Bagi masyarakat Suku Tengger, Gunung Bromo atau juga disebut sebagai Gunung Brahma dipercaya sebagai gunung suci. Dalam adat tradisinya, setiap satu tahun sekali masyarakat Tengger yang bermukim di kaki Gunung Bromo melangsungkan upacara adat Yadnya Kasada atau Kasodo.
4. Suku Osing
Suku Osing adalah penduduk asli dari Banyuwangi, atau sebutan lainnya Laros (Lare Osing) atau Wong Blambangan. Suku Osing memiliki bahasa asli daerah yakni Bahasa Osing, yang dalam bahasanya terdapat campuran antara bahasa Jawa Arekan dan bahasa Tengger. Selain itu juga ada beberapa kosa kata yang berasal dari bahasa Jawa Kuno. Termasuk juga bahasa Bali.
Suku Osing bisa dikatakan sebagai suku yang selama tercipta budayanya terjadi karena pengaruh budaya luar (Jawa dan Bali). Maka tak ayal, beberapa orang yang baru pertama kali kenal dengan orang dari Suku Osing merasa jika budaya dan bahasa mereka campuran antara Jawa dan Bali.
Bahkan, sama seperti kerajaan Majapahit. Kerajaan Blambangan yang dulu berkuasa di kawasan Banyuwangi memiliki kepercayaan spiritual Hindu-Budha.
Sama seperti masyarakat Bali, masyarakat Osing juga memiliki tradisi perang puputan. Perang puputan merupakan perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir membela tanah kelahirannya dari serangan musuh yang besar dan kuat. Perang puputan ini juga dilakukan masyarakat Osing pada masa pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda.
Sama seperti suku yang menempati Pulau Jawa lainnya, masyarakat dari Suku Osing sebagian besar bekerja sebagai petani. Dengan sebagian kecilnya lagi bekerja sebagai pedagang, nelayan, buruh, dan pegawai.
Meski ada pengaruh dari kebudayaan masyarakat Bali, masyarakat Suku Osing tidak mengenal dengan budaya kasta dalam konstruksi sosial. Hal ini juga sama dengan suku-suku yang mendiami Pulau Jawa lainnya.
Yang mendapat pengaruh dari kebudayaan masyarakat Bali paling kuat pada bidang kesenian dan tradisi. Dimana kesenian dan tradisi dari Suku Osing memiliki unsru mistik.
Adapun keseniannya antara lain Tari Gandrung, Patrol, Seblang, Angklung, Tari barong, Kuntulan, kendang Kempul, Janger, Jaranan, jaranan Kincak, Angklung Caruk, dan Jedor.
Sama seperti kesenian dari Jawa, (Nurhidayatullah, MT, Sukatman, Wuryaningrum, R: 2013) Suku Osing juga memiliki tembang dolanan yang diperuntukkan untuk anak-anak.
Dalam tembang dolanan ini memiliki pesan moral dan sekaligus sebagai media pendidikan. Seperti tembang jamuran dan Ojo Rame-rame. Seperti tembang jamuran, dalam nyanyian yang didendangkan oleh anak-anak tersebut memiliki pesan untuk senantiasa bergotong royong.
5. Suku Madura
Suku Madura adalah etnis yang mendiami Pulau Madura. Dalam sensus penduduk 2010 ada tujuh juta penduduk lebih yang berasal dari etnis Madura. Selain di Pulau Madura, etnis Madura juga menyebar ke berbagai pulau kecil yang ada disekitar pulau utama. Yakni Pulau asal dari Pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya (Pulau Puteran, Pulau Gili Iyang, Pulau Sapudi, Pulau Gili Raja, Pulau Giligenting, Pulau Raas, dan lain-lain
Suku Madura juga terkenal sebagai kelompok masyarakat yang gemar merantau. Hampir di setiap wilayah di Indonesia terdapat orang Madura.
Daerah dengan penyebaran terluas ada di kawasan Tapal Kuda, yakni wilayah yang meliputi Kabupaten Jember, Situbondo, Pasuruan, Lumajang, Probolinggo,dan sebagian Banyuwangi.
Dari segi kepercayaan, masyarakat dari Madura memiliki corak Islam yang sangat kental. Bahkan, hampir bisa dipastikan jika keseluruhan masyarakat Madura beragama Islam. Salah satu pendiri organisasi masyarakat Islam terbesar di Dunia, Nahdlatul Ulama (NU), yakni Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy'ari berguru dengan Kiai Kholil Bangkalan.
6. Suku Jawa
Suku Jawa atau biasa disebut Wong Jawa atau Tiyang Jawi adalah suku yang mendiami hampir sebagian besar Pulau Jawa. Seperti Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat (Kota Cirebon dan Serang-Cilegon Banten).
Suku Jawa bisa dikatakan paling mendominasi di Indonesia, setidaknya dalam sensus penduduk 2010 sekitar 40,22% merupakan penduduk dari Etnis Jawa.
Penyebaran penduduk Jawa juga tak hanya ada di Indonesia, melainkan sampai luar negeri. Pada masa penjajahan Belanda, banyak orang dari Suku Jawa yang dibawa ke Suriname. Hingga sekarang identitas mereka sebagai orang Jawa di Suriname tidak pernah luntur.
Mendiang Didi Kempot pada tahun 2018 kemarin sempat konser di Sana. Antusias warga Suriname sangat tinggi dengan kehadiran Didi Kempot. Karena sebagai obat rasa rindu sebagian warga Suriname terhadap tanah asal-usulnya.
Dari budaya dan adat-istiadat, orang Jawa telah mengalami akulturasi dari berbagai kepercayaan dan tradisi. Mulai dari kepercayaan animisme-dinamisme, masuknya agama Hindu dan Budha, dan Masuknya agama Islam.
Hal itu dapat dilihat dengan kerajaan-kerajaannya dulu yang pernah berkuasa di Tanah Jawa, mulai dari Tarumanegara (358-669 M) yang bercorak Hindu-Budha hingga kerajaan Demak yang bercorakkan Islam (1478-1518 M).
Banyak situs-situs sejarah yang dapat ditemukan di Jawa, seperti Candi Prambanan (Hindu) dan Candi Borobudur (Budha).
Dari segi ilmu pengetahuan, orang Jawa dulunya juga cukup maju. Karena sudah memiliki penanggalannya sendiri, mempunyai ilmu arsitektur yang dapat kita lihat dalam bangunan candi dan rumah joglo, alat musik yang menggunakan logam (gamelan), dan senjata yang terbuat dari batuan meteor (keris).