KBRT - Sesaji atau sedekahan dan Selamatan) Ritual dalam Islam Jawa, bagi masyarakat muslim Jawa, ritualitas sebagai wujud pengabdian dan ketulusan penyembahan kepada Allah, sebagian diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol ritual yang memiliki kandungan makna mendalam.
Dilansir dari Ritual dan Tradisi Islam Jawa karya KH. Muhammad Sholikhin, simbol-simbol ritual merupakan ekspresi atau pengejawantahan dari penghayatan dan pemahaman akan realitas yang tak terjangkau sehingga menjadi yang sangat dekat. Dengan simbol-simbol ritual tersebut, terasa bahwa Allah selalu hadir dan selalu terlibat serta menyatu dalam dirinya.
Simbol ritual dipahami sebagai perwujudan maksud bahwa dirinya sebagai manusia merupakan tajalli, atau juga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Tuhan. Simbol-simbol ritual tersebut di antaranya adalah ubarampe (piranti dalam bentuk makanan), yang disajikan dalam ritual selamatan (wilujengan), ruwatan dan sebagainya.
Hal itu merupakan aktualisasi dari pikiran, keinginan, dan perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Upaya pendekatan diri melalui ritual sedekahan, kenduri, selamatan dan sejenisnya tersebut, sesungguhnya adalah bentuk akumulasi budaya yang bersifat abstrak.
Hal itu terkadang juga dimaksudkan sebagai upaya negosiasi spiritual, sehingga segala hal ghaib yang diyakini berada diatas manusia tidak akan menyentuhnya secara negatif. Memang harus diakui bahwa sebagian dari simbol-simbol ritual dan simbol spiritual yang diaktualisasikan oleh masyarakat Jawa, mengandung pengaruh asimilasi antara Hindu-Jawa, Budha-Jawa, dan Islam-Jawa yang menyatu padu dalam wacana kultural mistik.
Asimilasi yang sering diasosiasikan para pengamat sebagai sinkretisme tersebut juga terlihat dengan diantaranya pembakaran kemenyan pada saat ritual mistik dilaksanakan, yang oleh sebagian masyarakat Jawa diyakini sebagai bagian dari penyembahan kepada Tuhan secara khusyu’ (mencapai tahap hening) dan tadharru’ (mengosongkan diri kemanusiaan sebagai hal yang tidak berarti di hadapan Tuhan), atau katakanlah sebagai salah satu bentuk akhlak penghormatan kepada Tuhan.
Membakar kemenyan itu biasanya diniatkan sebagai talining iman, urubing cahya kumara, kukuse ngambah swarga, ingkang nampi Dzat ingkang Maha Kuwaos (sebagai tali pengikat keimanan. Nyalanya diharapkan sebagai cahaya kumara, asapnya diharapkan sebagai bau-bauan surga, dan agar dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Kuasa).
Memerhatikan niat tersebut, maka dapat dipahami bahwa pembakaran kemenyan dalam ritual mistik sebagian kaum muslim Jawa, atau memasukkannya sebagai unsur mistik bukanlah laku yang musyrik, seperti yang dituduhkan oleh sebagian muslim yang merasa lebih puritan, atau sebutlah kearab-araban. Pada zaman Nabi Ibrahim As. juga sudah ada kebiasaan membakar kemenyan.
Untuk zaman Nabi Muhammad Saw., pembakaran kemenyan sering digantikan dengan mengenakan bau-bauan yang harum, yang dinyatakan sebagai disukai oleh Allah. Baik kemenyan maupun wangi-wangian esensinya sama, yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah. Malahan, pada sebuah hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim dikemukakan, minyak wangi sejak zaman Rasulullah digunakan sebagai salah satu sarana penyembuhan.
Pada acara-acara selamatan khusus, tumpeng itu berwujud besar dan gurih, yang disebut sebagai tumpeng rangsul/Rasul”, yang maknanya adalah mengikuti jalan lurus sesuai ajaran Rasulullah.
Maka sebagian di antara ubarampenya adalah ayam yang dimasak dan disajikan secara utuh yang disebut ingkung. Ingkung biasanya mendampingi tumpeng rasul, sebagai ciri khasnya. Maksudnya adalah, bahwa sebagian ciri khusus dari orang yang mengikuti Rasulullah adalah inggalo njungkung atau bersujud, juga bermakna inggala manekung (segera bermuhasabah dan dzikir kepada Allah).
Pada sebagian acara selamatan untuk wilujengan anak yang lahir dan untuk pernikahan pengantin, kadang menggunakan nasi tumpeng yang disebut dengan nasi uduk. Nasi uduk sebenarnya adalah nasi wudhu, karena selama memasak nasi tersebut, mereka yang memasak selalu dalam keadaan berwudhu atau selalu dalam keadaan suci.
Semua ubarampe wilujengan tersebut, sebelum dipersembahkan untuk orang banyak, diujubkan (sebenarnya diijabkan) terlebih dahulu. Ujub merupakan tradisi dalam bentuk ijab, penyerahan acara ritual ke pada orang yang ditunjuk, yang biasanya sesepuh atau ulama setempat.
Dalam ujub tersebut, dikemukakan maksud dan tujuan diadakannya selamatan, serta untuk siapa selamatan tersebut diadakan. Kemudian setelah orang yang ditunjuk tersebut memberikan jawaban, ia memulai acara dengan mengatakan tujuan dan maksud pelaksanaan acara sebagaimana ujub dari orang yang punya niat. Barulah ritual dilaksanakan.
Karena kemudian ritual tersebut berasimilasi dengan tradisi Islam, maka dalam ritual selamatan muslim Jawa biasanya disertai dengan berbagai pembacaan ayat-ayat al-Qur’an, dzikir, wirid, pembacaan kitab-kitab maulid atau manaqib, dan diakhiri dengan doa khusus yang terkait dengan tujuan ritual tersebut.
Kabar Trenggalek - Edukasi
Editor:Lek Zuhri