Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

My Account

Makna Simbolik Dibalik Sesaji: Ritual Kenduri Hingga Selamatan yang Awet di Trenggalek

  • 16 Apr 2025 13:00 WIB
  • Google News

    KBRT - Sesaji atau sedekahan dan Selamatan) Ritual dalam Islam Jawa, bagi masyarakat muslim Jawa, ritualitas sebagai wujud pengab­dian dan ketulusan penyembahan kepada Allah, sebagian diwujudkan dalam ben­­tuk simbol-simbol ritual yang memiliki kandungan makna men­dalam.

    Dilansir dari Ritual dan Tradisi Islam Jawa karya KH. Muhammad Sholikhin, simbol-simbol ritual merupakan ekspresi atau pengejawantahan da­ri penghayatan dan pemahaman akan realitas yang tak ter­jangkau se­hingga menjadi yang sangat dekat. Dengan simbol-simbol ritual ter­sebut, terasa bahwa Allah selalu hadir dan selalu terlibat serta menyatu da­lam dirinya.

    Simbol ritual dipahami sebagai perwujudan maksud bahwa dirinya sebagai manusia merupakan tajalli, atau juga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Tuhan. Simbol-simbol ritual tersebut di antaranya adalah ubarampe (pi­ranti dalam bentuk makanan), yang disajikan dalam ri­tual selamatan (wilujengan), ruwatan dan sebagainya.

    Hal itu me­ru­pakan aktualisasi dari pikiran, keinginan, dan perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Upaya pendekatan diri melalui ritual sedekahan, kenduri, selamatan dan sejenisnya tersebut, sesungguhnya adalah bentuk akumulasi budaya yang bersifat abstrak.

    Hal itu terkadang juga dimaksudkan sebagai upaya negosiasi spiritual, sehingga segala hal ghaib yang diyakini berada diatas manusia tidak akan menyentuhnya secara negatif. Memang harus diakui bahwa sebagian dari simbol-simbol ritual dan simbol spiritual yang diaktualisasikan oleh masyarakat Jawa, mengandung pengaruh asimilasi antara Hindu-Jawa, Budha-Jawa, dan Islam-Jawa yang menyatu padu dalam wacana kultural mistik.

    Asimilasi yang sering diasosiasikan para pengamat sebagai sinkretisme tersebut ju­ga terlihat dengan diantaranya pembakaran kemenyan pada saat ritual mis­tik dilaksanakan, yang oleh sebagian masyarakat Jawa diyakini se­ba­gai bagian dari penyembahan kepada Tuhan secara khusyu’ (men­capai tahap hening) dan tadharru’ (mengosongkan diri kemanusiaan se­bagai hal yang tidak berarti di hadapan Tuhan), atau katakanlah se­ba­gai salah satu bentuk akhlak penghormatan kepada Tuhan.

    Membakar kemenyan itu biasanya diniatkan sebagai talining iman, urubing cahya kumara, kukuse ngambah swarga, ingkang nampi Dzat ingkang Maha Kuwaos (sebagai tali pengikat keimanan. Nya­la­nya di­harapkan sebagai cahaya kumara, asapnya diharapkan se­bagai bau-bauan surga, dan agar dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Ku­asa).

    Memerhatikan niat tersebut, maka dapat dipahami bahwa pem­ba­karan kemenyan dalam ritual mistik sebagian kaum muslim Jawa, atau memasukkannya sebagai unsur mistik bukanlah laku yang musyrik, se­perti yang dituduhkan oleh sebagian muslim yang merasa lebih puritan, atau sebutlah kearab-araban. Pada zaman Nabi Ibrahim As. juga su­dah ada kebiasaan membakar kemenyan.

    ADVERTISEMENT
    Migunani

    Untuk zaman Nabi Muham­mad Saw., pem­bakaran kemenyan sering digantikan dengan me­nge­nakan bau-bauan yang harum, yang dinyatakan sebagai disukai oleh Al­lah. Baik kemenyan maupun wangi-wangian esensinya sama, yakni un­tuk mendekatkan diri kepada Allah. Malahan, pada sebuah hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim dikemukakan, minyak wangi sejak zaman Rasulullah digunakan sebagai salah satu sarana penyembuhan.

    Pada acara-acara selamatan khusus, tumpeng itu berwujud besar dan gurih, yang disebut sebagai tumpeng rangsul/Rasul”, yang mak­na­nya adalah mengikuti jalan lurus sesuai ajaran Rasulullah.

    Maka se­bagian di antara ubarampenya adalah ayam yang dimasak dan disajikan se­cara utuh yang disebut ingkung. Ingkung biasanya mendampingi tum­peng rasul, sebagai ciri khasnya. Maksudnya adalah, bahwa se­ba­gi­an ciri khusus dari orang yang mengikuti Rasulullah adalah inggalo njungkung atau bersujud, juga bermakna inggala manekung (segera bermuhasabah dan dzikir kepada Allah).

    Pada sebagian acara selamatan untuk wilujengan anak yang lahir dan untuk pernikahan pengantin, kadang menggunakan nasi tumpeng yang di­sebut dengan nasi uduk. Nasi uduk sebenarnya adalah nasi wudhu, ka­rena selama memasak nasi tersebut, mereka yang memasak selalu dalam ke­adaan berwudhu atau selalu dalam keadaan suci.

    Semua ubarampe wilujengan tersebut, sebelum dipersembahkan untuk orang banyak, diujubkan (sebenarnya diijabkan) terlebih dahulu. Ujub merupakan tradisi dalam bentuk ijab, penyerahan acara ritual ke­ pada orang yang ditunjuk, yang biasanya sesepuh atau ulama se­tem­pat. 

    Dalam ujub tersebut, dikemukakan maksud dan tujuan diadakannya se­lamatan, serta untuk siapa selamatan tersebut diadakan. Kemudian se­telah orang yang ditunjuk tersebut memberikan jawaban, ia memulai aca­ra dengan mengatakan tujuan dan maksud pelaksanaan acara se­ba­gai­mana ujub dari orang yang punya niat. Barulah ritual dilaksanakan. 

    Ka­rena kemudian ritual tersebut berasimilasi dengan tradisi Islam, maka da­lam ritual selamatan muslim Jawa biasanya disertai dengan berbagai pem­bacaan ayat-ayat al-Qur’an, dzikir, wirid, pembacaan kitab-kitab maulid atau manaqib, dan diakhiri dengan doa khusus yang terkait de­ngan tujuan ritual tersebut.

    Kabar Trenggalek - Edukasi

    Editor:Lek Zuhri

    ADVERTISEMENT
    Lodho Ayam Pak Yusuf