Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

My Account
ADVERTISEMENT
JImat

Mengolah Laut Menjadi Emas: Kisah Deni dan Ikan Kering di Pantai Prigi Trenggalek

  • 11 May 2025 08:00 WIB
  • Google News

    KBRT – Di sudut pesisir Pantai Prigi, Watulimo, Trenggalek, aroma asin laut menyatu dengan semangat seorang pria bernama Deni. Selama lebih dari dua dekade, ia merawat warisan keluarganya: memproduksi ikan kering. Bukan sekadar pekerjaan, bagi Deni ini adalah bentuk cinta terhadap laut dan tradisi yang diwariskan.

    Setiap pagi, Deni memulai harinya dengan menjemput hasil tangkapan dari para nelayan setempat. Ikan-ikan kecil seperti sampenit, layang, hingga teropong, kemudian ia olah dengan cara dijemur di bawah matahari. Dalam sehari, ia bisa memproduksi satu hingga dua ton ikan kering, tergantung pada kemurahan cuaca.

    “Kalau produksi itu ya tergantung cuaca, Mas. Kalau cuaca panas sekali, itu satu hari jemur bisa lebih dari 1 ton. Misal pagi sampai siang 1 ton, kemudian siang dilanjut 1 ton lagi sampai sore,” tuturnya.

    Usaha ini tidak pernah meluas ke pasar besar. Deni lebih memilih menjaga kualitas dan loyalitas di pasar-pasar lokal. Dalam satu kali pengiriman, ia mampu menjual hingga 2,5 ton ikan kering. Produknya dikenal awet, terutama jika disimpan di dalam freezer.

    “Kalau di freezer itu ya bertahun-tahun masih bagus, Mas. Tapi kalau disimpan di ruangan terbuka itu paling seminggu saja sudah rusak. Ketahanan itu tergantung suhunya, Mas,” jelasnya.

    Jejeran ikan kering milik deni. KBRT/Mirza

    Namun, seperti ombak yang tak selalu tenang, usaha Deni juga menghadapi masa-masa surut. Permintaan pasar menurun drastis hingga 50 persen, dan harga ikan kering jenis sampenit pun ikut anjlok, dari Rp22 ribu menjadi Rp17 ribu per kilogram.

    Tak hanya berurusan dengan cuaca dan harga pasar, Deni juga menghadapi tantangan regenerasi. Ia menyadari tidak banyak anak muda yang tertarik meneruskan usaha pengolahan ikan kering ini. Padahal, di balik aroma amis dan panas matahari, tersimpan peluang ekonomi yang besar, terutama di wilayah pesisir.

    Meski begitu, Deni tetap bertahan. Baginya, mempertahankan usaha keluarga bukan hanya soal untung-rugi, tetapi juga komitmen menjaga jati diri kampung nelayan. Dengan sepenuh hati, ia terus menyulap hasil laut menjadi bahan pangan yang bernilai.

    “Ini saya melanjutkan usaha keluarga, Mas, sudah generasi kedua. Kalau pasar saya hanya melayani pasar-pasar lokal sekitar sini saja,” ujarnya.

    Ikan kering juga dijemur siap menunggu pembeli, KBRT/Mirza

    Deni adalah cermin ketekunan pesisir—mengolah laut menjadi sumber kehidupan, sekaligus menjaga kearifan lokal yang perlahan-lahan mulai dilupakan. Dari tangan-tangannya, ikan kering bukan sekadar komoditas, tapi simbol dari sebuah perjuangan panjang menjaga tradisi dan harapan.

    Di tengah derasnya modernisasi dan minimnya perhatian pada industri pengolahan hasil laut tradisional, kisah Deni menjadi pengingat bahwa ekonomi rakyat bisa bertahan asalkan digerakkan oleh semangat dan kesetiaan pada akar budaya. Ia adalah bukti hidup bahwa kerja keras yang konsisten, meski dalam sunyi, tetap bisa menghasilkan karya yang abadi.

    Kabar Trenggalek - Feature

    Editor:Zamz