Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

My Account

Mengenal Tradisi Njagong Bayi dan Sepasaran di Trenggalek

  • 16 Apr 2025 09:00 WIB
  • Google News

    KBRT - Setelah bayi lahir, dalam masyarakat muslim Jawa, terdapat tradisi “njagong” bayi, yakni tetangga di sekitar keluarga yang mem­punyai bayi, setiap malam bergiliran datang ke tempat keluarga yang se­dang berbahagia. 

    Para tetangga berdatangan dalam rangka ikut serta ber­syukur kepada Allah, yang memberikan kebahagiaan dengan la­hir­nya sang jabang bayi, sebagai calon generasi penerus bagi keluarga dan ju­ga masyarakat sekitar.  

    Dilansir dari Ritual dan Tradisi Islam Jawa karya KH. Muhammad Sholikhin, tradisi njagong yang masih dipertahankan di Trenggalek ini memiliki makna yaitu duduk-du­duk bersama sambil bercengkrama tentang segala hal. 

    Mereka da­tang dalam rangka ikut berbahagia, dan yang memiliki hajat juga me­nemui mereka, meladeni ngobrol (njagongi), menemaninya dengan su­guhan minum dan makan sesuai kemampuan yang punya hajat, yang dimak­sudkan sebagai shadaqah.  

    Namun tidak hanya sekedar njagong, atau duduk-duduk bercengkrama sambil menikmati hidangan. Mereka yang datang intinya adalah memanjatkan doa kepada Allah, agar bayi yang baru lahir men­jadi generasi penerus yang shalih atau shalihah. 

    Untuk itu, sebelum ber­doa, mereka biasanya membacakan kitab-kitab maulid Nabi Mu­hammad Saw., baik kitab maulid al-Barzanji (barzanji, Jawa: ber­janjen), sholawat burdah Syakh al-Bushairi (burdahan), atau kitab maulid al-Diba’i (Diba-an), adakalanya juga dibacakan kitab manaqib.  

    Pem­bacaan kitab-kitab tersebut tidak lain adalah dimaksudkan untuk me­mohon berkah kepada Allah melalui kemuliaan Rasul-Nya, sehingga se­mua yang dihajatkan mendapatkan ridha dari Allah.  

    Pada zaman sekarang, tradisi njagong sudah mulai menemukan bentuk baru, yakni tidak harus malam hari. Banyak juga, terutama dari pihak-pihak seperti teman sejawat, kantor dan sejenisnya, datang pada siang hari. Demikian pula upacara sepasaran, dewasa ini sudah tidak ha­rus dilaksanakan malam hari.  

    Banyak juga yang menyelenggarakan­nya di siang atau sore hari. Tradisi semacam itu berlangsung sampai lima malam (sepasar, lima hari), dan puncaknya adalah pada malam kelima, biasanya diadakan tradisi “sepasaran”.  

    ADVERTISEMENT
    Migunani

    Sepasaran diadakan dalam rangka memberikan dan mengumum­kan nama kepada jabang bayi, dan bagi yang sudah mampu, biasanya sekalian diadakan upacara ‘aqiqahan, dengan menyembelih kambing.  

    Pa­da malam sepasaran, ‘aqiqahan dan pemotongan rambut tersebut, selain pembacaan kitab mauled (kelahiran) Nabi Muhammad Saw., juga di­bacakan kitab manaqib (kitab tentang suri tauladan orang shalih atrau auliya’), yang biasanya adalah kitab manaqib Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani.  

    Setelah selesai, para tamu, baik undangan maupun dari tetangga sekitar dijamu, dengan menu utama daging kambing sembelihan hewan ‘aqiqah. Kemudian disambung dengan ritual kendurian atau sedekahan, memohon kebaikan dan keselamatan kepada Allah Swt. 

    Sudah ratusan tahun kitab-kitab mauled dan manaqib selalu di­baca orang pada waktu-waktu tertentu, dan sampai saat ini belum ada yang menggeser lewat keindahan kalimat-kalimat yang disusun dalam kitab-kitab tersebut sampai sekarang. Bagi yang memahami bahasa Arab, tentu uraian dan untaian kalimat-kalimatnya sangat memukau.  

    Umumnya mereka terkesima dan haru dengan sifat-sifat dan keadaan Rasulullah serta para auliya’ al-shalihin yang memang sulit ditiru, indah, menarik dan mengharukan. Sehingga memberikan inspirasi dengan doa agar anak-anaknya yang dibacakan kitab-kitab tersebut dapat mencon­toh dan mentauladaninya. 

    Bagi kalangan muslim Jawa dan nusantara umumnya, pembacaan kitab-kitab tersebut juga dimaksudkan sebagai bagian dari dzikir kepada Allah secara umum, agar majlis atau arena yang mereka datangi tidak sia-sia.  

    Selain hal-hal yang sudah dikemukakan, berbagai tradisi yang terkait dengan siklus kehidupan manusia, yang kadang disertai dengan aneka bacaan-bacaan yang indah, seperti sima’an atau muqaddaman al-Qur’an.

    Kemudian, pembacaan kitab-kitab mauled dan manaqib, lantunan sha­lawat dan maddah dan sebagainya, dimaksudkan sebagai bentuk variasi ke­taatan kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga bentuk ketaatan (yang se­cara umum disebut sebagai ibadah) tidaklah monoton dan kaku.  

    Kabar Trenggalek - Trenggalekpedia

    Editor:Zamz

    ADVERTISEMENT
    Lodho Ayam Pak Yusuf