Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Ruang Berpintu Biru: Simbol Kebebasan Gadis Kretek

Kubah Migunani

Review Serial "Gadis Kretek" di Netflix, oleh: Yayum Kumai*

Pupil Dasiyah menyembang. Air mukanya tidak bisa lagi menutupi detak kebahagiaan dalam dadanya. Sesungging senyum mengubah raut wajahnya yang datar ketika berhasil masuk ke dalam ruangan “terlarang” berpintu biru.Meski tidak diekspresikan dengan lonjak gembira atau teriak kegirangan. Penonton bisa menangkap jelas ekspresi bahagia dari balik punggung Dasiyah.Begitulah Dasiyah diwujudkan dalam serial Gadis Kretek oleh sutradara Kamila Andini dan Ifa Ifansyah. Tidak banyak bicara, berekspresi datar dengan tatapan mata tajam menyasar objek yang dilihatnya, serta warna pakaian yang cenderung monoton. Ide cerita Gadis Kretek sendiri diangkat dari novel dengan judul yang sama. Ceritanya berkisar tentang industri kretek di Jawa pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Tokoh utamanya adalah perempuan. Seorang anak perempuan pemilik pabrik kretek yang telah berusia matang dan dianggap masyarakat sudah harus segera menikah. Namun, Dasiyah tidak terlalu berminat untuk menikah. Ketakutannya bukan pada kejanggalan romansa dua sejoli. Pun Dasiyah tidak takut pada ikatan atau institusi pernikahan, selayaknya imajinasi orang-orang penentang feminisme. Akan tetapi, ia lebih cenderung merasa muak dengan segala pembatasan yang dikonstruksi masyarakat terhadap perempuan. Sebelum berkeluarga saja, perempuan dipaksa untuk sepakat pada batasan-batasan yang membelenggu akal pikirannya. Apalagi setelah menikah ketika ia dibebani segenap tanggung jawab domestik, sebagaimana diilustrasikan pada scene sewaktu Dasiyah dipaksa belajar memasak dan beberapa percakapan implisit.

Gadis Kretek dan Saus Rokok 

Dasiyah yang diperankan Dian Sastrowardoyo bukan perempuan biasa. “Tidak biasa” dalam makna pemikirannya maupun modal sosial dan ekonomi keluarganya. Ia lahir dari seorang pengusaha kretek Idroes Moeria. Hasil produksi dari pabriknya termasuk golongan kelas wahid dan menarik hati banyak konsumen. Tugas mandor dan pembukuan bisnis dikerjakan oleh Dasiyah. Bahkan, pengambilan-pengambilan keputusan terkait bahan baku produksi juga turut dipengaruhi oleh suara Dasiyah. Dalam konteks pemikiran, Dasiyah bukan gadis biasa. Ia mencintai tembakau, cengkeh, dan segenap prosesi menumbuk, mencincang, hingga melinting rokok kretek. Kecintaannya terpupuk dari kecil lewat kesehariannya menghirup aroma tembakau kering. Bagi Dasiyah pekerjaan meracik kretek adalah proses mencipta seni yang mesti dikelola secara presisi, teratur, dan kedalaman rasa terhadap perangkat dan bahan. Meskipun begitu mencintai kretek, semua kegiatannya itu hanya bisa dipraktikkannya di rumah. Pekerjaan membuat saus dalam produksi kretek bukanlah ranah perempuan. Proses membuat saus rokok yang sarat dengan kelihaian teknis dan ilmu pengetahuan membuatnya disakralkan hanya menjadi tugas laki-laki, sedangkan peran perempuan terbatas pada kegiatan melinting. Begitulah narasi tentang kebebasan Gadis Kretek dibangun. Konsep kebebasan bagi Gadis Kretek bukanlah cita-cita abstrak yang besar dan penuh heroisme. Penulisnya paham betul bahwa “kebebasan” bagi perempuan sangat lekat terikat dengan konteks waktu, budaya tempatan, dan strata sosial. Bagi Dasiyah yang seorang anak penguasaha Jawa pada tahun 1960-an, makna kebebasan baginya adalah membuat saus rokok. Sedikit lebih luas lagi adalah berperan dalam proses penciptaan produk bisnis baru yang hanya bisa dimiliki laki-laki. Apa yang diidam-idamkan Dasiyah bukanlah menjadi pahlawan gerakan buruh di pabrik kretek ayahnya. Hasratnya ditujukan pada capaian untuk bisa masuk ke dalam satu ruangan “terlarang” berpintu biru yaitu, ruangan khusus pembuat saus rokok. Pintu berwarna biru tersebut merupakan simbol penguasaan teknologi dan ilmu pengetahuan.

Imaji Rokok dan Perempuan 

Gadis Kretek sangat cerdas dalam menyajikan imaji perempuan sebagai tokoh sentral dalam arena pembuatan rokok. Bagi khalayak yang belum menonton mungkin akan sedikit bergidik dulu ketika mendengar judul serial atau novelnya. Konstruksi rokok dan kaitannya terhadap “perempuan nakal” ditepis dengan telak oleh Gadis Kretek.Alih-alih terbawa pada stigma negatif, scene-scene yang menampilkan cara Dasirah menghisap rokok justru membawa kita pada satu pendalaman rasa. Bak juru masak yang tengah mencicipi hasil racikannya. Gambaran para pekerja perempuan di pabriknya pun ditampilkan sebagai sosok-sosok jenaka yang penuh dengan gelak tawa. Soal ini tentu bisa menjadi kritik khusus, yakni cara penceriteraan yang terlalu “istana-sentris”. Maksudnya, narasi cerita berfokus pada tokoh terpandang pemilik kuasa yang baik hati karena tidak ada buruh yang terlihat kesusahan.Terlepas dari hal itu, Gadis Kretek menarik untuk menjadi tontonan santai. Mengingat ceritanya tidak terlalu rumit dan perpindahan scene yang tidak terlalu cepat dan lembut. Cerita sederhana nan padat pesan juga menjadi kelebihan serial ini.

Serial Gadis Kretek

  • Genre: Drama
  • Pembuat: Netflix
  • Berdasarkan: Novel Gadis Kretek oleh Ratih Kumala
  • Sutradara: Kamila Andini, Ifa Isfansyah
  • Pemeran: Dian Sastrowardoyo, Ario Bayu, Arya Saloka, Putri Marino
  • Negara asal: Indonesia
  • Bahasa asli: Bahasa Indonesia
  • Produser: Shanty Harmayn
  • Pengaturan kamera: Multi-kamera
  • Rumah produksi: BASE Entertainment, Fourcolours Films
  • Jaringan asli: Netflix
  • Rilis asli: 2 November 2023
 *Yayum Kumai adalah pemerhati perempuan dan lingkungan
Kopi Jimat

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *