KBRT - Setelah bayi lahir, dalam masyarakat muslim Jawa, terdapat tradisi “njagong” bayi, yakni tetangga di sekitar keluarga yang mempunyai bayi, setiap malam bergiliran datang ke tempat keluarga yang sedang berbahagia.
Para tetangga berdatangan dalam rangka ikut serta bersyukur kepada Allah, yang memberikan kebahagiaan dengan lahirnya sang jabang bayi, sebagai calon generasi penerus bagi keluarga dan juga masyarakat sekitar.
Dilansir dari Ritual dan Tradisi Islam Jawa karya KH. Muhammad Sholikhin, tradisi njagong yang masih dipertahankan di Trenggalek ini memiliki makna yaitu duduk-duduk bersama sambil bercengkrama tentang segala hal.
Mereka datang dalam rangka ikut berbahagia, dan yang memiliki hajat juga menemui mereka, meladeni ngobrol (njagongi), menemaninya dengan suguhan minum dan makan sesuai kemampuan yang punya hajat, yang dimaksudkan sebagai shadaqah.
Namun tidak hanya sekedar njagong, atau duduk-duduk bercengkrama sambil menikmati hidangan. Mereka yang datang intinya adalah memanjatkan doa kepada Allah, agar bayi yang baru lahir menjadi generasi penerus yang shalih atau shalihah.
Untuk itu, sebelum berdoa, mereka biasanya membacakan kitab-kitab maulid Nabi Muhammad Saw., baik kitab maulid al-Barzanji (barzanji, Jawa: berjanjen), sholawat burdah Syakh al-Bushairi (burdahan), atau kitab maulid al-Diba’i (Diba-an), adakalanya juga dibacakan kitab manaqib.
Pembacaan kitab-kitab tersebut tidak lain adalah dimaksudkan untuk memohon berkah kepada Allah melalui kemuliaan Rasul-Nya, sehingga semua yang dihajatkan mendapatkan ridha dari Allah.
Pada zaman sekarang, tradisi njagong sudah mulai menemukan bentuk baru, yakni tidak harus malam hari. Banyak juga, terutama dari pihak-pihak seperti teman sejawat, kantor dan sejenisnya, datang pada siang hari. Demikian pula upacara sepasaran, dewasa ini sudah tidak harus dilaksanakan malam hari.
Banyak juga yang menyelenggarakannya di siang atau sore hari. Tradisi semacam itu berlangsung sampai lima malam (sepasar, lima hari), dan puncaknya adalah pada malam kelima, biasanya diadakan tradisi “sepasaran”.
Sepasaran diadakan dalam rangka memberikan dan mengumumkan nama kepada jabang bayi, dan bagi yang sudah mampu, biasanya sekalian diadakan upacara ‘aqiqahan, dengan menyembelih kambing.
Pada malam sepasaran, ‘aqiqahan dan pemotongan rambut tersebut, selain pembacaan kitab mauled (kelahiran) Nabi Muhammad Saw., juga dibacakan kitab manaqib (kitab tentang suri tauladan orang shalih atrau auliya’), yang biasanya adalah kitab manaqib Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani.
Setelah selesai, para tamu, baik undangan maupun dari tetangga sekitar dijamu, dengan menu utama daging kambing sembelihan hewan ‘aqiqah. Kemudian disambung dengan ritual kendurian atau sedekahan, memohon kebaikan dan keselamatan kepada Allah Swt.
Sudah ratusan tahun kitab-kitab mauled dan manaqib selalu dibaca orang pada waktu-waktu tertentu, dan sampai saat ini belum ada yang menggeser lewat keindahan kalimat-kalimat yang disusun dalam kitab-kitab tersebut sampai sekarang. Bagi yang memahami bahasa Arab, tentu uraian dan untaian kalimat-kalimatnya sangat memukau.
Umumnya mereka terkesima dan haru dengan sifat-sifat dan keadaan Rasulullah serta para auliya’ al-shalihin yang memang sulit ditiru, indah, menarik dan mengharukan. Sehingga memberikan inspirasi dengan doa agar anak-anaknya yang dibacakan kitab-kitab tersebut dapat mencontoh dan mentauladaninya.
Bagi kalangan muslim Jawa dan nusantara umumnya, pembacaan kitab-kitab tersebut juga dimaksudkan sebagai bagian dari dzikir kepada Allah secara umum, agar majlis atau arena yang mereka datangi tidak sia-sia.
Selain hal-hal yang sudah dikemukakan, berbagai tradisi yang terkait dengan siklus kehidupan manusia, yang kadang disertai dengan aneka bacaan-bacaan yang indah, seperti sima’an atau muqaddaman al-Qur’an.
Kemudian, pembacaan kitab-kitab mauled dan manaqib, lantunan shalawat dan maddah dan sebagainya, dimaksudkan sebagai bentuk variasi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga bentuk ketaatan (yang secara umum disebut sebagai ibadah) tidaklah monoton dan kaku.
Kabar Trenggalek - Trenggalekpedia
Editor:Zamz